Kamis, 03 Mei 2012

TUGAS LEADERSHIP


TUGAS
LEADERSHIP

Disusun Oleh
ZIYA IBRIZAH (090531100054)





PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN BUDAYA
UNIVERSITAS NEGERI TRUNOJOYO
2011

ANALISIS

            Saat ini, Negara Indonesia yang berada dalam pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dapat dikatakan sedang berada atau berdiri di atas pondasi “rapuh”. Mengapa dikatakan demikian, karena dapat dilihat bahwa Bapak Susilo Bambang Yudhoyono kurang mampu berkomunikasi atau memotivasi seluruh perangkat Negara untuk menuju pembangunan Negara menjadi lebih baik. Hal itu terbukti dalam komponen organisasi yang mendukung kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono seperti Partai Demokrat dan Parpol Koalisi, para menteri KIB II, dan pejabat-pejabat tinggi negara sudah kehilangan visi yang jelas, mereka juga sudah kehilangan “ruh” organisasi yang menjiwai semangat pelayanan rakyat, bangsa, dan Negara sejak terpaan kegaduhan politik nasional yang pada saat ini masih belum mampu diselesaikan dengan jelas.
            Komponen organisasi tersebut yang seharusnya menjadi bagian dari Key Performance Indicators kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ternyata dalam prakteknya mereka tidak dimanajemeni dengan baik atau lebih tepatnya tidak ada leadership process yang menggerakkan mereka bekerja melayani rakyat. Kini semua telah berubah menjadi beban yang cukup berat, dimulai dari Wapres hingga para menteri KIB II dan seluruh komponan politik sudah bergerak liar sesuai ego sektoral tanpa bisa dikoordinasikan dengan baik.
            Instrumen kepemimpinan yang diupayakan untuk meraih simpati rakyat sebagai klaim keberhasilan pembangunan dengan “menjual” indicator ekonomi seperti IHSG, Kurs Valuta, Economic Growth, Income Per Kapita, dan sebagainya, sudah terbaca oleh rakyat sebagai “permainan” belaka, demikian pula instrument hankam dengan “menjual” isu terorisme, ternyata hanya ramai di media namun tidak mendapat simpati rakyat karena semakin banyak yang menyadari bahwa itu hanyalah permainan Intelijen.
            Mamanajemeni proses ipoleksosbud hankam bagaikan mengelola jaringan yang saling terkait yang tidak mungkin hanya dipandang dengan “mata tertutup” yang menganut asumsi bahwa semua komponen bangsa akan tunduk pada nama besar Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai orang nomor satu di Indonesia, karena merasa telah direstui oleh sang pemimpin dan otomatis juga direstui oleh Negara-negara tetangga.
            Memanajemeni transisi demokrasi adalah memanajemeni “hati” tidak cukup hanya dengan berbekal kecerdasan (IQ) tetapi lebih mengandalkan pada spiritual dan emosional (EQ, SQ). Karena secara cultural maupun structural, rakyat Indonesia hidup di tengah lingkungan global yang bergerak secara dinamis dan random tidak lagi linear.
            Bisa dikatakan, sebenarnya sejak awal pencalonan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden, sudah banyak pihak termasuk lawan politiknya menyangsikan kemampuan beliau yang dikenal “peragu dan bimbang”, hanya karena kepiawaian team kampanye sehingga Susilo Bambang Yudhoyono dapat memenangkan pencalonannya. Kini sepertinya semua orang baru menyadari adanya kebenaran sinyalemen tersebut benar adanya, dengan keadaan Negara yang saat ini serba membingungkan bagi Rakyat, dan justru bukan pembangunan Negara yang dirasakan.
            Tipikal sebagai manajer teknis sekaligus sebagai pemikir dengan gerak linear sangat terlihat dalam kinerja sehari-hari, dalam mengatasi masalah-masalah yang dihadapi, sangat jauh dari tipikal leadership yang kaya akan instink dan cara berfikir random. Rakyat tahu bahwa sejak dilantiknya sebagai Presiden RI ke-7 pada tanggal 20 Oktober 2009 setelah “memenangkan” pemilu 2009 tidak banyak yang bisa diperbuat oleh Bapak Susilo Bambang Yudhoyono, bahkan beliau kerap kali dihadapkan pada kegaduhan politik secara beruntun dan kebetulan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selalu kurang berhasil dalam mengatasi dan mencari  penyelesaian pada setiap kasus. Sehingga semua berlalu, mengambang, dan menjadi liar.
            Dalam berbagai analisis saya diatas, bisa dikatakan bahwa situasi seperti ini bukan efora demokrasi, namun hal ini adalah kegagalan memanajemen transisi demokrasi yang tidak menemukan Leading in change. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono seolah secara nyata kurang mampu membuktikan kepiawaiannya di dunia nyata dalam mengelola proses ketatanegaraan dan kebangsaan karena beliau hanya berbekal tipikal manajemen operasional sementara tugas kenegaraan memerlukan kompetensi leadership. Yang diperlukan adanya pentingnya keefektivitasan dalam berkomunikasi dan memotivasi pihak-pihak yang dipimpinya.
            Inilah resiko yang diterima Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai pemimpin yang mengandalkan struktur dan proses secara instan, bahkan cenderung hanya “pencitraan”. Hal ini dapat dibaca sejak pada awal kampanye, beliau meninggalkan Jusuf Kalla yang dianggap sebagai “presiden bayangan” dan menggandeng Boediono yang “pragmatis”. Kemudian menempatkan Sri Mulyani dalam posisi “strategis” dengan harapan bisa “menjual” karena mampu menciptakan produk-produknya bubble economic tersebut sebagai indikator keberhasilan pembangunan. Namun pada kenyataanya saat ini, pilihan-pilihan struktur dan proses organisasi pemerintahan Bapak Susilo Bambang Yudhoyono tersebut tidak didasarkan pada asumsi-asumsi strategis tapi lebih berdasarkan asumsi teknis operasional jangka pendek. Seperti contoh yang kita tahu, bahwa dalam memilih Boediono sebagai Wapres, sosok Boediono yang ahli ekonomi filsafat dianggap bisa membantu perbaikan ekonomi, namun Bapak Susilo Bambang Yudhoyono lupa bahwa kepemimpinan negara itu memanajemeni struktur dan kultur tidak hanya memanajemeni sektoral. Sementara berdasarkan logika kekuasaan maka ditinggalkanlah Jusuf Kalla, padahal logika kepemimpinan keberadaan Jusuf Kalla adalah sumber inspirasi, komunikator handal, dan sekaligus sosok yang mampu menjalankan tugas-tugas klerikal yang kurang mampu ditangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
            Pragmatisme yang melekat dalam Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak didukung dengan operator lapangan yang tangguh terutama disisi Wakil Presiden Boediono. Tampaknya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada awalnya terlalu tergesa-gesa, lantas merasa diri cukup puas dengan keberadaan “orang-orang binaannya” seperti di Parpol ada Anas, Andi M, Andi Arief, Pohan, Mubarok, dan lain sebagainya yang bertindak sebagai horisontal communicator dan tampaknya juga merasa puas dengan keberadaan Sri Mulyani Indrawati sebagai foreigner account manager, lalu juga ada Joko Suyanto, Sudi Silalahi, dan Timoer Pradopo terkait sebagai security buffer. Namun sekali lagi semuanya sudah kehilangan semangat sejak ditinggalkan beberapa orang yang diandalkan. Tidak ada lagi yang bisa dijual dari Sri Mulyani, juga tidak ada yang dibanggakan di sector hukum sejak ditinggal Hendarman S.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar