TUGAS
LEADERSHIP
Disusun Oleh
ZIYA IBRIZAH (090531100054)
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU
SOSIAL DAN BUDAYA
UNIVERSITAS NEGERI
TRUNOJOYO
2011
ANALISIS
Saat
ini, Negara Indonesia yang berada dalam pimpinan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono dapat dikatakan sedang berada atau berdiri di atas pondasi “rapuh”.
Mengapa dikatakan demikian, karena dapat dilihat bahwa Bapak Susilo Bambang
Yudhoyono kurang mampu berkomunikasi atau memotivasi seluruh perangkat Negara
untuk menuju pembangunan Negara menjadi lebih baik. Hal itu terbukti dalam
komponen organisasi yang mendukung kepemimpinan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono seperti Partai Demokrat dan Parpol Koalisi, para menteri KIB II, dan
pejabat-pejabat tinggi negara sudah kehilangan visi yang jelas, mereka juga
sudah kehilangan “ruh” organisasi yang menjiwai semangat pelayanan rakyat,
bangsa, dan Negara sejak terpaan kegaduhan politik nasional yang pada saat ini
masih belum mampu diselesaikan dengan jelas.
Komponen organisasi tersebut yang
seharusnya menjadi bagian dari Key
Performance Indicators kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,
ternyata dalam prakteknya mereka tidak dimanajemeni dengan baik atau lebih
tepatnya tidak ada leadership process
yang menggerakkan mereka bekerja melayani rakyat. Kini semua telah berubah
menjadi beban yang cukup berat, dimulai dari Wapres hingga para menteri KIB II
dan seluruh komponan politik sudah bergerak liar sesuai ego sektoral tanpa bisa
dikoordinasikan dengan baik.
Instrumen kepemimpinan yang
diupayakan untuk meraih simpati rakyat sebagai klaim keberhasilan pembangunan
dengan “menjual” indicator ekonomi seperti IHSG, Kurs Valuta, Economic Growth, Income Per Kapita, dan
sebagainya, sudah terbaca oleh rakyat sebagai “permainan” belaka, demikian pula
instrument hankam dengan “menjual” isu terorisme, ternyata hanya ramai di media
namun tidak mendapat simpati rakyat karena semakin banyak yang menyadari bahwa itu
hanyalah permainan Intelijen.
Mamanajemeni proses ipoleksosbud
hankam bagaikan mengelola jaringan yang saling terkait yang tidak mungkin hanya
dipandang dengan “mata tertutup” yang menganut asumsi bahwa semua komponen
bangsa akan tunduk pada nama besar Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai
orang nomor satu di Indonesia, karena merasa telah direstui oleh sang pemimpin
dan otomatis juga direstui oleh Negara-negara tetangga.
Memanajemeni transisi demokrasi
adalah memanajemeni “hati” tidak cukup hanya dengan berbekal kecerdasan (IQ)
tetapi lebih mengandalkan pada spiritual dan emosional (EQ, SQ). Karena secara
cultural maupun structural, rakyat Indonesia hidup di tengah lingkungan global
yang bergerak secara dinamis dan random tidak lagi linear.
Bisa dikatakan, sebenarnya sejak
awal pencalonan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden, sudah banyak pihak
termasuk lawan politiknya menyangsikan kemampuan beliau yang dikenal “peragu
dan bimbang”, hanya karena kepiawaian team
kampanye sehingga Susilo Bambang Yudhoyono dapat memenangkan pencalonannya.
Kini sepertinya semua orang baru menyadari adanya kebenaran sinyalemen tersebut
benar adanya, dengan keadaan Negara yang saat ini serba membingungkan bagi
Rakyat, dan justru bukan pembangunan Negara yang dirasakan.
Tipikal sebagai manajer teknis
sekaligus sebagai pemikir dengan gerak linear sangat terlihat dalam kinerja
sehari-hari, dalam mengatasi masalah-masalah yang dihadapi, sangat jauh dari
tipikal leadership yang kaya akan
instink dan cara berfikir random. Rakyat tahu bahwa sejak dilantiknya sebagai
Presiden RI ke-7 pada tanggal 20 Oktober 2009 setelah “memenangkan” pemilu 2009
tidak banyak yang bisa diperbuat oleh Bapak Susilo Bambang Yudhoyono, bahkan
beliau kerap kali dihadapkan pada kegaduhan politik secara beruntun dan
kebetulan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selalu kurang berhasil dalam
mengatasi dan mencari penyelesaian pada
setiap kasus. Sehingga semua berlalu, mengambang, dan menjadi liar.
Dalam berbagai analisis saya diatas,
bisa dikatakan bahwa situasi seperti ini bukan efora demokrasi, namun hal ini
adalah kegagalan memanajemen transisi demokrasi yang tidak menemukan Leading in change. Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono seolah secara nyata kurang mampu membuktikan kepiawaiannya di
dunia nyata dalam mengelola proses ketatanegaraan dan kebangsaan karena beliau
hanya berbekal tipikal manajemen operasional sementara tugas kenegaraan
memerlukan kompetensi leadership.
Yang diperlukan adanya pentingnya keefektivitasan dalam berkomunikasi dan
memotivasi pihak-pihak yang dipimpinya.
Inilah resiko yang diterima Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono sebagai pemimpin yang mengandalkan struktur dan proses
secara instan, bahkan cenderung hanya “pencitraan”. Hal ini dapat dibaca sejak pada
awal kampanye, beliau meninggalkan Jusuf Kalla yang dianggap sebagai “presiden
bayangan” dan menggandeng Boediono yang “pragmatis”. Kemudian menempatkan Sri
Mulyani dalam posisi “strategis” dengan harapan bisa “menjual” karena mampu
menciptakan produk-produknya bubble
economic tersebut sebagai indikator keberhasilan pembangunan. Namun pada
kenyataanya saat ini, pilihan-pilihan struktur dan proses organisasi
pemerintahan Bapak Susilo Bambang Yudhoyono tersebut tidak didasarkan pada
asumsi-asumsi strategis tapi lebih berdasarkan asumsi teknis operasional jangka
pendek. Seperti contoh yang kita tahu, bahwa dalam memilih Boediono sebagai
Wapres, sosok Boediono yang ahli ekonomi filsafat dianggap bisa membantu
perbaikan ekonomi, namun Bapak Susilo Bambang Yudhoyono lupa bahwa kepemimpinan
negara itu memanajemeni struktur dan kultur tidak hanya memanajemeni sektoral.
Sementara berdasarkan logika kekuasaan maka ditinggalkanlah Jusuf Kalla,
padahal logika kepemimpinan keberadaan Jusuf Kalla adalah sumber inspirasi, komunikator
handal, dan sekaligus sosok yang mampu menjalankan tugas-tugas klerikal yang kurang
mampu ditangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Pragmatisme yang melekat dalam
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak didukung dengan operator lapangan yang
tangguh terutama disisi Wakil Presiden Boediono. Tampaknya Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono pada awalnya terlalu tergesa-gesa, lantas merasa diri cukup
puas dengan keberadaan “orang-orang binaannya” seperti di Parpol ada Anas, Andi
M, Andi Arief, Pohan, Mubarok, dan lain sebagainya yang bertindak sebagai horisontal communicator dan tampaknya
juga merasa puas dengan keberadaan Sri Mulyani Indrawati sebagai foreigner account manager, lalu juga ada
Joko Suyanto, Sudi Silalahi, dan Timoer Pradopo terkait sebagai security buffer. Namun sekali lagi
semuanya sudah kehilangan semangat sejak ditinggalkan beberapa orang yang
diandalkan. Tidak ada lagi yang bisa dijual dari Sri Mulyani, juga tidak ada
yang dibanggakan di sector hukum sejak ditinggal Hendarman S.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar