MANAJEMEN PERIKLANAN_RATING
Manajemen Periklanan adalah Suatu sistem yang terdiri dari beberapa lembaga/organisasi yang saling berinteraksi dan menjalankan peranan yang berbeda dalam proses periklanan.
Lembaga/organisasi yang berinteraksi : pengiklan, biro iklan, perusahaan media, biro riset, pemerintah, pesaing.
Ilmu
pemasaran terpusat pada bauran pemasaran [market mix] yang dicetuskan oleh Philip
Kotler yang dikenal dengan istilah 4P untuk produk barang dan 7P untuk produk jasa.
Salah satu variable dari bauran pemasaran adalah promosi. Tentunya promosi
diperlukan sebagai sarana komunikasi produsen untuk memperkenalkan barang atau
jasa kepada konsumen yang bertujuan untuk menarik minat calon pembeli menjadi
pembeli dan kemudian menjadi pelanggan. Dan
iklan merupakan salah satu alat promosi disamping promosi penjualan [sales
promotion] dan hubungan masyarakat [public relation]. Periklanan
sangat esensial bagi bidang pemasaran karena melalui periklanan konsumen dapat
mengetahui produk yang diinginkan dan produsen dapat memprkenalkan produk yang
mereka tawarkan. Hal ini penting karena dapat memudahkan kegiatan pemasaran
yakni memasarkan barang atau jasa kepada konsumen.
Definisi
iklan adalah segala biaya yang harus dikeluarkan sponsor untuk melakukan
presentasi dan promosi non-pribadi dalam bentuk gagasan, barang dan jasa.
Periklanan yang baik harus memiliki tujuan dan tentunya
tujuan tersebut harus dicapai yaitu bertugas sebagai komunikasi tertentu yang harus
dilakukan dengan audiens sasaran tertentu selama periode waktu yang tertentu.
Hal yang perlu diperhatikan seorang marketer dalam hal periklanan adalah dalam
hal penetapan anggaran iklan. Ada beberapa factor spesifik yang harus dipertimbangkan
dalam penentuan anggaran periklanan. Diantaranya ; Tahapan dalam daur hidup
produk, pasar, persaingan dan kesemrawutan, frekuensi periklanan, diferensiasi produk.
Untuk
mencapai tujuan dalam periklanan, iklan yang dibuat harus didasari oleh
strategi iklan yang tepat. Strategi iklan terdiri dari dua elemen utama:
penciptaan pesan iklan dan penyeleksian media iklan. Dan terakhir harus ada
suatu bentuk evaluasi yaitu mengevaluasi efek komunikasi pada sebuah iklan,
mengungkapkan apakah iklan tersebut mampu menyampaikan pesannya dengan baik.
Tujuan
Periklanan harus sejalan dengan tujuan pemasaran atau dengan kata lain tujuan
Periklanan hanya bisa ditetapkan jika tujuan pemasaran suatu produk telah
ditransformasikan ke dalam tujuan promosi.
Dalam tujuan Periklanan harus menjabarkan berapa % tingkat
awareness (sadar kenal/tanggapan) yang diharapkan terhadap target audience
Dalam tujuan promosi biasanya dinyatakan berapa banyak orang yang diharapkan
tahu tentang promosi yang disampaikan dan pada tingkat tanggapan yang bagaimana
Selanjutnya ditetapkan berapa banyak yang harus menjadi tanggung jawab
Periklanan dan berapa banyak dari unsur-unsur promosi lainnya (Personal
Selling, Publicity, Sales Promotion) Bila seandainya aktivitas unsur-unsur
promosi lainnya dianggap tidak diperlukan dengan sendirinya target audience
tersebut harus menjadi tanggung jawab sepenuhnya Periklanan.
Langkah
berikutnya adalah menentukan strategi Periklanan untuk mengetahui tingkat
tanggapan yang diharapkan sehingga khalayak sasaran bersedia membeli produk
yang diiklankan.
Dalam strategi yag dimaksud, terdapat dua hal utama yaitu:
a Siapa khalayak sasaran
Periklanan
b Bagaimana membuat khalayak
sasaran Periklanan tersebut tahu tentang iklan produk kita sehingga tercapai
yang dinyatakan oleh tujuan Periklanan. Sebagai alat pencapaian tersebut ialah
dengan advertising mix yang terdiri dari unsur media dan unsur kreatif.
Apabila
strategi telah ada, maka selanjutnya kita menentukan taktik apa yang paling
tepat untuk melaksanakan kampanye iklan. Yang dimaksud yaitu unsure-unsur pokok
kampanye iklan, yang terbagi atas dua. Diantaranya adalah Gagasan kreatifitas
dan penentuan media apa yang harus digunakan:
o Sebagaimana setiap perencanaan
, dalam perencanaan kreatif kita perlu menetapkan 4 hal pokok, yaitu :
1.
Tujuan Kreatif Dinyatakan dalam tingkat tanggapan (respons) yang kita inginkan
terjadi pada diri khalayak (audience).
2.
Strategi Kreatif Mencakup pemilihan strategi dasar untuk menciptakan
iklan dari gagasan isinya (content). Strategi kreatif ini kemudian akan
dituangkan ke dalam bentuk rencana kerja kreatif (creative workplan) yang
kemudian akan dijadikan dasar untuk pelaksanaan eksekusi kreatif. Creative
workplan disusun berdasarkan konsep produk yang telah disiapkan sebelumnya
sebagai identifikasi atas produk, konsumen, kondisi pasar dan persaingan.
Strategi kreatif dinyatakan dalam jabaran yang menetapkan Siapa khalayak
sasaran kreatif (creative target audience), Bagaimana membuat paduan kreatif
(penulisan naskah dan art & visualisasi) yang lebih efektif terhadap
khalayak sasaran tersebut.
Hasil
kerja seorang copywriter disebut dengan copywriting. Copywriting
adalah benda abstrak berstruktur kata-kata yang membangun emosi dan membentuk
imajinasi sehingga mempengaruhi pembaca maupun pendengarnya untuk berbuat
seperti yang diharapkan si pembuat teks. Oleh karena itu, bahasa dalam iklan
dituntut mampu menggugah, informatif, persuasif, bertenaga gerak. Untuk
menyampaikan gagaan pikiran dalam suatu bahasa seorang penulis iklan harus
mengetahui aturan-aturan dalam sebuah bahasa. Tentu saja, “bermain-main” dengan
bahasa atau sesekali melanggar peraturan baku diperbolehkan asalkan hal itu
memang menjadi konsep kreatif dan terdapat dalam Kreatif Brief. Keefektivan
bahasa dalam iklan harus memiliki sifat menjual serta memperhatikan media
iklan, target audience , serta rencana pemasaran: apakah produk baru ataukah lama. Hal ini harus didukung oleh “paralanguage” yang
berupa layout, jenis huruf, visual dan media. Terkadang penggunaan bahasa dalam
iklan dipandang menarik, jika bersifat lanturan. Lanturan adalah sengaja
melantur, dengan selalu menjaga sifat relevan dari lanturan tersebut. Syarat
untuk membuat lanturan adalah penguasaan gaya bahasa, baik itu personifikasi,
analogi, kontradiksi, metafora, sinisme, sarkasme, hiperbola, maupun paradoks.
Selain
kekreatifitasan, dalam unsur pokok kampanye iklan juga terdapat pelaksanaan
penetuan Media.
Dalam
menentukan media apa yang akan dipilih, dipengaruhi oleh beberapa unsure
dibawah ini:
1. Khalayak sasaran
2. Pemilihan media (Media Selection) Media plan/schedule
3. Executions, yaitu yang berisi:
a. Layout dan copy untuk iklan cetak
b. Naskah radio
c. Storyboard untuk iklan televise
5. Budget
o
Pengembangan
konsep kreatif dan produksi materi kreatif
o
Pemasangan
iklan di media yang ditetapkan
o
Aktivitas
komunikasi pemasaran lain
Selain
beberapa penjelasan tentang periklanan diatas, terdapat pula beberapa hal
penting yang merupakan inti dari terwujudnya sebuah periklanan. Yaitu beberapa
pihak yang berhubungan dengan industry periklanan yang termasuk pula dalam
komponen-komponen periklanan.
Dalam
Buku Etika Pariwara Indonesia (EPI), biro iklan (advertising agency) diartikan
sebagai suatu organisasi usaha yang memiliki keahlian untuk merancang,
mengkoordinasi, mengelola, dan atau memajukan merek, pesan, dan komunikasi
pemasaran atas nama pengiklan dengan memperoleh imbalan atas layanannya
tersebut. Selanjutnya Pelaku yaitu pihak pengiklan, yang terbentuk dalam sebuah
perusahaan periklanan atau media. Selain itu ada pula pihak yang disebut
sebagai inti dari komponen periklanan, yang dimaksud adalah Pengiklan, yaitu
produsen pemasang iklan yang mempunyai anggaran untuk kampanye periklanan
sebagai pendukung program pemasaran. Yang terakhir adalah Media (periklanan)
yiatu sarana komunikasi yang berfungsi sebagai penyampai pesan-pesan iklan
kepada khalayak.
Setelah
strategi dan unsure-unsur pokok kampanye iklan diatas, terdapat pula beberapa
kegiatan lain yang dilakukan dalam bidang
pekerjaan jasa periklanan diantaranya yaitu:
a Analisis situasi, diantaranya yaitu: Riwayat
Produk, Latar Belakang diciptakannya produk, Budget Periklanan yang sudah
dikeluarkan dalam periode tertentu, Tema iklan yang sudah pernah atau sedang
digunakan, Pengaruh kondisi social, politik dan ekonomi yang berkaitan dengan
pemasaran produk, Problem yang dihadapi dan peluang yang ada, Hal-hal lain yang
dapat mempengaruhi program Periklanan, Data-data pemasaran penunjang yang
diperlukan.
b Evaluasi produk, diantaranya yaitu: Deskripsi produk dibandingkan dengan
competitor, Pengembangan, modifikasi dan perubahan-perubahan lain yang terjadi
pada produk selama dipasarkan, Persepsi konsumen terhadap produk, Distribusi
produk, Pendapat para distributor atau retailer terhadap ketersediaan dan
pemasaran produk, Kemasan produk, Problem yang dihadapi konsumen terhadap
produk tersebut.
c Evaluasi konsumen, diantaranya yaitu: Geografi, demografi, psikografi, Pendapat
terhadap produk : kualitas, harga, kemasan, iklan dan aktivitas promosi lain,
after sales sevice, dan sbagainya, Pola penggunaan produk.
d Riset, diantaranya yaitu: Riset
Pemasaran, Riset Media, Riset Motivasi, dan Copy
testing. Dalam riset media, dikenal adanya istilah rating, yaitu gambaran
prosentase jumlah penonton atau penikmat suatu program tertentu.
Rating
dapat pula dikatakan sebagai perkiraan komperatif, karena sesungguhnya rating
akan membandingkan estimasi jumlah audiens yang sebenarnya dengan total
audiens. Estimasi Audiens sendiri terbagi menjadi tiga metode untuk menentukan
rating. Selain itu, Rating juga merupakan komponen terpenting dalam suatu acara
Televisi tertentu karena melalui rating, Perusahaan periklanan akan bergantung
kepada suatu acara TV tertentu tersebut untuk memasang iklan produknya.
Didalam rating sendiri terdapat
istilah share, yang digunakan untuk mengetahui seberapa banyak audiens
yang menonton acara TV, share juga menunjukkan seberapa “Baik ” suatu program
acara tertentu dalam TV dalam persainganya dengan suatu program acara tertentu dari TV pesaingnya.
Rating
dapat menjadi motivasi bagi pelaku insane pertelevisian, namun Rating juga
dapat menimbulkan tekanan bahkan pembunuhan kreatifitas insane pertelevisian,
dan hal itulah yang menjadi kelemahan rating. Selain itu keleman rating dapat
pula diuraikan sebagai berikut:
1. Sampel responden tidak
representative
2. Rating Tv dapat menjadikan
pilihan tontonan terbatas
3. Survey rating dilakukan oleh
lembaga monopoli tanpa adanya pembanding, dan
4. Tidak adanya audit atas hasil
survey dalam penentuan perhitungan rating.
Daftar Pustaka
o Agustrijanto,
2002. Copywriting. Bandung Rosda.
o Hakim, Budiman, 2006. Lanturan tapi Relevan.
Yogyakarta: Galang.
o Madjadikara,
Agus S. 2004. Bagaimana Biro Iklan Memproduksi Iklan. Jakarta: Gramedia.
o Kotler, Philip and Amstrong,
Gary. Alih bahasa Damos Sihombing. 2001. Prinsip-prinsip
pemasaran Ed 8. Jakarta:Erlangga
o Rapp, Stan & Tom Collins.
1995.Terobosan
Baru dalam Strategi Promosi, Periklanan, dan
Promosi, Maxi Marketing. (terj. Hifni Alifahmi). Jakarta: Erlangga.
o Hand
Out Manajemen
Periklanan
ANALISIS TENTANG RATING:
“
Rating sangat dibutuhkan dalam industry pertelevisian karena jaringan, stasiun
TV, dan produser program tentunya ingin mengetahui apakah orang menyaksikan
acara mereka
atau tidak, siapa saja yang menonton, dan berapa banyak jumlahnya. Rating
digunakan ketika para pihak pertelevisian ingin mengetahui banyaknya pemirsa
yang menonton suatu program pada lintas periode waktu tertentu. Sedangkan yang
dimaksud dengan rating program sendiri yaitu rata-rata pemirsa pada
program tertentu yang dinyatakan sebagai persentase dari kelompok sampel atau
potensi total. Angka Rating Program didasarkan atas unit waktu terkecil 1
menit” . Sedangkan “Periklanan dapat dikatakan pula sebagai institusi social,
karena dalam periklanan terdapat banyaknya lembaga kemasyarakatan yang terlibat
dalam proses pembuatan dan penyajian iklannya. Namun arti dari periklanan
sendiri adalah suatu proses komunikasi massa yang melibatkan sponsor tertentu,
yakni si pemasang iklan (Pengiklan), yang membayar jasa sebuah media massa atas
penyiaran iklannya, misalnya dengan melalui program siaran televise. Namun
tidak jarang pula, sebuah iklan dibuat atas pesanan dari si pemasang iklan oleh
sebuah agen atau biro iklan; atau juga bisa oleh bagian humas atau yang akrab
dikenal dengan sebutan public relation dari lembaga pemasang iklan itu sendiri. ”
Diakui
ataukah tidak bahwa dunia pertelevisian indonesia telah terjangkit sindrom snobisme, yang terjebak dalam selera pasar dengan mendasarkan
pada rating acara. Apalagi sejak dibukakannya secara lebar informasi dan banyaknya stasiun televisi
swasta berdiri. Mengapa harus
rating yang diunggulkan? Sebab, rating adalah tolok ukur yang menentukan nilai
jual suatu program acara kepada para pengiklan. Apabila rating pada sebuah
acara dinilai tinggi maka akan dengan mudah didapatkan besarnya minat para
pengiklan untuk mensponsori acara tersebut meski mereka harus menukar dengan
nilai rupiah yang cukup tinggi. Atas dasar inilah, akibatnya, semua stasiun
televisi berlomba-lomba membuat acara semenarik mungkin, yang bisa menyedot
sebanyak mungkin pengiklan.
Dengan
kenyataan rating sebagai tolok ukur bagi para pihak pemilik stasiun Televisi
ini untuk menghasilkan sebuah karya didunia pertelevisian tidak menutup
kemungkinan adanya beberapa acara yang seharusnya tidak dihadirkan untuk
khalayak, namun karena acara tersebut mampu mendatangkan rating yang cukup
tinggi, maka acara tersebut dengan mudah akan hadir ditengah-tengah masyarakat.
Seperti opini Teguh Imawan dalam artikelnya di Suara Pembaruan,
22 September 2006, beliau menulis opini public tentang rating acara televisi
yang selalu dominan diwarnai oleh dua pandangan hipotesis. “Pertama, bila acara memiliki
rating tinggi, maka otomatis acara tersebut dinilai bagus. Kedua,
sebaliknya, suatu program acara divonis tidak bagus jika capaian angka rating
tergolong rendah. Akibat lebih jauh dari wacana media yang mengunggulkan
rating, membuat sebagian praktisi dan profesional penyiaran, khususnya yang
berkecimpung pada produksi tipe program bergenre nonrating, seperti informasi (news) dan
acara keagamaan,
menjadi turun pamor dan jatuh “harga banderolnya” di mata manajemen TV. “
Kondisi
seperti ini merupakan kondisi yang cukup ironis. Sebab pada praktiknya, saat
ini media selalu melakukan komodifikasi dengan melakukan serangkaian proses
produksi isi media berdasarkan kepentingan pasar (Mosco, 1995: 140-212).
Seperti halnya barang dagangan, pengelolaan media sarat akan nilai-nilai
ekonomis yang berkiblat pada angka rating, efisiensi dan efektivitas produksi,
tiras media, serta pemfokusan target konsumen potensial. Produk media diarahkan
untuk menarik perhatian audiens dalam jumlah besar (Mosco, 1995: 140-212).
Dari
beberapa penjelasan diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pada saat ini,
media menjadikan dirinya sebagai pelayan kepentingan dan kebutuhan pasar, bukan
berdiri seperti kewajibanya, yaitu berdiri dan ada hanya untuk kepentingan
publik. Penegasan ini tidaklah berlebihan mengingat orientasi produk media
hampir semuanya cenderung memenuhi keinginan konsumen dan pemasang iklan. Fakta
ini juga semakin mengokohkan posisi khalayak sebagai produk yang dijual kepada
pemasang iklan maupun sebagai buruh yang dieksploitasi kalangan industrialis
televisi (Lukmantoro, 2008: 59).
Dalam
posisi seperti ini, maka sulit untuk mengharapkan media menjadi bagian dari
pembentuk karakter bangsa yang sehat karena institusi media memang benar-benar
berpengaruh penting dalam proses produksi tayangan pertelevisian (Teori ekonomi
politik media). Dimana para pemegang kekuasaan tertinggi dalam sebuah stasiun
televisi dapat menentukan apa saja tayangan yang harus dan tidak harus
ditayangkan. Apalagi pada saat ini, banyak beberapa stasiun televisi dinegara kita
telah dikuasai oleh beberapa orang yang sama. Dan hal ini tidak menutup
kemungkinan bahwa dunia pertelevisian saat ini seperti berada dalam situasi
industri kultural, dimana produk yang diciptakan selalu berorientasi pada
konsumsi massa. Proses produksinya senantiasa mempertimbangkan kepentingan
material (modal-uang) dan hiburan (kesenangan). Hal ini menunjukkan bahwa
penonton atau penikmat media mengalami cultural brain wash dengan disuguhkan
kebutuhan-kebutuhan palsu melalui bentuk-bentuk tontonan yang monoton, tidak
edukatif-inovatif, serta lebih banyak menonjolkan melankolisme kehidupan.
Contoh sederhana bisa dilihat dari salah satu tayangan yang paling digemari
masyarakat, yakni sinetron. Praktik-praktik industri sinetron Indonesia,
sepertinya dikemas sedemikian rupa sehingga menimbulkan beberapa penyakit yang kontraproduktif bagi sebuah karya seni.
Ironisnya, praktik-praktik ini justru mewabah bergerak progresif dengan angka
capaian rating. Apabila digambarkan secara sederhana, penyakit yang dimaksud
yaitu dengan adanya epigon (mengekor), jiplakan, episode yang
dipanjang-panjangkan, sekuel yang dipaksakan berlanjut, skenario monoton,
adopsi mentah dari luar, menjual wajah tampan atau cantik, berkedok
religius-meski sebenarnya mengarah pada kesyirikan, memaksakan lagu hits
menjadi tema atau daya tarik sinetron, banyaknya hal-hal klise ditampilkan, jam
tayang yang cenderung seragam, menampilkan unsur SARA, Jakarta sentris, bias
gender, stereotipe yang berlebihan, mengumbar makian dan umpatan, eksploitasi
tubuh perempuan (Tidak adanya sikap media sadar gender sama sekali), kekerasan
dan sadistis, mistik, dan sebagainya.
Para
pekerja televisi sering mengedepankan pentingnya rating dan share untuk
mendongkrak popularitas stasiun televisi. Kepentingan divisional itu membuat
pola pikir pragmatis dengan menjadikan angka rating sebagai informasi tunggal
untuk menetapkan pola acara dalam konteks persaingan dengan televisi lain.
Sementara itu, praktisi sales-marketing berfokus bagaimana secara cepat mampu
mengejar dan memenuhi target penjualan spot iklan. Karena tidak ingin sedikit membuka wawasan menerima kreasi baru
program acara, ketika meyakinkan pengiklan agar mau menaruh spot iklan ke acara
yang dimaksud, ia hanya mengandalkan semacam “benchmark” dari data yang sudah siap saji.
Dalam praktiknya, marketing bermodus kreativitas instan seperti ini cenderung
mencari kemudahan mendapatkan klien dengan menyebut nama acara yang sudah ada
sebagai cara praktis menggambarkan isi acara yang ditawarkannya kepada pengiklan
(Imawan, Suara
Pembaruan, 22 September 2006).
Televisi
dianggap sangat takluk dan tunduk pada rating, tidak sama dengan media cetak
ataupun media interaktif seperti internet, hal ini disebabkan adanya potensial viewer
yang sangat besar dari media televisi. Di luar ketegori televisi berlangganan
atau televisi kabel, nyaris tidak ada biaya (uang) yang dikeluarkan seseorang
untuk menonton televisi. Maka masyarakat penonton televisi Indonesia yang
notabene rata-rata berkemampuan ekonomi menengah ke bawah, cenderung memilih
mengonsumsi media televisi, dibanding media lainnya. Dalam Media Scene tahun
2005-2006 disebutkan jumlah total penduduk Indonesia adalah 219.898.300 jiwa,
sedangkan jumah penduduk di daerah yang terjangkau siaran televisi mencapai
175.296.231 (Siregar: 2007: 35-36). Angka ini tentu menjadi lahan yang sangat
subur bagi produsen untuk mempromosikan produknya lewat televisi berapapun
biaya yang harus dikeluarkan. Fakta ini didukung pula oleh kekuatan televisi
sebagai media penyampai iklan dengan berbagai kelebihan, terutama kemampuan
menggabungkan citra verbal dan nonverbal dalam format audio visual yang mudah
diakses, sulit ditandingi media manapun. Tak heran bila belanja iklan di
televisi jauh mengungguli media lainnya. Pengiklan sangat berkepentingan dengan
kemampuan menjangkau jumlah pemirsa sebanyak mungkin terhadap materi iklannya
yang disiarkan melalui acara TV, sehingga biaya promosi yang dikeluarkan itu
berpotensi balik dengan jumlah keuntungan (benefit) yang jauh lebih tinggi.
Seiring berlalunya waktu, hasrat beriklan ini mencapai puncaknya pada
acara-acara yang berkategori tayang prime time. Menurut Nielsen Media
Research (NMR), prime
time adalah waktu ketika semua orang sudah pulang ke rumah dan
menonton televisi. Terletak antara pukul 19.00 – 21.00 malam. Prime time dipercaya akan
menghasilkan rating yang lebih tinggi dibanding waktu lain. Pemahaman ini
membuat acara yang tayang pada waktu tersebut menjadi lebih mahal harganya
(Panjaitan & Iqbal, 2006: 42).
Momen
istimewa prime
time digunakan televisi untuk menayangkan program acara (sebutlah
sinetron sebagaimana disinggung sebelumnya) yang isinya kurang lebih sama.
Keseragaman ini bergeser lebih awal pada momen-momen tertentu, misalnya bulan
Ramadhan. Akibatnya, publik yang ingin mencari alternatif tayangan tidak diberi
kesempatan. Hak publik untuk memperoleh keragaman materi produksi televisi (diversity of content)
pada jam-jam tersebut tampaknya diabaikan begitu saja oleh pengelola stasiun
televisi.
Kesimpulan
Analisis:
Rating
dan iklan merupakan kesatuan yang tampaknya sangat sulit untuk dipisahkan,
dengan adanya rating yang tinggi terhadap suatu acara tertentu, maka hal itu
akan menghadirkan para pengiklan untuk memberikan sponsornya melalui peletakan
iklanya kepada suatu acara tertentu tersebut. Disini, sebagai studi kasus
adalah acara Kick Andy diMetro Tv yang merupakan tayangan berkualitas namun
tidak banyak orang atau audiens yang menonton acara tersebut, sehingga program
acara Kick Andy ini tidak mendapatkan rating yang cukup tinggi dikancah dunia
pertelevisian , akibatnya iklan yang mensponsori acaranya sangatlah minim bila
dibandingkan dengan beberapa program acara tertentu yang ditayangkan dijam-jam
yang sama denganya, seperti beberapa reality show, dan sinetron-sinetron yang
bersifat melankolis dan seolah-olah digembar-gemborkan agar mendapatkan
perhatian banyak dari audiens.
Bukan
hanya itu, namun juga tayangan-tayanagn serupa yang bersifat seragam dan
monotonpun menjadi penghalang bagi program acara Kick Andy untuk mendapatkan
rating tinggi. Karena hal-hal yang bersifat hiburan dan kesenangan tersebut
memang telah diagendakan menjadi tayangan utama bagi para pemilik stasiun
televisi dengan tujuan untuk mendapatkan rating tinggi sehingga akan berimbas
pula pada banyaknya pengiklan yang masuk untuk mensponsori program-progran
acara tersebut. Hasilnya, para pemilik stasiun televisi tersebut akan
mendapatkan keuntungan atas komoditas yang ia lakukan terhadap
tayangan-tayangan dari stasiun televisinya yang disuguhkan pada khalayak atau
audiens.
Hal
ini menunjukkan bahwa kebutuhan untuk mengetahui jumlah audiens yang
menggunakan media semakin berkembang. Ini terjadi ketika semakin banyak para
pengiklan yang ingin mengetahui seberapa banyak audiens sebuah media, yang
berimbas pada seberapa menjanjikannya media itu membawa keuntungan bagi para
pengiklan.
Perlu
diketahui bahwa program acara pada setiap stasiun televisi tidak akan dapat
hidup tanpa adanya loyalitas pemirsa dan iklan karena dari loyalitas ini akan
sangat berpengaruh terhadap jumlah pendapatan dari pemasang iklan yang akan
beriklan di stasiun televisi tersebut, sehingga itu menciptakan suatu kompetisi
atau persaingan antar program acara televisi yang cukup ketat guna meraih
target audiens yang diinginkan.
MACAM-MACAM METODE RATING
1
Metode diary:
Yang
dimaksud dengan Metode diary yaitu proses pengumpulan data responden yang
dilakukan dengan menggunakan teknik pengumpulan data demografis, dimana Responden diminta untuk
merekam aktivitasnya dengan mencatat kepemirsaan TV
selama mereka menonton suatu program acara di TV pada buku catatan atau formulir yang
telah diberikan. Responden mengisi buku tersebut setiap 15 menit satu kali setiap harinya
dalam satu periode tertentu yang biasanya dalam jangka waktu satu minggu.
Sedangkan yang harus dicatat adalah nama
stasiun dan nama program mana yang telah dipilih pada setiap waktu, serta umur, jenis kelamin dan anggota keluarga atau
tamu lain yang juga ikut menonton.
Setiap
akhir minggu diary yang telah selesai diisi dikirim ke perusahaan yang terkait
dengan penelitian ini, setelah itu informasinya diproses dan sebagian hasilnya
dipublikasikan.
Adapun
Kelebihan dari metode ini dibandingkan dengan metode estimasi yang lain adalah penyediaan
informasi yang secara mendetail yang dihadirkan dari metode diary. Informasi
tentang pelaporan perilaku masing-masing penonton dan biaya yang dikeluarkanpun
relative lebih murah. Namun terdapat pula kelemahan dari metode ini, yaitu
penonton bisa saja berlaku tidak jujur terhadap apa yang telah ia laporkan dan
informasikan, atau bisa saja mereka gagal untuk menyelesaikan catatanya dan
gagal pula ketika mereka akan mengembalikan catatan tersebut. Karena Pemirsa
bisa saja lupa tentang apa yang telah ia tonton dan tulisan bisa tidak terbaca.
Hasil penelitian dengan metode diary inipun terkesan begitu lambat.
Saat ini, teknologi diary dikembangkan untuk daily rating, belum real-time. Artinya data responden yang menonton program acara TV
kemarin, sudah dapat dianalisis pada
hari ini. Metode diary merupakan bentuk penggunaan metode yang digagas
oleh American Research Bureau, yang pada akhirnya lebih dikenal dengan nama
Arbitron.
2 Metode Telepon Coincidental:
Yang
dimaksud dengan Metode Telepon Coincidental
yaitu sebuah metode pengumpulan data untuk estimesi audiens yang diciptakan oleh perusahaan
CE Hooper. Dimana metode ini merupakan perbaikan dari metode Telepon Recall. Pada metode
ini, responden ditelepon dan ditanya apakah mereka sedang menonton Televisi
ataukah sedang mendengarkan radio pada program acara tertentu baik di TV
ataupun di Radio saat ditelpon. Apabila jawaban dari responden yang saat itu
ditelepon adalah “ya”, maka pertanyaan
dilanjutkan dengan program acara TV atau radio apa, dan dari stasiun mana, yang
tengah mereka tonton atau dengarkan, dan hasil survey ini, yang selanjutnya
dikenal dengan sebutan Hooperatings. Metode inipun dianggap lebih kuat karena
dalam metode pengumpulan data ini dianggap tidak bergantung pada ingatan seseorang, dan hasil
penelitian bisa dilakukan relative lebih cepat dan murah, namun kelemahanya
adalah pertanyaan yang diajukan oleh penelpon yang berperan sebagai peneliti
rating ini selalu dilakukan dengan cara yang singkat sehingga kadang responden kurang kooperatif dan respon yang diperoleh kurang
maksimal juga sulitnya untuk memperoleh respon yang mendetail dari responden.
3
Metode Telepon Recall:
Yang dimaksud dengan Metode Telepon Recall adalah proses pengumpulan data dari audience untuk
menentukan rating pada TV ataupun radio yang dilakukan oleh Pihak-pihak
peneliti rating dengan menelepon nomor-nomor tertentu yang ditentukan secara
acak dari buku telepon, dan menanyakan kepada responden program acara TV atau
radio apa saja yang telah mereka dengarkan pada beberapa periode tertentu yang
telah ditentukan untuk ditanyakan kepada responden. Beberapa periode yang
dimaksudkan, bisa saja pada baru-baru ini atau kemaren malam, atau bahkan kemaren
lusa.
Namun
metode ini diragukan kredibilitasnya. Karena, ingatan manusia bisa saja salah
ketika diminta untuk mengingat apa yang telah mereka tonton atau dengar baik
diTv ataupun Radio beberapa jam terakhir atau pada malam sebelumnya
(Dominick.,dkk, 2004: 274), sehingga hasil dari pengumpulan data pada metode
ini dianggap kurang akurat.
4
Metode Personal Interview:
Yang dimaksud dengan Metode Personal Interview adalah proses pengumpulan data dari audience
untuk menentukan rating pada TV ataupun radio yang dilakukan oleh Pihak-pihak
peneliti rating tersebut dengan melakukan wawancara secara langsung dilapangan
yaitu dengan cara mengunjungi responden dirumah mereka dengan tujuan untuk
menanyakan apakah program acara tertentu yang seringkali mereka tonton atau
dengar baik diTV ataupun Radio.
Kelebihan dari metode ini adalah
terciptanya hubungan yang lebih personal dan informasi yang didapatkanpun akan
lebih detail dapat diterima dibandingkan dengan metode lain, namun kelemahanya
adalah responden bisa saja bersikap tidak jujur dalam memberikan informasi,
selain itu interview juga dimungkinkan akan membutuhkan waktu yang cukup lama,
dan biaya yang harus dikeluarkanpun relative lebih mahal.
5
Metode Peoplemeter:
Yang
dimaksud dengan peoplemeter adalah sebuah sistem pengambilan
data kepemirsaan televisi yang dilakukan dengan menghubungkan tombol handset,
Pesawat-pesawat TV dan peralatan lain dengan TV, misalnya DVD player, Play
Station, dan lain-lain di masing-masing rumah panel yang dipantau secara elektronik
oleh sistem suatu ukuran rating TV yang ditentukan oleh panel dari
tiap-tiap wilayah kota yang berbeda. Sedangkan panel yang dimaksud disini yaitu anggota dari rumah tangga yang memiliki pesawat
televisi dalam kondisi berfungsi dengan baik dan berusia 5 tahun ke atas.
Sedangkan
yang dimaksud dengan metode peoplemeter sendiri sangat sederhana dapat
dipahami, yaitu sebuah proses pengambilan data responden guna mengetahui
prosentase rating terhadap program acara TV tertentu yang dilakukan dengan
meminta anggota rumah tangga yang telah dipilh sebagai panel untuk menekan
tombol handset pada saat menonton TV, dan menekan kembali ketika selesai
menonton. Lalu data dari people meter akan terkirim secara langsung melalui jaringan
telepon ke komputer sentral yang memiliki data demografis detail tentang setiap
keluarga. Data demografis ini sendiri didapat melalui wawancara ketika people meter pertama
kali dipasang.
Namun
apabila anggota rumah tangga atau panel ini tidak menekan tombol handset atau
lupa untuk menggunakan handset Peoplemeter ketika sedang menonton TV, maka
pengumpulan data kepemirsaan dari responden tersebut masih bisa dimungkinkan
untuk tetap terhitung karena ketika TV menyala tanpa seorangpun menekan tombol pada
handset, perangkat Peoplemeter akan secara otomatis mencoba untuk mengingatkan
panel dengan memberikan sinyal peringatan berupa suara dan running text “Siapa
menonton?”. Namun apabila perinagtan yang berupa suara dan teks tersebut diacuhkan, maka
AGBNielsen akan bisa mengidentifikasikannya saat data diproses melalui Periodic
Statistic Report terhadap “analisis kepemirsaan yang tidak lolos produksi”.
Terdapat patokan tertentu untuk data
kepemirsaan yang lolos quality control produksi.
Apabila
patokan tersebut terlampaui, maka data kepemirsaan dari rumahtangga tertentu
akan disingkirkan dan tidak akan diproses. AGBNielsen juga akan mengirim
petugas untuk melakukan re-edukasi panel untuk menekan tombol. Jika rumahtangga
panel tidak memperlihatkan perkembangan setelah dire-edukasi, maka panel akan
dilepas untuk diganti dengan panel yang baru.
Namun
metode people
meter ini dapat dikatakan terlalu menguras biaya dalam hal
pemasangan dan pemeliharaan. Selain itu, penonton anak-anak sulit diukur dengan
people meter,
sebab mereka tidak konsisten dalam menggunakan people meter, dan cenderung
cepat bosan jika harus memencet remote terus-menerus.
DAFTAR
PUSTAKA
Sumber
Buku:
o Agustrijanto,
2002. Copywriting. Bandung Rosda.
o Hakim, Budiman, 2006. Lanturan tapi Relevan.
Yogyakarta: Galang.
o Madjadikara,
Agus S. 2004. Bagaimana Biro Iklan Memproduksi Iklan. Jakarta: Gramedia.
o Kotler, Philip and Amstrong,
Gary. Alih bahasa Damos Sihombing. 2001. Prinsip-prinsip
pemasaran Ed 8. Jakarta:Erlangga
o Rapp, Stan & Tom Collins.
1995.Terobosan
Baru dalam Strategi Promosi, Periklanan,
dan Promosi, Maxi Marketing. (terj. Hifni Alifahmi). Jakarta: Erlangga.
o Suhandang, Kustadi. 2010. PERIKLANAN:Manajemen, Kiat dan Strategi.
Bandung: NUANSA.
Sumber Internet:
Akses: Sabtu, 02-07-2011, Pukul
18.30-18.15
Akses: Sabtu, 02-07-2011, Pukul
18.30-19.00
Akses: Sabtu, 02-07-2011, Pukul
18.15-18.30
Akses: Rabu, 29-06-2011, Pukul
15.02-17.00
Akses: Sabtu, 02-07-2011, Pukul
18.30-18.40
Akses: Minggu, 03-07-2011, Pukul
09.10-09.15
Akses: Selasa, 28-06-2011, Pukul
13.30-14.00
Akses: Minggu, 03-07-2011, Pukul
09.15-19.25
Tidak ada komentar:
Posting Komentar