Sabtu, 05 Mei 2012

MANAJEMEN PERIKLANAN_RATING


MANAJEMEN PERIKLANAN_RATING

            Manajemen Periklanan adalah Suatu sistem yang terdiri dari beberapa lembaga/organisasi yang saling berinteraksi dan menjalankan peranan yang berbeda dalam proses periklanan.

            Lembaga/organisasi yang berinteraksi : pengiklan, biro iklan, perusahaan media, biro riset, pemerintah, pesaing.

            Ilmu pemasaran terpusat pada bauran pemasaran [market mix] yang dicetuskan oleh Philip Kotler yang dikenal dengan istilah 4P untuk produk barang dan 7P untuk produk jasa. Salah satu variable dari bauran pemasaran adalah promosi. Tentunya promosi diperlukan sebagai sarana komunikasi produsen untuk memperkenalkan barang atau jasa kepada konsumen yang bertujuan untuk menarik minat calon pembeli menjadi pembeli dan kemudian menjadi pelanggan.             Dan iklan merupakan salah satu alat promosi disamping promosi penjualan [sales promotion] dan hubungan masyarakat [public relation]. Periklanan sangat esensial bagi bidang pemasaran karena melalui periklanan konsumen dapat mengetahui produk yang diinginkan dan produsen dapat memprkenalkan produk yang mereka tawarkan. Hal ini penting karena dapat memudahkan kegiatan pemasaran yakni memasarkan barang atau jasa kepada konsumen.
            Definisi iklan adalah segala biaya yang harus dikeluarkan sponsor untuk melakukan presentasi dan promosi non-pribadi dalam bentuk gagasan, barang dan jasa.
Periklanan yang baik harus memiliki tujuan dan tentunya tujuan tersebut harus dicapai yaitu bertugas sebagai komunikasi tertentu yang harus dilakukan dengan audiens sasaran tertentu selama periode waktu yang tertentu. Hal yang perlu diperhatikan seorang marketer dalam hal periklanan adalah dalam hal penetapan anggaran iklan. Ada beberapa factor spesifik yang harus dipertimbangkan dalam penentuan anggaran periklanan. Diantaranya ; Tahapan dalam daur hidup produk, pasar, persaingan dan kesemrawutan, frekuensi periklanan, diferensiasi produk.
            Untuk mencapai tujuan dalam periklanan, iklan yang dibuat harus didasari oleh strategi iklan yang tepat. Strategi iklan terdiri dari dua elemen utama: penciptaan pesan iklan dan penyeleksian media iklan. Dan terakhir harus ada suatu bentuk evaluasi yaitu mengevaluasi efek komunikasi pada sebuah iklan, mengungkapkan apakah iklan tersebut mampu menyampaikan pesannya dengan baik.
            Tujuan Periklanan harus sejalan dengan tujuan pemasaran atau dengan kata lain tujuan Periklanan hanya bisa ditetapkan jika tujuan pemasaran suatu produk telah ditransformasikan ke dalam tujuan promosi.
Dalam tujuan Periklanan harus menjabarkan berapa % tingkat awareness (sadar kenal/tanggapan) yang diharapkan terhadap target audience Dalam tujuan promosi biasanya dinyatakan berapa banyak orang yang diharapkan tahu tentang promosi yang disampaikan dan pada tingkat tanggapan yang bagaimana Selanjutnya ditetapkan berapa banyak yang harus menjadi tanggung jawab Periklanan dan berapa banyak dari unsur-unsur promosi lainnya (Personal Selling, Publicity, Sales Promotion) Bila seandainya aktivitas unsur-unsur promosi lainnya dianggap tidak diperlukan dengan sendirinya target audience tersebut harus menjadi tanggung jawab sepenuhnya Periklanan.
            Langkah berikutnya adalah menentukan strategi Periklanan untuk mengetahui tingkat tanggapan yang diharapkan sehingga khalayak sasaran bersedia membeli produk yang diiklankan.
Dalam strategi yag dimaksud, terdapat dua hal utama yaitu:
a     Siapa khalayak sasaran Periklanan
b     Bagaimana membuat khalayak sasaran Periklanan tersebut tahu tentang iklan produk kita sehingga tercapai yang dinyatakan oleh tujuan Periklanan. Sebagai alat pencapaian tersebut ialah dengan advertising mix yang terdiri dari unsur media dan unsur kreatif.
            Apabila strategi telah ada, maka selanjutnya kita menentukan taktik apa yang paling tepat untuk melaksanakan kampanye iklan. Yang dimaksud yaitu unsure-unsur pokok kampanye iklan, yang terbagi atas dua. Diantaranya adalah Gagasan kreatifitas dan penentuan media apa yang harus digunakan:
o   Sebagaimana setiap perencanaan , dalam perencanaan kreatif kita perlu menetapkan 4 hal pokok, yaitu :
1.    Tujuan Kreatif Dinyatakan dalam tingkat tanggapan (respons) yang kita inginkan terjadi pada diri khalayak (audience).
2.    Strategi Kreatif Mencakup pemilihan strategi dasar untuk menciptakan iklan dari gagasan isinya (content). Strategi kreatif ini kemudian akan dituangkan ke dalam bentuk rencana kerja kreatif (creative workplan) yang kemudian akan dijadikan dasar untuk pelaksanaan eksekusi kreatif. Creative workplan disusun berdasarkan konsep produk yang telah disiapkan sebelumnya sebagai identifikasi atas produk, konsumen, kondisi pasar dan persaingan. Strategi kreatif dinyatakan dalam jabaran yang menetapkan Siapa khalayak sasaran kreatif (creative target audience), Bagaimana membuat paduan kreatif (penulisan naskah dan art & visualisasi) yang lebih efektif terhadap khalayak sasaran tersebut.
            Hasil kerja seorang copywriter disebut dengan copywriting. Copywriting adalah benda abstrak berstruktur kata-kata yang membangun emosi dan membentuk imajinasi sehingga mempengaruhi pembaca maupun pendengarnya untuk berbuat seperti yang diharapkan si pembuat teks. Oleh karena itu, bahasa dalam iklan dituntut mampu menggugah, informatif, persuasif, bertenaga gerak. Untuk menyampaikan gagaan pikiran dalam suatu bahasa seorang penulis iklan harus mengetahui aturan-aturan dalam sebuah bahasa. Tentu saja, “bermain-main” dengan bahasa atau sesekali melanggar peraturan baku diperbolehkan asalkan hal itu memang menjadi konsep kreatif dan terdapat dalam Kreatif Brief. Keefektivan bahasa dalam iklan harus memiliki sifat menjual serta memperhatikan media iklan, target audience , serta rencana pemasaran: apakah produk baru ataukah lama.  Hal ini harus didukung oleh “paralanguage” yang berupa layout, jenis huruf, visual dan media. Terkadang penggunaan bahasa dalam iklan dipandang menarik, jika bersifat lanturan. Lanturan adalah sengaja melantur, dengan selalu menjaga sifat relevan dari lanturan tersebut. Syarat untuk membuat lanturan adalah penguasaan gaya bahasa, baik itu personifikasi, analogi, kontradiksi, metafora, sinisme, sarkasme, hiperbola, maupun paradoks.
            Selain kekreatifitasan, dalam unsur pokok kampanye iklan juga terdapat pelaksanaan penetuan Media.
            Dalam menentukan media apa yang akan dipilih, dipengaruhi oleh beberapa unsure dibawah ini:
1. Khalayak sasaran
2. Pemilihan media (Media Selection) Media plan/schedule
3. Executions, yaitu yang berisi:
a. Layout dan copy untuk iklan cetak
b. Naskah radio
c. Storyboard untuk iklan televise
5. Budget
o   Pengembangan konsep kreatif dan produksi materi kreatif
o   Pemasangan iklan di media yang ditetapkan
o   Aktivitas komunikasi pemasaran lain

            Selain beberapa penjelasan tentang periklanan diatas, terdapat pula beberapa hal penting yang merupakan inti dari terwujudnya sebuah periklanan. Yaitu beberapa pihak yang berhubungan dengan industry periklanan yang termasuk pula dalam komponen-komponen periklanan.
            Dalam Buku Etika Pariwara Indonesia (EPI), biro iklan (advertising agency) diartikan sebagai suatu organisasi usaha yang memiliki keahlian untuk merancang, mengkoordinasi, mengelola, dan atau memajukan merek, pesan, dan komunikasi pemasaran atas nama pengiklan dengan memperoleh imbalan atas layanannya tersebut. Selanjutnya Pelaku yaitu pihak pengiklan, yang terbentuk dalam sebuah perusahaan periklanan atau media. Selain itu ada pula pihak yang disebut sebagai inti dari komponen periklanan, yang dimaksud adalah Pengiklan, yaitu produsen pemasang iklan yang mempunyai anggaran untuk kampanye periklanan sebagai pendukung program pemasaran. Yang terakhir adalah Media (periklanan) yiatu sarana komunikasi yang berfungsi sebagai penyampai pesan-pesan iklan kepada khalayak.
            Setelah strategi dan unsure-unsur pokok kampanye iklan diatas, terdapat pula beberapa kegiatan lain yang dilakukan dalam bidang  pekerjaan jasa periklanan diantaranya yaitu:
a     Analisis situasi, diantaranya yaitu: Riwayat Produk, Latar Belakang diciptakannya produk, Budget Periklanan yang sudah dikeluarkan dalam periode tertentu, Tema iklan yang sudah pernah atau sedang digunakan, Pengaruh kondisi social, politik dan ekonomi yang berkaitan dengan pemasaran produk, Problem yang dihadapi dan peluang yang ada, Hal-hal lain yang dapat mempengaruhi program Periklanan, Data-data pemasaran penunjang yang diperlukan.
b     Evaluasi produk, diantaranya yaitu:  Deskripsi produk dibandingkan dengan competitor, Pengembangan, modifikasi dan perubahan-perubahan lain yang terjadi pada produk selama dipasarkan, Persepsi konsumen terhadap produk, Distribusi produk, Pendapat para distributor atau retailer terhadap ketersediaan dan pemasaran produk, Kemasan produk, Problem yang dihadapi konsumen terhadap produk tersebut.
c      Evaluasi konsumen, diantaranya yaitu:  Geografi, demografi, psikografi, Pendapat terhadap produk : kualitas, harga, kemasan, iklan dan aktivitas promosi lain, after sales sevice, dan sbagainya, Pola penggunaan produk.
d     Riset, diantaranya yaitu: Riset Pemasaran, Riset Media, Riset Motivasi, dan Copy testing. Dalam riset media, dikenal adanya istilah rating, yaitu gambaran prosentase jumlah penonton atau penikmat suatu program tertentu.
           
            Rating dapat pula dikatakan sebagai perkiraan komperatif, karena sesungguhnya rating akan membandingkan estimasi jumlah audiens yang sebenarnya dengan total audiens. Estimasi Audiens sendiri terbagi menjadi tiga metode untuk menentukan rating. Selain itu, Rating juga merupakan komponen terpenting dalam suatu acara Televisi tertentu karena melalui rating, Perusahaan periklanan akan bergantung kepada suatu acara TV tertentu tersebut untuk memasang iklan produknya.
Didalam rating sendiri terdapat istilah share, yang digunakan untuk mengetahui seberapa banyak audiens yang menonton acara TV, share juga menunjukkan seberapa “Baik ” suatu program acara tertentu dalam TV dalam persainganya dengan suatu  program acara tertentu dari TV pesaingnya.
            Rating dapat menjadi motivasi bagi pelaku insane pertelevisian, namun Rating juga dapat menimbulkan tekanan bahkan pembunuhan kreatifitas insane pertelevisian, dan hal itulah yang menjadi kelemahan rating. Selain itu keleman rating dapat pula diuraikan sebagai berikut:
1.    Sampel responden tidak representative
2.    Rating Tv dapat menjadikan pilihan tontonan terbatas
3.    Survey rating dilakukan oleh lembaga monopoli tanpa adanya pembanding, dan
4.    Tidak adanya audit atas hasil survey dalam penentuan perhitungan rating.
           
Daftar Pustaka
o   Agustrijanto, 2002. Copywriting. Bandung Rosda.
o   Hakim, Budiman, 2006. Lanturan tapi Relevan. Yogyakarta: Galang.
o   Madjadikara, Agus S. 2004. Bagaimana Biro Iklan Memproduksi Iklan.            Jakarta: Gramedia.
o   Kotler, Philip and Amstrong, Gary. Alih bahasa Damos Sihombing. 2001.    Prinsip-prinsip pemasaran Ed 8. Jakarta:Erlangga
o   Rapp, Stan & Tom Collins. 1995.Terobosan Baru dalam Strategi Promosi, Periklanan, dan Promosi, Maxi Marketing. (terj. Hifni Alifahmi).    Jakarta: Erlangga.
o   Hand Out Manajemen Periklanan


ANALISIS TENTANG RATING:
            “ Rating sangat dibutuhkan dalam industry pertelevisian karena jaringan, stasiun TV, dan produser program tentunya ingin mengetahui apakah orang menyaksikan acara mereka atau tidak, siapa saja yang menonton, dan berapa banyak jumlahnya. Rating digunakan ketika para pihak pertelevisian ingin mengetahui banyaknya pemirsa yang menonton suatu program pada lintas periode waktu tertentu. Sedangkan yang dimaksud dengan rating program sendiri yaitu rata-rata pemirsa pada program tertentu yang dinyatakan sebagai persentase dari kelompok sampel atau potensi total. Angka Rating Program didasarkan atas unit waktu terkecil 1 menit” . Sedangkan “Periklanan dapat dikatakan pula sebagai institusi social, karena dalam periklanan terdapat banyaknya lembaga kemasyarakatan yang terlibat dalam proses pembuatan dan penyajian iklannya. Namun arti dari periklanan sendiri adalah suatu proses komunikasi massa yang melibatkan sponsor tertentu, yakni si pemasang iklan (Pengiklan), yang membayar jasa sebuah media massa atas penyiaran iklannya, misalnya dengan melalui program siaran televise. Namun tidak jarang pula, sebuah iklan dibuat atas pesanan dari si pemasang iklan oleh sebuah agen atau biro iklan; atau juga bisa oleh bagian humas atau yang akrab dikenal dengan sebutan public relation  dari lembaga pemasang iklan itu sendiri. ”
            Diakui ataukah tidak bahwa dunia pertelevisian indonesia telah terjangkit sindrom snobisme, yang  terjebak dalam selera pasar dengan mendasarkan pada rating acara. Apalagi sejak dibukakannya secara lebar  informasi dan banyaknya stasiun televisi swasta berdiri.           Mengapa harus rating yang diunggulkan? Sebab, rating adalah tolok ukur yang menentukan nilai jual suatu program acara kepada para pengiklan. Apabila rating pada sebuah acara dinilai tinggi maka akan dengan mudah didapatkan besarnya minat para pengiklan untuk mensponsori acara tersebut meski mereka harus menukar dengan nilai rupiah yang cukup tinggi. Atas dasar inilah, akibatnya, semua stasiun televisi berlomba-lomba membuat acara semenarik mungkin, yang bisa menyedot sebanyak mungkin pengiklan.
            Dengan kenyataan rating sebagai tolok ukur bagi para pihak pemilik stasiun Televisi ini untuk menghasilkan sebuah karya didunia pertelevisian tidak menutup kemungkinan adanya beberapa acara yang seharusnya tidak dihadirkan untuk khalayak, namun karena acara tersebut mampu mendatangkan rating yang cukup tinggi, maka acara tersebut dengan mudah akan hadir ditengah-tengah masyarakat. Seperti opini Teguh Imawan dalam artikelnya di Suara Pembaruan, 22 September 2006, beliau menulis opini public tentang rating acara televisi yang selalu dominan diwarnai oleh dua pandangan hipotesis. “Pertama, bila acara memiliki rating tinggi, maka otomatis acara tersebut dinilai bagus. Kedua, sebaliknya, suatu program acara divonis tidak bagus jika capaian angka rating tergolong rendah. Akibat lebih jauh dari wacana media yang mengunggulkan rating, membuat sebagian praktisi dan profesional penyiaran, khususnya yang berkecimpung pada produksi tipe program bergenre nonrating, seperti informasi (news) dan acara keagamaan, menjadi turun pamor dan jatuh “harga banderolnya” di mata manajemen TV. “
            Kondisi seperti ini merupakan kondisi yang cukup ironis. Sebab pada praktiknya, saat ini media selalu melakukan komodifikasi dengan melakukan serangkaian proses produksi isi media berdasarkan kepentingan pasar (Mosco, 1995: 140-212). Seperti halnya barang dagangan, pengelolaan media sarat akan nilai-nilai ekonomis yang berkiblat pada angka rating, efisiensi dan efektivitas produksi, tiras media, serta pemfokusan target konsumen potensial. Produk media diarahkan untuk menarik perhatian audiens dalam jumlah besar (Mosco, 1995: 140-212).
            Dari beberapa penjelasan diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pada saat ini, media menjadikan dirinya sebagai pelayan kepentingan dan kebutuhan pasar, bukan berdiri seperti kewajibanya, yaitu berdiri dan ada hanya untuk kepentingan publik. Penegasan ini tidaklah berlebihan mengingat orientasi produk media hampir semuanya cenderung memenuhi keinginan konsumen dan pemasang iklan. Fakta ini juga semakin mengokohkan posisi khalayak sebagai produk yang dijual kepada pemasang iklan maupun sebagai buruh yang dieksploitasi kalangan industrialis televisi (Lukmantoro, 2008: 59).
            Dalam posisi seperti ini, maka sulit untuk mengharapkan media menjadi bagian dari pembentuk karakter bangsa yang sehat karena institusi media memang benar-benar berpengaruh penting dalam proses produksi tayangan pertelevisian (Teori ekonomi politik media). Dimana para pemegang kekuasaan tertinggi dalam sebuah stasiun televisi dapat menentukan apa saja tayangan yang harus dan tidak harus ditayangkan. Apalagi pada saat ini, banyak beberapa stasiun televisi dinegara kita telah dikuasai oleh beberapa orang yang sama. Dan hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa dunia pertelevisian saat ini seperti berada dalam situasi industri kultural, dimana produk yang diciptakan selalu berorientasi pada konsumsi massa. Proses produksinya senantiasa mempertimbangkan kepentingan material (modal-uang) dan hiburan (kesenangan). Hal ini menunjukkan bahwa penonton atau penikmat media mengalami cultural brain wash dengan disuguhkan kebutuhan-kebutuhan palsu melalui bentuk-bentuk tontonan yang monoton, tidak edukatif-inovatif, serta lebih banyak menonjolkan melankolisme kehidupan. Contoh sederhana bisa dilihat dari salah satu tayangan yang paling digemari masyarakat, yakni sinetron. Praktik-praktik industri sinetron Indonesia, sepertinya dikemas sedemikian rupa sehingga menimbulkan beberapa penyakit  yang kontraproduktif bagi sebuah karya seni. Ironisnya, praktik-praktik ini justru mewabah bergerak progresif dengan angka capaian rating. Apabila digambarkan secara sederhana, penyakit yang dimaksud yaitu dengan adanya epigon (mengekor), jiplakan, episode yang dipanjang-panjangkan, sekuel yang dipaksakan berlanjut, skenario monoton, adopsi mentah dari luar, menjual wajah tampan atau cantik, berkedok religius-meski sebenarnya mengarah pada kesyirikan, memaksakan lagu hits menjadi tema atau daya tarik sinetron, banyaknya hal-hal klise ditampilkan, jam tayang yang cenderung seragam, menampilkan unsur SARA, Jakarta sentris, bias gender, stereotipe yang berlebihan, mengumbar makian dan umpatan, eksploitasi tubuh perempuan (Tidak adanya sikap media sadar gender sama sekali), kekerasan dan sadistis, mistik, dan sebagainya.
            Para pekerja televisi sering mengedepankan pentingnya rating dan share untuk mendongkrak popularitas stasiun televisi. Kepentingan divisional itu membuat pola pikir pragmatis dengan menjadikan angka rating sebagai informasi tunggal untuk menetapkan pola acara dalam konteks persaingan dengan televisi lain. Sementara itu, praktisi sales-marketing berfokus bagaimana secara cepat mampu mengejar dan memenuhi target penjualan spot iklan. Karena tidak ingin  sedikit membuka wawasan menerima kreasi baru program acara, ketika meyakinkan pengiklan agar mau menaruh spot iklan ke acara yang dimaksud, ia hanya mengandalkan semacam “benchmark” dari data yang sudah siap saji. Dalam praktiknya, marketing bermodus kreativitas instan seperti ini cenderung mencari kemudahan mendapatkan klien dengan menyebut nama acara yang sudah ada sebagai cara praktis menggambarkan isi acara yang ditawarkannya kepada pengiklan (Imawan, Suara Pembaruan, 22 September 2006).
            Televisi dianggap sangat takluk dan tunduk pada rating, tidak sama dengan media cetak ataupun media interaktif seperti internet, hal ini disebabkan adanya potensial viewer yang sangat besar dari media televisi. Di luar ketegori televisi berlangganan atau televisi kabel, nyaris tidak ada biaya (uang) yang dikeluarkan seseorang untuk menonton televisi. Maka masyarakat penonton televisi Indonesia yang notabene rata-rata berkemampuan ekonomi menengah ke bawah, cenderung memilih mengonsumsi media televisi, dibanding media lainnya. Dalam Media Scene tahun 2005-2006 disebutkan jumlah total penduduk Indonesia adalah 219.898.300 jiwa, sedangkan jumah penduduk di daerah yang terjangkau siaran televisi mencapai 175.296.231 (Siregar: 2007: 35-36). Angka ini tentu menjadi lahan yang sangat subur bagi produsen untuk mempromosikan produknya lewat televisi berapapun biaya yang harus dikeluarkan. Fakta ini didukung pula oleh kekuatan televisi sebagai media penyampai iklan dengan berbagai kelebihan, terutama kemampuan menggabungkan citra verbal dan nonverbal dalam format audio visual yang mudah diakses, sulit ditandingi media manapun. Tak heran bila belanja iklan di televisi jauh mengungguli media lainnya. Pengiklan sangat berkepentingan dengan kemampuan menjangkau jumlah pemirsa sebanyak mungkin terhadap materi iklannya yang disiarkan melalui acara TV, sehingga biaya promosi yang dikeluarkan itu berpotensi balik dengan jumlah keuntungan (benefit) yang jauh lebih tinggi. Seiring berlalunya waktu, hasrat beriklan ini mencapai puncaknya pada acara-acara yang berkategori tayang prime time. Menurut Nielsen Media Research (NMR), prime time adalah waktu ketika semua orang sudah pulang ke rumah dan menonton televisi. Terletak antara pukul 19.00 – 21.00 malam. Prime time dipercaya akan menghasilkan rating yang lebih tinggi dibanding waktu lain. Pemahaman ini membuat acara yang tayang pada waktu tersebut menjadi lebih mahal harganya (Panjaitan & Iqbal, 2006: 42).
            Momen istimewa prime time digunakan televisi untuk menayangkan program acara (sebutlah sinetron sebagaimana disinggung sebelumnya) yang isinya kurang lebih sama. Keseragaman ini bergeser lebih awal pada momen-momen tertentu, misalnya bulan Ramadhan. Akibatnya, publik yang ingin mencari alternatif tayangan tidak diberi kesempatan. Hak publik untuk memperoleh keragaman materi produksi televisi (diversity of content) pada jam-jam tersebut tampaknya diabaikan begitu saja oleh pengelola stasiun televisi.
Kesimpulan Analisis:
            Rating dan iklan merupakan kesatuan yang tampaknya sangat sulit untuk dipisahkan, dengan adanya rating yang tinggi terhadap suatu acara tertentu, maka hal itu akan menghadirkan para pengiklan untuk memberikan sponsornya melalui peletakan iklanya kepada suatu acara tertentu tersebut. Disini, sebagai studi kasus adalah acara Kick Andy diMetro Tv yang merupakan tayangan berkualitas namun tidak banyak orang atau audiens yang menonton acara tersebut, sehingga program acara Kick Andy ini tidak mendapatkan rating yang cukup tinggi dikancah dunia pertelevisian , akibatnya iklan yang mensponsori acaranya sangatlah minim bila dibandingkan dengan beberapa program acara tertentu yang ditayangkan dijam-jam yang sama denganya, seperti beberapa reality show, dan sinetron-sinetron yang bersifat melankolis dan seolah-olah digembar-gemborkan agar mendapatkan perhatian banyak dari audiens.
            Bukan hanya itu, namun juga tayangan-tayanagn serupa yang bersifat seragam dan monotonpun menjadi penghalang bagi program acara Kick Andy untuk mendapatkan rating tinggi. Karena hal-hal yang bersifat hiburan dan kesenangan tersebut memang telah diagendakan menjadi tayangan utama bagi para pemilik stasiun televisi dengan tujuan untuk mendapatkan rating tinggi sehingga akan berimbas pula pada banyaknya pengiklan yang masuk untuk mensponsori program-progran acara tersebut. Hasilnya, para pemilik stasiun televisi tersebut akan mendapatkan keuntungan atas komoditas yang ia lakukan terhadap tayangan-tayangan dari stasiun televisinya yang disuguhkan pada khalayak atau audiens.
            Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan untuk mengetahui jumlah audiens yang menggunakan media semakin berkembang. Ini terjadi ketika semakin banyak para pengiklan yang ingin mengetahui seberapa banyak audiens sebuah media, yang berimbas pada seberapa menjanjikannya media itu membawa keuntungan bagi para pengiklan.
            Perlu diketahui bahwa program acara pada setiap stasiun televisi tidak akan dapat hidup tanpa adanya loyalitas pemirsa dan iklan karena dari loyalitas ini akan sangat berpengaruh terhadap jumlah pendapatan dari pemasang iklan yang akan beriklan di stasiun televisi tersebut, sehingga itu menciptakan suatu kompetisi atau persaingan antar program acara televisi yang cukup ketat guna meraih target audiens yang diinginkan.

MACAM-MACAM METODE RATING
1    Metode diary:
            Yang dimaksud dengan Metode diary yaitu proses pengumpulan data responden yang dilakukan dengan menggunakan teknik pengumpulan data demografis, dimana Responden diminta untuk merekam aktivitasnya dengan mencatat kepemirsaan TV selama mereka menonton suatu program acara di TV pada buku catatan atau formulir yang telah diberikan. Responden mengisi buku tersebut  setiap 15 menit satu kali setiap harinya dalam satu periode tertentu yang biasanya dalam jangka waktu satu minggu. Sedangkan yang harus dicatat adalah nama stasiun dan nama program mana yang telah dipilih pada setiap waktu, serta  umur, jenis kelamin dan anggota keluarga atau tamu lain yang juga ikut menonton.  
            Setiap akhir minggu diary yang telah selesai diisi dikirim ke perusahaan yang terkait dengan penelitian ini, setelah itu informasinya diproses dan sebagian hasilnya dipublikasikan.
            Adapun Kelebihan dari metode ini dibandingkan dengan metode estimasi yang lain adalah penyediaan informasi yang secara mendetail yang dihadirkan dari metode diary. Informasi tentang pelaporan perilaku masing-masing penonton dan biaya yang dikeluarkanpun relative lebih murah. Namun terdapat pula kelemahan dari metode ini, yaitu penonton bisa saja berlaku tidak jujur terhadap apa yang telah ia laporkan dan informasikan, atau bisa saja mereka gagal untuk menyelesaikan catatanya dan gagal pula ketika mereka akan mengembalikan catatan tersebut. Karena Pemirsa bisa saja lupa tentang apa yang telah ia tonton dan tulisan bisa tidak terbaca. Hasil penelitian dengan metode diary inipun terkesan begitu lambat.
            Saat ini, teknologi diary dikembangkan untuk daily rating, belum real-time. Artinya data responden yang menonton program acara TV kemarin, sudah dapat  dianalisis pada hari ini. Metode diary merupakan bentuk penggunaan metode yang digagas oleh American Research Bureau, yang pada akhirnya lebih dikenal dengan nama Arbitron.


2     Metode Telepon Coincidental:
            Yang dimaksud dengan Metode Telepon Coincidental yaitu sebuah metode pengumpulan data untuk estimesi audiens  yang diciptakan oleh perusahaan CE Hooper. Dimana metode ini merupakan perbaikan dari metode Telepon Recall. Pada metode ini, responden ditelepon dan ditanya apakah mereka sedang menonton Televisi ataukah sedang mendengarkan radio pada program acara tertentu baik di TV ataupun di Radio saat ditelpon. Apabila jawaban dari responden yang saat itu ditelepon adalah  “ya”, maka pertanyaan dilanjutkan dengan program acara TV atau radio apa, dan dari stasiun mana, yang tengah mereka tonton atau dengarkan, dan hasil survey ini, yang selanjutnya dikenal dengan sebutan Hooperatings. Metode inipun dianggap lebih kuat karena dalam metode pengumpulan data ini dianggap tidak  bergantung pada ingatan seseorang, dan hasil penelitian bisa dilakukan relative lebih cepat dan murah, namun kelemahanya adalah pertanyaan yang diajukan oleh penelpon yang berperan sebagai peneliti rating ini selalu dilakukan dengan cara yang singkat sehingga kadang responden kurang  kooperatif dan respon yang diperoleh kurang maksimal juga sulitnya untuk memperoleh respon yang mendetail dari responden.

3    Metode Telepon Recall:
            Yang dimaksud dengan Metode Telepon Recall adalah proses pengumpulan data dari audience untuk menentukan rating pada TV ataupun radio yang dilakukan oleh Pihak-pihak peneliti rating dengan menelepon nomor-nomor tertentu yang ditentukan secara acak dari buku telepon, dan menanyakan kepada responden program acara TV atau radio apa saja yang telah mereka dengarkan pada beberapa periode tertentu yang telah ditentukan untuk ditanyakan kepada responden. Beberapa periode yang dimaksudkan, bisa saja pada baru-baru ini atau kemaren malam, atau bahkan kemaren lusa.
            Namun metode ini diragukan kredibilitasnya. Karena, ingatan manusia bisa saja salah ketika diminta untuk mengingat apa yang telah mereka tonton atau dengar baik diTv ataupun Radio beberapa jam terakhir atau pada malam sebelumnya (Dominick.,dkk, 2004: 274), sehingga hasil dari pengumpulan data pada metode ini dianggap kurang akurat.


4    Metode Personal Interview:
            Yang dimaksud dengan Metode Personal Interview adalah proses pengumpulan data dari audience untuk menentukan rating pada TV ataupun radio yang dilakukan oleh Pihak-pihak peneliti rating tersebut dengan melakukan wawancara secara langsung dilapangan yaitu dengan cara mengunjungi responden dirumah mereka dengan tujuan untuk menanyakan apakah program acara tertentu yang seringkali mereka tonton atau dengar baik diTV ataupun Radio.
            Kelebihan dari metode ini adalah terciptanya hubungan yang lebih personal dan informasi yang didapatkanpun akan lebih detail dapat diterima dibandingkan dengan metode lain, namun kelemahanya adalah responden bisa saja bersikap tidak jujur dalam memberikan informasi, selain itu interview juga dimungkinkan akan membutuhkan waktu yang cukup lama, dan biaya yang harus dikeluarkanpun relative lebih mahal.

5    Metode Peoplemeter:
            Yang dimaksud dengan peoplemeter adalah sebuah sistem pengambilan data kepemirsaan televisi yang dilakukan dengan menghubungkan tombol handset, Pesawat-pesawat TV dan peralatan lain dengan TV, misalnya DVD player, Play Station, dan lain-lain di masing-masing rumah panel yang dipantau secara elektronik oleh sistem suatu ukuran rating TV yang ditentukan oleh panel dari tiap-tiap wilayah kota yang berbeda. Sedangkan panel yang dimaksud disini yaitu anggota dari rumah tangga yang memiliki pesawat televisi dalam kondisi berfungsi dengan baik dan berusia 5 tahun ke atas.
            Sedangkan yang dimaksud dengan metode peoplemeter sendiri sangat sederhana dapat dipahami, yaitu sebuah proses pengambilan data responden guna mengetahui prosentase rating terhadap program acara TV tertentu yang dilakukan dengan meminta anggota rumah tangga yang telah dipilh sebagai panel untuk menekan tombol handset pada saat menonton TV, dan menekan kembali ketika selesai menonton. Lalu data dari people meter akan terkirim secara langsung melalui jaringan telepon ke komputer sentral yang memiliki data demografis detail tentang setiap keluarga. Data demografis ini sendiri didapat melalui wawancara ketika people meter pertama kali dipasang.
            Namun apabila anggota rumah tangga atau panel ini tidak menekan tombol handset atau lupa untuk menggunakan handset Peoplemeter ketika sedang menonton TV, maka pengumpulan data kepemirsaan dari responden tersebut masih bisa dimungkinkan untuk tetap terhitung karena ketika TV menyala tanpa seorangpun menekan tombol pada handset, perangkat Peoplemeter akan secara otomatis mencoba untuk mengingatkan panel dengan memberikan sinyal peringatan berupa suara dan running text “Siapa menonton?”. Namun apabila perinagtan yang berupa  suara dan teks tersebut diacuhkan, maka AGBNielsen akan bisa mengidentifikasikannya saat data diproses melalui Periodic Statistic Report terhadap “analisis kepemirsaan yang tidak lolos produksi”. Terdapat  patokan tertentu untuk data kepemirsaan yang lolos quality control produksi.
            Apabila patokan tersebut terlampaui, maka data kepemirsaan dari rumahtangga tertentu akan disingkirkan dan tidak akan diproses. AGBNielsen juga akan mengirim petugas untuk melakukan re-edukasi panel untuk menekan tombol. Jika rumahtangga panel tidak memperlihatkan perkembangan setelah dire-edukasi, maka panel akan dilepas untuk diganti dengan panel yang baru.
            Namun metode people meter ini dapat dikatakan terlalu menguras biaya dalam hal pemasangan dan pemeliharaan. Selain itu, penonton anak-anak sulit diukur dengan people meter, sebab mereka tidak konsisten dalam menggunakan people meter, dan cenderung cepat bosan jika harus memencet remote terus-menerus.



DAFTAR PUSTAKA
          Sumber Buku:
o   Agustrijanto, 2002. Copywriting. Bandung Rosda.
o   Hakim, Budiman, 2006. Lanturan tapi Relevan. Yogyakarta: Galang.
o   Madjadikara, Agus S. 2004. Bagaimana Biro Iklan Memproduksi Iklan.            Jakarta: Gramedia.
o   Kotler, Philip and Amstrong, Gary. Alih bahasa Damos Sihombing. 2001.    Prinsip-prinsip pemasaran Ed 8. Jakarta:Erlangga
o   Rapp, Stan & Tom Collins. 1995.Terobosan Baru dalam Strategi Promosi, Periklanan, dan Promosi, Maxi Marketing. (terj. Hifni Alifahmi). Jakarta:             Erlangga.
o   Suhandang, Kustadi. 2010. PERIKLANAN:Manajemen, Kiat dan Strategi. Bandung:        NUANSA.


Sumber Internet:

Akses: Sabtu, 02-07-2011, Pukul 18.30-18.15

Akses: Sabtu, 02-07-2011, Pukul 18.30-19.00

Akses: Sabtu, 02-07-2011, Pukul 18.15-18.30

Akses: Rabu, 29-06-2011, Pukul 15.02-17.00

Akses: Sabtu, 02-07-2011, Pukul 18.30-18.40
Akses: Minggu, 03-07-2011, Pukul 09.10-09.15

Akses: Selasa, 28-06-2011, Pukul 13.30-14.00

Akses: Minggu, 03-07-2011, Pukul 09.15-19.25

Tidak ada komentar:

Posting Komentar