ETIKA KOMUNIKASI
TANGGUNG JAWAB ETIS DALAM
KOMUNIKASI INSANI
“KEBEBASAN DAN TANGGUNG JAWAB”
Disusun
Oleh
Nama : Ziya Ibrizah
NRP : 09.05.311.00054
PROGRAM
STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS
ILMU SOSIAL DAN BUDAYA
UNIVERSITAS
TRUNOJOYO
TAHUN
AKADEMIK 2009-2010
KEBEBASAN
DAN TANGGUNG JAWAB
Penilaian etika lebih berfokus pada
tingkat-tingkat kebenaran dan kesalahan dalam perilaku manusia. Dalam mengecam
seseorang karena tidak efisien, konformis, boros, malas, atau lamban, kita
mungkin tidak akan serta-merta menyebutnya tidak etis. Namun, standar-standar
seperti kejujuran, menepati janji, dapat dipercaya, adil, dan manusiawi
biasanya memang digunakan unntuk membuat penelitian etika tentang kebenaran dan
kesalahan dalam prilaku manusia. Isu-isu etika mungkin muncul dalam perilaku
manusia ketika perilaku tersebut menimbulkan dampak yang cukup berarti pada orang lain,
ketika perilaku tersebut melibatkan pilihan standar tentang cara dan tujuan, dan ketika perilaku
tersebut dapat dinilai melalui standar benar dan salah.
Beberapa filsof membedakan antara
etika dan moral sebagai konsep. Etika dinyatakan sebagai kajian umum dan
sistematik tentang apa yang seharusnya menjadi prinsip benar dan salah dari
perilaku manusia. Sementara moral (moralitas) adalah standard benar dan salah
yang praktis, spesifik, disepakati bersama, dan dialihkan secara kultural.
Tetapi filosof lain menggunakan tema-tema etika dan moral dalam pengertian yang
bisa saling dipertukarkan.
Karakteristik moral utama kondisi
manusia adalah pengalaman ganda dari kebebasan berkehendak dan tanggung jawab
pribadi. Karena keduannya merupakan dua aspek dari fenomena yang sama,
kebebasan dan tanggung jawab mengandung perbandingan dengan peribahasa ‘’
pedang bermata dua ‘’. Salah satu sisinya menimbulkan banyak pilihan: kita
menyebutnya kebebasan. Satu sisi yang lainya mengandung kewajiban kita
menyebutnya tanggung jawab. Banyak orang menyukai kebebasan karena ia
memberikan kekuasaan atas benda- benda dan orang-orang. Sedangkan tanggung
jawab cenderung dibenci karena ia menghalangi mereka dari pemuasan keinginan
mereka. Itulah sebabnya salah satu hal yang menjadi ciri sejarah adalah upaya
manusia yang tanpa henti untuk meningkatkan kebebasan dan mengurangi tanggung
jawab.
Dalam esainya yang berpengaruh,
“toward a Meaning-Centered Philosophy of Comun ication’, Dean Bernlund
mengutarakan bahwa setiap teori/filsafat komunikasi insane yang memuaskan harus
memasukkan standar-standar moral tertentu “yang akan melindungi dan
mengembangkan perilaku komunikasi yang sehat”. Perspektif pelajaran etika yang
dipelajari disini menampilkan upaya beberapa pakar untuk menjelaskan kriteria
etis yang mereka perlukan untuk mengembangkan komunikasi insane yang sehat.
Seorang ahli komunikasai, Gerald R.
Miller, mengajukan serangkaian pertanyaan yang dianggapnya sebagai “tidak
mungkin terlepas dari setiap bentuk komunikasi insani”. Dalam bentuk yang sudah
diubah, pertanyaan Miller meliputi: Apa tanggung jawab etis seorang komunikator
terhadap khalayak? Bagaimana mendefinisikan batas-batas moral perbedaan
pendapat? Apakah nilai dasar komunikasi demokratis? Apakah sensor dapat
dibenarkan secara etis? Ini serupa dengan pertanyaan, di samping hal lainnya,
yang diajukan dalam buku ini.
Persepsi implikasi etis dalam
komunikasi insane yang diajukan oleh Bernlund dan Miller juga dimiliki oleh
para ahli retorika humanis kontemporer W. Ross Winteword menekankan etika
tujuan dan cara. “ Tanggung jawab etis, bagaimanapun, bukanlah masalah niat
baik semata; tanggung jawab etis didasarkan pada penanganann pokok persoalan
secara jujur dan penuh pengetahuan.
Manusia bertanggung jawab terhadap tindakan mereka.
Manusia menanggung akibat dari perbuatannya dan mengukurnya pada berbagai
norma. Di antaranya adalah nurani sendiri, standar nilai setiap pribadi.
Norma-norma nilai ini dapat dibentuk dengan berbagai macam cara. Kehidupan
bersama antar manusia membentuk norma selanjutnya, yakni aturan-aturan,
hukum-hukum yang dibutuhkan suatu masyarakat tertentu. Dalam negara-negara
modern aturan-aturan atau hukum-hukum tersebut termaktub dalam sebuah sistem
hukum dan sama bagi semua warga. Apabila aturan-aturan ini dilanggar yang
bersangkutan harus memperoleh hukuman atau sanksi. Jika ia misalnya merugikan
hak milik orang lain maka ia menurut Kitab Hukum Federal Jerman wajib mengganti
kerugian yang ditimbulkan. Pengadilan dapat menghukum sikap yang bersalah
(pelanggaran) berdasarkan KUHP.
Pada hakikatnya hanya masing-masing individu yang
dapat bertanggungjawab. Hanya mereka yang memikul akibat dari perbuatan mereka.
Oleh karenanya, istilah tanggungjawab pribadi atau tanggungjawab sendiri
sebenarnya “mubadzir”. Suatu masyarakat yang tidak mengakui bahwa setiap
individu mempunyai nilainya sendiri yang berhak diikutinya tidak mampu
menghargai martabat individu tersebut dan tidak mampu mengenali hakikat
kebebasan. Friedrich August von Hayek.
Semua bentuk dari apa yang disebut dengan
tanggungjawab kolektif mengacu pada tanggungjawab individu. Istilah
tanggungjawab bersama umumnya hanyalah digunakan untuk menutup-nutupi
tanggungjawab itu sendiri. Dalam tanggungjawab politis sebuah masalah jelas
bagi setiap pendelegasian kewenangan (tanggungjawab). Pihak yang disebut
penanggungjawab tidak menanggung secara penuh akibat dari keputusan mereka.
Risiko mereka yang paling besar adalah dibatalkan pemilihannya atau pensiun
dini. Sementara sisanya harus ditanggung si pembayar pajak. Karena itulah para
penganut liberal menekankan pada subsidiaritas, pada keputusan-keputusan yang
sedapat mungkin ditentukan di kalangan rakyat yang notabene harus menanggung
akibat dari keputusan tersebut. Kebebasan dan tanggungjawab tidak dapat
dipisahkan.
Orang
yang dapat bertanggungjawab terhadap tindakannya dan mempertanggungjawabkan
perbuatannya hanyalah orang yang mengambil keputusan dan bertindak tanpa
tekanan dari pihak manapun atau secara bebas.
Liberalisme
menghendaki satu bentuk kehidupan bersama yang memungkinkan manusianya untuk membuat
keputusan sendiri tentang hidup mereka. Karena itu bagi suatu masyarakat
liberal hal yang mendasar adalah bahwa setiap individu harus mengambilalih
tanggungjawab. Ini merupakan kebalikan dari konsep sosialis yang mendelegasikan
tanggungjawab dalam ukuran seperlunya kepada masyarakat atau negara. Kebebasan
berarti tanggungjawab; Itulah sebabnya mengapa kebanyakan manusia takut
terhadapnya. (George Bernard Shaw)
Persaingan yang merupakan unsur
pembentuk setiap masyarakat bebas baru mungkin terjadi jika ada tanggungjawab
individu. Seorang manusia baru akan dapat menerapkan seluruh pengetahuan dan
energinya dalam bentuk tindakan yang efektif dan berguna jika ia sendiri harus
menanggung akibat dari perbuatannya, baik itu berupa keuntungan maupun kerugian. Justru di sinilah gagalnya ekonomi terpimpin
dan masyarakat sosialis: secara resmi memang semua bertanggungjawab untuk
segala sesuatunya, tapi faktanya tak seorangpun bertanggungjawab. Akibatnya
masih kita alami sampai sekarang.
Dalam diskusi politik sering disebut-sebut istilah
tanggungjawab sosial. Istilah ini dianggap sebagai bentuk khusus, lebih tinggi
dari tanggungjawab secara umum. Namun berbeda dari penggunaan bahasa yang ada,
tanggungjawab sosial dan solidaritas muncul dari tanggungjawab pribadi dan
sekaligus menuntut kebebasan dan persaingan dalam ukuran yang tinggi. Untuk
mengimbangi “tanggungjawab sosial” tersebut pemerintah membuat sejumlah sistem,
mulai dari Lembaga Federal untuk Pekerjaan sampai asuransi dana pensiun yang
dibiayai dengan uang pajak atau sumbangan-sumbangan paksaan. Institusi yang
terkait ditentukan dengan keanggotaan paksaan. Karena itu institusi-institusi
tersebut tidak mempunyai kualitas moral organisasi yang bersifat sukarela. Orang yang terlibat dalam organisasi-organisasi
seperti ini adalah mereka yang melaksanakan tanggungjawab pribadi untuk diri
sendiri dan orang lain. Semboyan umum semua birokrat adalah perlindungan
sebagai ganti tanggung jawab. (Carl Horber). Pada akhirnya tidak ada yang
bertanggungjawab atas dampak-dampak dari penagaruh politik terhadap keamanan
sosial. Akibatnya ditanggung oleh pembayar pajak dan penerima jasa.
Selain pembahasan tanggung jawab diatas, ada pula
pembahasan tanggung jawab lebih mendalam, diantaranya adalah:
Tanggung jawab
terhadap orang lain:
Setiap manusia mempunyai kemungkinan dan di banyak
situasi juga kewajiban moral atau hukum untuk bertanggungjawab terhadap orang
lain. Secara tradisional keluarga adalah tempat dimana manusia saling
memberikan tanggungjawabnya. Si orang tua bertanggungjawab kepada anaknya,
anggota keluarga saling tanggungjawab. Anggota keluarga saling membantu dalam
keadaan susah, saling mengurus di usia tua dan dalam keadaan sakit. Ini khususnya menyangkut manusia yang karena
berbagai alasan tidak mampu atau tidak mampu lagi bertanggungjawab terhadap
dirinya sendiri secara penuh. Ini terlepas dari apakah kehidupan itu berbentuk
perkawinan atau tidak. Tanggungjawab terhadap orang lain seperti ini tentu saja
dapat diterapkan di luar lingkungan keluarga. Bentuknya bisa
beranekaragam. Yang penting adalah
prinsip sukarela – pada kedua belah pihak.
Pertanggungjawaban manusia terhadap dirinya sendiri tidak boleh
digantikan dengan perwalian.
Tanggung jawab
dan risiko:
Dalam masyarakat modern orang berhadapan dengan
berbagai risiko. Risiko itu bisa membuat orang sakit dan membutuhkan penanganan
medis yang sangat mahal. Atau membuat orang kehilangan pekerjaan dan bahkan
harta bendanya. Ada berbagai cara untuk mengamankan dari risiko tersebut,
misalnya dengan asuransi. Untuk itu tidak diperlukan organisasi pemerintah,
melainkan hanya tindakan setiap individu yang penuh tanggung jawab dan
bijaksana.
Sebagai komunikator, tanggung jawab etis kita dapat
tumbuh dari sebuah status atau posisi yang telah di peroleh atau telah di sepakati,
lewat komitmen (janji, sumpah, persetujuan) yang telah kita buat atau
konsekuensi (efek, dampak) komunikasi kita dengan orang lain. Tanggung jawab
mencakup unsur pemenuhan tugas dan kewajiban, dapat dipertanggung jawabkan pada
setiap individu dan kelompok lain, juga dapat dipertanggung jawabkan ketika
dinilai menurut standart yang disepakati, dan dapat di pertanggung jawabkan
menurut hati nurani kita sendiri. Untuk penerima dan pengirim adalah penggunaan
penilaian yang di pikirkan secara matang dan mendalam. Komunikator yang
bertanggung jawab akan menganalisis setiap tuntutan dengan hati-hati,
memperhitungkan setiap akibat dan secara sadar menimbang nilai-nilai yang
relevan. Artinya seorang komunikator yang bertanggung jawab adalah komunikator
yang dapat menjawab.
Selain pembahasan sub bab Kebebasan
dan tanggung jawab dalam artikel yang saya buat ini, akan dibahas tentang kebebasan
dan tanggung jawab dalam berkomunikasi, baik dalam komunikasi antarpersona yang
intim ataupun dalam komunikasi massa. Namun dalam artikel ini akan dibahas
lebih dalam tentang komunikasi massa, mengingat semakin maraknya pembahasan
tentang komunikasi massa sehingga menggelitik rasa keinginan saya untuk
mengupas pembahasan tentang komunikasi massa serta yang berhubungan denganya,
dalam hal ini yang dimaksud adalah media untuk berkomunikasi massa.
Williams Rawins mengungkapkan bahwa
“ semua pihak harus bertanggung jawab atas perilaku komunikasi “. Dalam sebuah
lingkungan yang menjunjung tinggi kebebasan, kata-kata seperti “dapat di
pertanggung jawabkan dan tanggung jawab” sering tidak di mengerti atau tidak di
dengarkan, kata-kata itu semakin menjadi “kata kunci”. Peraturan media,
khususnya siaran radio belakangan ini telah menurun, sehingga kebutuhan akan
tanggung jawab etis dan moral dalam sebuah media menjadi semakin penting. Dalam
Disenchantment : Meaning And Morality In
The Media, misalnya John Phelan menyelidiki titik potong dan interaksi
antara isu-isu yang berakar pada etika dan pada kebebasan komunikasi. Sementara
ada beberapa tempat dalam kebudayaan Amerika bahwa hukum dan peraturan
berfungsi untuk memperkuat standart-standart etis berkomunikasi, Phelan menguji
bagaimana Federal Communications Commission (FCC) dan Federal Trade Commission
(FTA) sering menjalankan fungsi tersebut. Menurut Phelan, filsafat kepentingan
umum melekat dalam nilia-nilai keadilan sosial, kesetaraan dan pemerintahan
demokratis dan nilai-nilai media massa tentang keanekaragaman, regionalism,
akses dan mutu yang tinggi.
Berbeda dengan apa yang ada di
Indonesia, sudah menjadi pengakuan umum bahwa setelah reformasi 1998 bergulir,
pers Indonesia mengalami titik balik kebebasan yang cukup signifikan.
Perkembangan kuantitas dan kualitas pers, baik media cetak maupun media elektronik,
bertumbuh secara drastis. Munculnya gejala surat kabar dan tabloid baru atau
radio dan televisi baru merupakan hal yang biasa. Kemudahan untuk mendapatkan
ijin penerbitan atau hak siar pada udara Indonesia telah menjadi paradigma yang
patut disambut gembira. Dapat dikatakan, masyarakat Indonesia akhirnya punya
berbagai macam alternatif saluran komunikasi sosial yang tentunya juga sangat
mudah diakses. Tapi masalahnya, di balik kebebasan dan perkembangan pers
Indonesia yang bersifat konstruktif tetap dirasakan dampak buruk yang
menyertainya. Pers sebagai alat komunikasi massa mempunyai kekuatan pengaruh
baik atau membangun dan pengaruh buruk yang cenderung menggerus tatanan sosial
moral masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu, diperlukan kesadaran tanggung jawab
sosial pers untuk mengantisipasi dampak negatif yang diakibatkan oleh
perkembangan pesat pers di Indonesia.
Setidaknya,
dua argumentasi pokok di atas menjadi latar belakang refleksi etis tulisan
Kasdin Sihotang yang berjudul “Tanggung jawab moral Pers” (dimuat pada Suara
Pembaruan, tgl 23 Februari 2002).
Refleksi etis yang ditawarkan oleh tulisan Kasdin
terhadap keberadaan pers pasca reformasi Indonesia 1998 didasari juga pada tiga
asumsi dasar, yaitu etika deontologis Kant yang menekankan prinsip nilai moral
yang “harus” dilakukan oleh insan pers sebagai etos kebenaran, asumsi
objektivitas moral dan eksistensi pers di Indonesia dan pada akhirnya asumsi
prinsip kemandirian pers dalam konteks ekonomi, sosial dan politik sedemikian
rupa pers diharapkan menjadi pers yang independen dan merdeka dalam arti yang
positif.
Dua argumentasi pokok dan tiga asumsi dasar tulisan
terdahulu telah menjadi landasan bagaimana kita membangun dan memahami
keberadaan serta iklim kebebasan pers di Indonesia. Muara dari argumentasi dan
beberapa asumsi di atas adalah konstruksi paradigma etis yang perlu
dipertimbangkan oleh para pelaku media massa Indonesia. Tapi masalahnya, apakah
memang pers Indonesia dipahami dalam konteks simplifikasi etis semacam itu,
apabila tidak bisa dikatakan bahwa atmosfer tulisan tersebut berawal dengan
pesimisme terhadap kebebasan media massa di Indonesia maka perlu dibangun
sebuah etos tanggung jawab sosial pers ? Apakah memang benar realitas pers
adalah realitas yang bisa benar-benar mandiri dan bebas dari seluruh
kepentingan yang berada di belakangnya ? Apakah memang ada sebuah etos
moralitas dan tanggung jawab etis yang “deontologis” dan bersifat objektif
dalam kehidupan pers di Indonesia pada khususnya maupun media global pada
umumnya ? Seharusnya, pertanyaan kritis tersebut yang perlu dijawab secara
tuntas sebelum kita masuk dalam argumentasi pokok dan pengembangan paradigma
moral pers secara utuh.
Gagasan etis terhadap pers yang dikemukakan oleh
Franz Magnis-Suseno dalam Kuasa dan Moral (1986) dan Jurgen Habermas dalam
Communicative Ethics Controversy (1990) menyiratkan gagasan etis pers dalam
tingkat mikro. Dalam arti, bahwa pers dilihat dari bagian kecil dari proses
pengembangan etika masyarakat pada umumnya. Padahal kalau kita mau melihat secara
lebih jauh, pers modern sekarang telah menjadi entitas yang besar bahkan mampu
menjadi pilar ke empat dalam kehidupan demokrasi sosial. Jadi, saya menganggap
tidak cukup memadai dan tidak sepakat apabila pers hanya dipahami dalam proses
simplifikasi masalah sosial masyarakat yang ada. Ini berarti bahwa pada titik
tertentu, refleksi etis yang dikemukakan oleh Magnis, Habermas atau Kasdin
kurang menyentuh realitas pers yang berkembang sampai sekarang.
Saat ini, pers telah menjadi realitas yang begitu kompleks
berikut dengan dampak-dampak yang menyertainya. Realitas pers yang begitu
kompleks justru berkembang ketika media telah mengalami revolusi komunikasi
yang drastis. Perkembangan internet, telepon, fax, sistem industri dan
kepemilikan media atau pers secara vertikal-horizontal, surat kabar elektronik,
sistem kepenyiaran langsung melalui satelit, new interactive multi media - yang
menggabungkan kemampuan sifat yang visual-auditif-interaktif dalam satu paket
media telah mengubah pemahaman kita terhadap definisi tentang pers itu sendiri.
Ketika pers, termasuk di dalamnya pers Indonesia, mengalami perkembangan
identitas yang semakin kompleks, maka diperlukan juga paradigma etis yang lebih
harus bersifat komprehensif dan baru dalam memaknai tanggung jawab moral pers,
baik secara lokal maupun global.
Pertama, paradigma yang harus dikembangkan adalah
paradigma pemahaman bahwa esensi dan eksistensi pers harus dilihat sebagai
totalitas. Artinya, pers pertama-tama harus diletakkan dalam totalitas sosial
yang lebih luas, sebagai bagian integral dari proses-proses ekonomi, sosial dan
politik yang berlangsung dalam masyarakat. Perspektif ekonomi politik pers
setidaknya menjadi perspektif yang menyatakan bahwa terjadi relasi tidak
terpisahkan antara para pelaku pers, pemerintah dan pasar. Ini berarti bahwa
pengembangan etika atau moralitas pers harus juga didasarkan pada asumsi relasi
tak terpisahkan antara interaksi sosial-ekonomi insan pers, situasi politik
sosial pemerintahan yang sedang berlangsung dan kebutuhan pasar atas hak
informasi yang benar. Etika harus hadir dalam konteks ideologi-sosial-ekonomi
yang lebih konkret.
Kedua, berhubungan dengan point pertama, struktur
etika atau tanggung jawab moral pers tidak bisa berdiri secara objektif dan
ontologistik tanpa konteks struktural. Pers diposisikan dalam relasinya dengan
publik, kekuatan kapital dan struktur kekuasaan politik. Dalam teori demokrasi,
media memberikan sumbangan saluran komunikasi konkret dalam usaha diseminasi
informasi yang benar dan pengembangan ranah publik (civil society). Diseminasi
informasi yang benar dan aspiratif dan pengembangan ranah publik tentu saja
akan berkaitan dengan soal kebenaran yang dibawa dan diperjuangkan oleh pers.
Dengan tidak menafikkan diskursus makna esensi kebenaran, tentu saja dalam
konteks demokratisasi, makna kebenaran harus dilihat sebagai proses
pengembangan konsensus sosial kebenaran subjektif.
Ketiga, soal krusial dalam pengembangan tanggung
jawab sosial pers bukan semata diletakkan pada soal tanggung jawab sosial sebagai
tugas utama insan pers tapi bahwa tanggung jawab sosial harus diletakkan dalam
konteks yang lebih luas. Konteks etika pers yang lebih luas terlihat dan
terwujud dalam usaha regulasi media itu sendiri. Regulasi pers tidak
semata-mata dilihat sebagai “ tali kekang ” yang membatasi kebebasan pers. Tapi
justru regulasi pers ini harus dipahami sebagai wujud tanggung jawab otonom
insan pers, pemerintah, pemegang kapital dan konsumen pers.
Kita akan sulit menemukan pers yang sedemikian bebas
yang sedemikian otonom dari segala kepentingan baik kepentingan publik maupun
kepentingan negara. Tapi permasalahan
dalam regulasi pers adalah bagaimana kita bisa
membentuk aturan main yang menjaga fairness, nilai prinsip keadilan yang jelas
patokan normanya, menjamin prinsip harmoni kepentingan yang saling
tarik-menarik dalam proses produksi pers. Regulasi etika pers tidak sekedar
soal dan masalah mikro pers, seperti soal objektivitas berita (hal ini
menyangkut soal kebenaran objektif, produk media meskipun telah didasarkan oleh
fakta tetap saja akan menampilkan fakta tersebut dalam realitas simbolik yang
tidak identik dengan realitas objektif; itu saja kalau realitas objektif itu
ada) - bukankah objektivitas itu hanya sekedar soal kesepakatan sosial saja?
Juga dalam hal regulasi etik pers tidak sekedar membahas soal imparsialitas
produk media, sistem kepemilikan media massa secara horizontal-vertikal, sistem
nilai anonim yang ditimbulkan oleh teknologi informasi yang canggih. Perkara
etika dan regulasi pers terutama pers Indonesia tidak berhenti pada soal
content dari sebuah media atau soal bahasa yang dipergunakan dalam sebuah
sistem media massa. Content dan bahasa lebih merupakan proses interpretasi yang
sudah terbangun dalam sistem sosial masyarakat. Justru pada suatu titik
tertentu, media atau pers mampu membangun paradigma interpretasi yang akhirnya
diyakini oleh sistem sosial masyarakat. Jadi pers dan masyarakat tidak bisa
dilihat sebagai satu per satu entitas. Tapi dipahami sebagai suatu proses
interplay - proses relasi timbal balik dan saling mempengaruhi satu sama lain.
Suatu produk pers tidak bisa dipisahkan oleh sistem distribusi dan konsumsi
yang berlaku dalam masyarakat.
Paradigma etika baru dalam regulasi pers yang
dipahami menyangkut proses saling membentuk rasionalitas yang lebih konkret dan
situasional. Lebih signifikan dapat dikatakan bahwa paradigma baru tentang
moralitas pers yang tertuang dalam regulasi pers adalah sejauh mana pers
semakin memposisikan diri sebagai realitas yang berfungsi sosial utuh. Pers
harus mampu menjadi media efektif, dewasa dan rasional proses komunikasi sosial
antar warga atau antara warga dengan negara. Proses pemaknaan kebenaran dan
pembenaran dalam masyarakat diletakkan atas dasar dialog moral yang berkembang.
Sementara itu, regulasi etik pers juga harus memampukan pers sebagai pendorong
terciptanya pers lokal, sebuah ranah publik yang bisa menjadi alternatif hak
akses atas informasi yang seimbang, rasional dan konstruktif. Tentu soal nilai
keseimbangan, rasionalitas dan proses konstruktivisme merupakan diskursus yang
dinamis. Sementara tidak menafikan nilai etis universal, tapi tetap saja
universalitas etika dibangun dari bingkai-bingkai subjektivisme yang menjadi
konsensus sosial. Hal ini yang menjadi tantangan baru dari pers modern di mana
sejauh mana pers mampu dan mau semakin dituntut untuk membuka celah-celah
kebenaran dan pembenaran yang dibentuk secara sosial.
Diskursus paradigma tanggung jawab sosial pers belum
selesai. Teknologi pers masih berkembang dan hal itu menuntut kita untuk
menempatkan etika bukan sebagai dunia yang jauh dari realitas yang sebenarnya.
Tulisan ini mau memberikan ide bahwa paradigma etik tidak sederhana justru
karena realitas pers semakin kompleks. Proses penyederhanaan etika pers justru
akan mereduksi peran dan manfaat pers bagi perkembangan budaya. Paradigma baru
etika pers menyatakan bahwa etika adalah tanggung jawab bersama. Kewajiban
insan pers adalah membentuk dan menciptakan pers yang bertanggung jawab
terhadap proses dinamisasi kemanusiaan. Tugas pemerintah adalah membentuk
aturan main yang adil sehingga kepentingan pers dan masyarakat tetap terjaga
dan tidak saling berbenturan. Tugas kita adalah menjadikan diri kita mampu
mengkritisi dan menikmati media massa secara proporsional, sehat, dewasa dan
rasional.
DAFTAR PUSTAKA
Ø
Pengantar Deddy mulyana “etika komunikasi”.
Ø
Johannesen, Richard L. 1983. Ethics in Human Communication.ed2(prospect
heights, IL:Waveland Press,Inc)
Ø
www. Google. Com
anda membuat saya tersenyum :). musik latarnya bagus
BalasHapusGOOD
BalasHapus