Rabu, 04 April 2012

ETIKA KOMUNIKASI TANGGUNG JAWAB ETIS DALAM KOMUNIKASI INSANI “KEBEBASAN DAN TANGGUNG JAWAB”


ETIKA KOMUNIKASI
TANGGUNG JAWAB ETIS DALAM KOMUNIKASI INSANI
KEBEBASAN DAN TANGGUNG JAWAB


Disusun Oleh
Nama         : Ziya Ibrizah
NRP  : 09.05.311.00054

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN BUDAYA
UNIVERSITAS TRUNOJOYO
TAHUN AKADEMIK 2009-2010


KEBEBASAN DAN TANGGUNG JAWAB

Penilaian etika lebih berfokus pada tingkat-tingkat kebenaran dan kesalahan dalam perilaku manusia. Dalam mengecam seseorang karena tidak efisien, konformis, boros, malas, atau lamban, kita mungkin tidak akan serta-merta menyebutnya tidak etis. Namun, standar-standar seperti kejujuran, menepati janji, dapat dipercaya, adil, dan manusiawi biasanya memang digunakan unntuk membuat penelitian etika tentang kebenaran dan kesalahan dalam prilaku manusia. Isu-isu etika mungkin muncul dalam perilaku manusia ketika perilaku tersebut menimbulkan dampak yang cukup berarti pada orang lain, ketika perilaku tersebut melibatkan pilihan standar tentang cara dan tujuan, dan ketika perilaku tersebut dapat dinilai melalui standar benar dan salah.
Beberapa filsof membedakan antara etika dan moral sebagai konsep. Etika dinyatakan sebagai kajian umum dan sistematik tentang apa yang seharusnya menjadi prinsip benar dan salah dari perilaku manusia. Sementara moral (moralitas) adalah standard benar dan salah yang praktis, spesifik, disepakati bersama, dan dialihkan secara kultural. Tetapi filosof lain menggunakan tema-tema etika dan moral dalam pengertian yang bisa saling dipertukarkan.
Karakteristik moral utama kondisi manusia adalah pengalaman ganda dari kebebasan berkehendak dan tanggung jawab pribadi. Karena keduannya merupakan dua aspek dari fenomena yang sama, kebebasan dan tanggung jawab mengandung perbandingan dengan peribahasa ‘’ pedang bermata dua ‘’. Salah satu sisinya menimbulkan banyak pilihan: kita menyebutnya kebebasan. Satu sisi yang lainya mengandung kewajiban kita menyebutnya tanggung jawab. Banyak orang menyukai kebebasan karena ia memberikan kekuasaan atas benda- benda dan orang-orang. Sedangkan tanggung jawab cenderung dibenci karena ia menghalangi mereka dari pemuasan keinginan mereka. Itulah sebabnya salah satu hal yang menjadi ciri sejarah adalah upaya manusia yang tanpa henti untuk meningkatkan kebebasan dan mengurangi tanggung jawab.
Dalam esainya yang berpengaruh, “toward a Meaning-Centered Philosophy of Comun ication’, Dean Bernlund mengutarakan bahwa setiap teori/filsafat komunikasi insane yang memuaskan harus memasukkan standar-standar moral tertentu “yang akan melindungi dan mengembangkan perilaku komunikasi yang sehat”. Perspektif pelajaran etika yang dipelajari disini menampilkan upaya beberapa pakar untuk menjelaskan kriteria etis yang mereka perlukan untuk mengembangkan komunikasi insane yang sehat.
Seorang ahli komunikasai, Gerald R. Miller, mengajukan serangkaian pertanyaan yang dianggapnya sebagai “tidak mungkin terlepas dari setiap bentuk komunikasi insani”. Dalam bentuk yang sudah diubah, pertanyaan Miller meliputi: Apa tanggung jawab etis seorang komunikator terhadap khalayak? Bagaimana mendefinisikan batas-batas moral perbedaan pendapat? Apakah nilai dasar komunikasi demokratis? Apakah sensor dapat dibenarkan secara etis? Ini serupa dengan pertanyaan, di samping hal lainnya, yang diajukan dalam buku ini.
Persepsi implikasi etis dalam komunikasi insane yang diajukan oleh Bernlund dan Miller juga dimiliki oleh para ahli retorika humanis kontemporer W. Ross Winteword menekankan etika tujuan dan cara. “ Tanggung jawab etis, bagaimanapun, bukanlah masalah niat baik semata; tanggung jawab etis didasarkan pada penanganann pokok persoalan secara jujur dan penuh pengetahuan.
Manusia bertanggung jawab terhadap tindakan mereka. Manusia menanggung akibat dari perbuatannya dan mengukurnya pada berbagai norma. Di antaranya adalah nurani sendiri, standar nilai setiap pribadi. Norma-norma nilai ini dapat dibentuk dengan berbagai macam cara. Kehidupan bersama antar manusia membentuk norma selanjutnya, yakni aturan-aturan, hukum-hukum yang dibutuhkan suatu masyarakat tertentu. Dalam negara-negara modern aturan-aturan atau hukum-hukum tersebut termaktub dalam sebuah sistem hukum dan sama bagi semua warga. Apabila aturan-aturan ini dilanggar yang bersangkutan harus memperoleh hukuman atau sanksi. Jika ia misalnya merugikan hak milik orang lain maka ia menurut Kitab Hukum Federal Jerman wajib mengganti kerugian yang ditimbulkan. Pengadilan dapat menghukum sikap yang bersalah (pelanggaran) berdasarkan KUHP.
Pada hakikatnya hanya masing-masing individu yang dapat bertanggungjawab. Hanya mereka yang memikul akibat dari perbuatan mereka. Oleh karenanya, istilah tanggungjawab pribadi atau tanggungjawab sendiri sebenarnya “mubadzir”. Suatu masyarakat yang tidak mengakui bahwa setiap individu mempunyai nilainya sendiri yang berhak diikutinya tidak mampu menghargai martabat individu tersebut dan tidak mampu mengenali hakikat kebebasan. Friedrich August von Hayek.
Semua bentuk dari apa yang disebut dengan tanggungjawab kolektif mengacu pada tanggungjawab individu. Istilah tanggungjawab bersama umumnya hanyalah digunakan untuk menutup-nutupi tanggungjawab itu sendiri. Dalam tanggungjawab politis sebuah masalah jelas bagi setiap pendelegasian kewenangan (tanggungjawab). Pihak yang disebut penanggungjawab tidak menanggung secara penuh akibat dari keputusan mereka. Risiko mereka yang paling besar adalah dibatalkan pemilihannya atau pensiun dini. Sementara sisanya harus ditanggung si pembayar pajak. Karena itulah para penganut liberal menekankan pada subsidiaritas, pada keputusan-keputusan yang sedapat mungkin ditentukan di kalangan rakyat yang notabene harus menanggung akibat dari keputusan tersebut. Kebebasan dan tanggungjawab tidak dapat dipisahkan.
Orang yang dapat bertanggungjawab terhadap tindakannya dan mempertanggungjawabkan perbuatannya hanyalah orang yang mengambil keputusan dan bertindak tanpa tekanan dari pihak manapun atau secara bebas.
Liberalisme menghendaki satu bentuk kehidupan bersama yang memungkinkan manusianya untuk membuat keputusan sendiri tentang hidup mereka. Karena itu bagi suatu masyarakat liberal hal yang mendasar adalah bahwa setiap individu harus mengambilalih tanggungjawab. Ini merupakan kebalikan dari konsep sosialis yang mendelegasikan tanggungjawab dalam ukuran seperlunya kepada masyarakat atau negara. Kebebasan berarti tanggungjawab; Itulah sebabnya mengapa kebanyakan manusia takut terhadapnya. (George Bernard Shaw)
            Persaingan yang merupakan unsur pembentuk setiap masyarakat bebas baru mungkin terjadi jika ada tanggungjawab individu. Seorang manusia baru akan dapat menerapkan seluruh pengetahuan dan energinya dalam bentuk tindakan yang efektif dan berguna jika ia sendiri harus menanggung akibat dari perbuatannya, baik itu berupa keuntungan maupun kerugian.  Justru di sinilah gagalnya ekonomi terpimpin dan masyarakat sosialis: secara resmi memang semua bertanggungjawab untuk segala sesuatunya, tapi faktanya tak seorangpun bertanggungjawab. Akibatnya masih kita alami sampai sekarang.
Dalam diskusi politik sering disebut-sebut istilah tanggungjawab sosial. Istilah ini dianggap sebagai bentuk khusus, lebih tinggi dari tanggungjawab secara umum. Namun berbeda dari penggunaan bahasa yang ada, tanggungjawab sosial dan solidaritas muncul dari tanggungjawab pribadi dan sekaligus menuntut kebebasan dan persaingan dalam ukuran yang tinggi. Untuk mengimbangi “tanggungjawab sosial” tersebut pemerintah membuat sejumlah sistem, mulai dari Lembaga Federal untuk Pekerjaan sampai asuransi dana pensiun yang dibiayai dengan uang pajak atau sumbangan-sumbangan paksaan. Institusi yang terkait ditentukan dengan keanggotaan paksaan. Karena itu institusi-institusi tersebut tidak mempunyai kualitas moral organisasi yang bersifat sukarela.  Orang yang terlibat dalam organisasi-organisasi seperti ini adalah mereka yang melaksanakan tanggungjawab pribadi untuk diri sendiri dan orang lain. Semboyan umum semua birokrat adalah perlindungan sebagai ganti tanggung jawab. (Carl Horber). Pada akhirnya tidak ada yang bertanggungjawab atas dampak-dampak dari penagaruh politik terhadap keamanan sosial. Akibatnya ditanggung oleh pembayar pajak dan penerima jasa.
Selain pembahasan tanggung jawab diatas, ada pula pembahasan tanggung jawab lebih mendalam, diantaranya adalah:
Tanggung jawab terhadap orang lain:
Setiap manusia mempunyai kemungkinan dan di banyak situasi juga kewajiban moral atau hukum untuk bertanggungjawab terhadap orang lain. Secara tradisional keluarga adalah tempat dimana manusia saling memberikan tanggungjawabnya. Si orang tua bertanggungjawab kepada anaknya, anggota keluarga saling tanggungjawab. Anggota keluarga saling membantu dalam keadaan susah, saling mengurus di usia tua dan dalam keadaan sakit.  Ini khususnya menyangkut manusia yang karena berbagai alasan tidak mampu atau tidak mampu lagi bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri secara penuh. Ini terlepas dari apakah kehidupan itu berbentuk perkawinan atau tidak. Tanggungjawab terhadap orang lain seperti ini tentu saja dapat diterapkan di luar lingkungan keluarga. Bentuknya bisa beranekaragam.  Yang penting adalah prinsip sukarela – pada kedua belah pihak.  Pertanggungjawaban manusia terhadap dirinya sendiri tidak boleh digantikan dengan perwalian.
Tanggung jawab dan risiko:
Dalam masyarakat modern orang berhadapan dengan berbagai risiko. Risiko itu bisa membuat orang sakit dan membutuhkan penanganan medis yang sangat mahal. Atau membuat orang kehilangan pekerjaan dan bahkan harta bendanya. Ada berbagai cara untuk mengamankan dari risiko tersebut, misalnya dengan asuransi. Untuk itu tidak diperlukan organisasi pemerintah, melainkan hanya tindakan setiap individu yang penuh tanggung jawab dan bijaksana.
Sebagai komunikator, tanggung jawab etis kita dapat tumbuh dari sebuah status atau posisi yang telah di peroleh atau telah di sepakati, lewat komitmen (janji, sumpah, persetujuan) yang telah kita buat atau konsekuensi (efek, dampak) komunikasi kita dengan orang lain. Tanggung jawab mencakup unsur pemenuhan tugas dan kewajiban, dapat dipertanggung jawabkan pada setiap individu dan kelompok lain, juga dapat dipertanggung jawabkan ketika dinilai menurut standart yang disepakati, dan dapat di pertanggung jawabkan menurut hati nurani kita sendiri. Untuk penerima dan pengirim adalah penggunaan penilaian yang di pikirkan secara matang dan mendalam. Komunikator yang bertanggung jawab akan menganalisis setiap tuntutan dengan hati-hati, memperhitungkan setiap akibat dan secara sadar menimbang nilai-nilai yang relevan. Artinya seorang komunikator yang bertanggung jawab adalah komunikator yang dapat menjawab.
Selain pembahasan sub bab Kebebasan dan tanggung jawab dalam artikel yang saya buat ini, akan dibahas tentang kebebasan dan tanggung jawab dalam berkomunikasi, baik dalam komunikasi antarpersona yang intim ataupun dalam komunikasi massa. Namun dalam artikel ini akan dibahas lebih dalam tentang komunikasi massa, mengingat semakin maraknya pembahasan tentang komunikasi massa sehingga menggelitik rasa keinginan saya untuk mengupas pembahasan tentang komunikasi massa serta yang berhubungan denganya, dalam hal ini yang dimaksud adalah media untuk berkomunikasi massa.
Williams Rawins mengungkapkan bahwa “ semua pihak harus bertanggung jawab atas perilaku komunikasi “. Dalam sebuah lingkungan yang menjunjung tinggi kebebasan, kata-kata seperti “dapat di pertanggung jawabkan dan tanggung jawab” sering tidak di mengerti atau tidak di dengarkan, kata-kata itu semakin menjadi “kata kunci”. Peraturan media, khususnya siaran radio belakangan ini telah menurun, sehingga kebutuhan akan tanggung jawab etis dan moral dalam sebuah media menjadi semakin penting. Dalam Disenchantment : Meaning And Morality In The Media, misalnya John Phelan menyelidiki titik potong dan interaksi antara isu-isu yang berakar pada etika dan pada kebebasan komunikasi. Sementara ada beberapa tempat dalam kebudayaan Amerika bahwa hukum dan peraturan berfungsi untuk memperkuat standart-standart etis berkomunikasi, Phelan menguji bagaimana Federal Communications Commission (FCC) dan Federal Trade Commission (FTA) sering menjalankan fungsi tersebut. Menurut Phelan, filsafat kepentingan umum melekat dalam nilia-nilai keadilan sosial, kesetaraan dan pemerintahan demokratis dan nilai-nilai media massa tentang keanekaragaman, regionalism, akses dan mutu yang tinggi.
Berbeda dengan apa yang ada di Indonesia, sudah menjadi pengakuan umum bahwa setelah reformasi 1998 bergulir, pers Indonesia mengalami titik balik kebebasan yang cukup signifikan. Perkembangan kuantitas dan kualitas pers, baik media cetak maupun media elektronik, bertumbuh secara drastis. Munculnya gejala surat kabar dan tabloid baru atau radio dan televisi baru merupakan hal yang biasa. Kemudahan untuk mendapatkan ijin penerbitan atau hak siar pada udara Indonesia telah menjadi paradigma yang patut disambut gembira. Dapat dikatakan, masyarakat Indonesia akhirnya punya berbagai macam alternatif saluran komunikasi sosial yang tentunya juga sangat mudah diakses. Tapi masalahnya, di balik kebebasan dan perkembangan pers Indonesia yang bersifat konstruktif tetap dirasakan dampak buruk yang menyertainya. Pers sebagai alat komunikasi massa mempunyai kekuatan pengaruh baik atau membangun dan pengaruh buruk yang cenderung menggerus tatanan sosial moral masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu, diperlukan kesadaran tanggung jawab sosial pers untuk mengantisipasi dampak negatif yang diakibatkan oleh perkembangan pesat pers di Indonesia.
Setidaknya, dua argumentasi pokok di atas menjadi latar belakang refleksi etis tulisan Kasdin Sihotang yang berjudul “Tanggung jawab moral Pers” (dimuat pada Suara Pembaruan, tgl 23 Februari 2002).
Refleksi etis yang ditawarkan oleh tulisan Kasdin terhadap keberadaan pers pasca reformasi Indonesia 1998 didasari juga pada tiga asumsi dasar, yaitu etika deontologis Kant yang menekankan prinsip nilai moral yang “harus” dilakukan oleh insan pers sebagai etos kebenaran, asumsi objektivitas moral dan eksistensi pers di Indonesia dan pada akhirnya asumsi prinsip kemandirian pers dalam konteks ekonomi, sosial dan politik sedemikian rupa pers diharapkan menjadi pers yang independen dan merdeka dalam arti yang positif.
Dua argumentasi pokok dan tiga asumsi dasar tulisan terdahulu telah menjadi landasan bagaimana kita membangun dan memahami keberadaan serta iklim kebebasan pers di Indonesia. Muara dari argumentasi dan beberapa asumsi di atas adalah konstruksi paradigma etis yang perlu dipertimbangkan oleh para pelaku media massa Indonesia. Tapi masalahnya, apakah memang pers Indonesia dipahami dalam konteks simplifikasi etis semacam itu, apabila tidak bisa dikatakan bahwa atmosfer tulisan tersebut berawal dengan pesimisme terhadap kebebasan media massa di Indonesia maka perlu dibangun sebuah etos tanggung jawab sosial pers ? Apakah memang benar realitas pers adalah realitas yang bisa benar-benar mandiri dan bebas dari seluruh kepentingan yang berada di belakangnya ? Apakah memang ada sebuah etos moralitas dan tanggung jawab etis yang “deontologis” dan bersifat objektif dalam kehidupan pers di Indonesia pada khususnya maupun media global pada umumnya ? Seharusnya, pertanyaan kritis tersebut yang perlu dijawab secara tuntas sebelum kita masuk dalam argumentasi pokok dan pengembangan paradigma moral pers secara utuh.
Gagasan etis terhadap pers yang dikemukakan oleh Franz Magnis-Suseno dalam Kuasa dan Moral (1986) dan Jurgen Habermas dalam Communicative Ethics Controversy (1990) menyiratkan gagasan etis pers dalam tingkat mikro. Dalam arti, bahwa pers dilihat dari bagian kecil dari proses pengembangan etika masyarakat pada umumnya. Padahal kalau kita mau melihat secara lebih jauh, pers modern sekarang telah menjadi entitas yang besar bahkan mampu menjadi pilar ke empat dalam kehidupan demokrasi sosial. Jadi, saya menganggap tidak cukup memadai dan tidak sepakat apabila pers hanya dipahami dalam proses simplifikasi masalah sosial masyarakat yang ada. Ini berarti bahwa pada titik tertentu, refleksi etis yang dikemukakan oleh Magnis, Habermas atau Kasdin kurang menyentuh realitas pers yang berkembang sampai sekarang.
Saat ini, pers telah menjadi realitas yang begitu kompleks berikut dengan dampak-dampak yang menyertainya. Realitas pers yang begitu kompleks justru berkembang ketika media telah mengalami revolusi komunikasi yang drastis. Perkembangan internet, telepon, fax, sistem industri dan kepemilikan media atau pers secara vertikal-horizontal, surat kabar elektronik, sistem kepenyiaran langsung melalui satelit, new interactive multi media - yang menggabungkan kemampuan sifat yang visual-auditif-interaktif dalam satu paket media telah mengubah pemahaman kita terhadap definisi tentang pers itu sendiri. Ketika pers, termasuk di dalamnya pers Indonesia, mengalami perkembangan identitas yang semakin kompleks, maka diperlukan juga paradigma etis yang lebih harus bersifat komprehensif dan baru dalam memaknai tanggung jawab moral pers, baik secara lokal maupun global.
Pertama, paradigma yang harus dikembangkan adalah paradigma pemahaman bahwa esensi dan eksistensi pers harus dilihat sebagai totalitas. Artinya, pers pertama-tama harus diletakkan dalam totalitas sosial yang lebih luas, sebagai bagian integral dari proses-proses ekonomi, sosial dan politik yang berlangsung dalam masyarakat. Perspektif ekonomi politik pers setidaknya menjadi perspektif yang menyatakan bahwa terjadi relasi tidak terpisahkan antara para pelaku pers, pemerintah dan pasar. Ini berarti bahwa pengembangan etika atau moralitas pers harus juga didasarkan pada asumsi relasi tak terpisahkan antara interaksi sosial-ekonomi insan pers, situasi politik sosial pemerintahan yang sedang berlangsung dan kebutuhan pasar atas hak informasi yang benar. Etika harus hadir dalam konteks ideologi-sosial-ekonomi yang lebih konkret.
Kedua, berhubungan dengan point pertama, struktur etika atau tanggung jawab moral pers tidak bisa berdiri secara objektif dan ontologistik tanpa konteks struktural. Pers diposisikan dalam relasinya dengan publik, kekuatan kapital dan struktur kekuasaan politik. Dalam teori demokrasi, media memberikan sumbangan saluran komunikasi konkret dalam usaha diseminasi informasi yang benar dan pengembangan ranah publik (civil society). Diseminasi informasi yang benar dan aspiratif dan pengembangan ranah publik tentu saja akan berkaitan dengan soal kebenaran yang dibawa dan diperjuangkan oleh pers. Dengan tidak menafikkan diskursus makna esensi kebenaran, tentu saja dalam konteks demokratisasi, makna kebenaran harus dilihat sebagai proses pengembangan konsensus sosial kebenaran subjektif.
Ketiga, soal krusial dalam pengembangan tanggung jawab sosial pers bukan semata diletakkan pada soal tanggung jawab sosial sebagai tugas utama insan pers tapi bahwa tanggung jawab sosial harus diletakkan dalam konteks yang lebih luas. Konteks etika pers yang lebih luas terlihat dan terwujud dalam usaha regulasi media itu sendiri. Regulasi pers tidak semata-mata dilihat sebagai “ tali kekang ” yang membatasi kebebasan pers. Tapi justru regulasi pers ini harus dipahami sebagai wujud tanggung jawab otonom insan pers, pemerintah, pemegang kapital dan konsumen pers.
Kita akan sulit menemukan pers yang sedemikian bebas yang sedemikian otonom dari segala kepentingan baik kepentingan publik maupun kepentingan negara. Tapi permasalahan
dalam regulasi pers adalah bagaimana kita bisa membentuk aturan main yang menjaga fairness, nilai prinsip keadilan yang jelas patokan normanya, menjamin prinsip harmoni kepentingan yang saling tarik-menarik dalam proses produksi pers. Regulasi etika pers tidak sekedar soal dan masalah mikro pers, seperti soal objektivitas berita (hal ini menyangkut soal kebenaran objektif, produk media meskipun telah didasarkan oleh fakta tetap saja akan menampilkan fakta tersebut dalam realitas simbolik yang tidak identik dengan realitas objektif; itu saja kalau realitas objektif itu ada) - bukankah objektivitas itu hanya sekedar soal kesepakatan sosial saja? Juga dalam hal regulasi etik pers tidak sekedar membahas soal imparsialitas produk media, sistem kepemilikan media massa secara horizontal-vertikal, sistem nilai anonim yang ditimbulkan oleh teknologi informasi yang canggih. Perkara etika dan regulasi pers terutama pers Indonesia tidak berhenti pada soal content dari sebuah media atau soal bahasa yang dipergunakan dalam sebuah sistem media massa. Content dan bahasa lebih merupakan proses interpretasi yang sudah terbangun dalam sistem sosial masyarakat. Justru pada suatu titik tertentu, media atau pers mampu membangun paradigma interpretasi yang akhirnya diyakini oleh sistem sosial masyarakat. Jadi pers dan masyarakat tidak bisa dilihat sebagai satu per satu entitas. Tapi dipahami sebagai suatu proses interplay - proses relasi timbal balik dan saling mempengaruhi satu sama lain. Suatu produk pers tidak bisa dipisahkan oleh sistem distribusi dan konsumsi yang berlaku dalam masyarakat.
Paradigma etika baru dalam regulasi pers yang dipahami menyangkut proses saling membentuk rasionalitas yang lebih konkret dan situasional. Lebih signifikan dapat dikatakan bahwa paradigma baru tentang moralitas pers yang tertuang dalam regulasi pers adalah sejauh mana pers semakin memposisikan diri sebagai realitas yang berfungsi sosial utuh. Pers harus mampu menjadi media efektif, dewasa dan rasional proses komunikasi sosial antar warga atau antara warga dengan negara. Proses pemaknaan kebenaran dan pembenaran dalam masyarakat diletakkan atas dasar dialog moral yang berkembang. Sementara itu, regulasi etik pers juga harus memampukan pers sebagai pendorong terciptanya pers lokal, sebuah ranah publik yang bisa menjadi alternatif hak akses atas informasi yang seimbang, rasional dan konstruktif. Tentu soal nilai keseimbangan, rasionalitas dan proses konstruktivisme merupakan diskursus yang dinamis. Sementara tidak menafikan nilai etis universal, tapi tetap saja universalitas etika dibangun dari bingkai-bingkai subjektivisme yang menjadi konsensus sosial. Hal ini yang menjadi tantangan baru dari pers modern di mana sejauh mana pers mampu dan mau semakin dituntut untuk membuka celah-celah kebenaran dan pembenaran yang dibentuk secara sosial.
Diskursus paradigma tanggung jawab sosial pers belum selesai. Teknologi pers masih berkembang dan hal itu menuntut kita untuk menempatkan etika bukan sebagai dunia yang jauh dari realitas yang sebenarnya. Tulisan ini mau memberikan ide bahwa paradigma etik tidak sederhana justru karena realitas pers semakin kompleks. Proses penyederhanaan etika pers justru akan mereduksi peran dan manfaat pers bagi perkembangan budaya. Paradigma baru etika pers menyatakan bahwa etika adalah tanggung jawab bersama. Kewajiban insan pers adalah membentuk dan menciptakan pers yang bertanggung jawab terhadap proses dinamisasi kemanusiaan. Tugas pemerintah adalah membentuk aturan main yang adil sehingga kepentingan pers dan masyarakat tetap terjaga dan tidak saling berbenturan. Tugas kita adalah menjadikan diri kita mampu mengkritisi dan menikmati media massa secara proporsional, sehat, dewasa dan rasional.




DAFTAR PUSTAKA

Ø  Pengantar Deddy mulyana “etika komunikasi”.
Ø  Johannesen, Richard L. 1983. Ethics in Human Communication.ed2(prospect heights, IL:Waveland Press,Inc)
Ø  www. Google. Com



2 komentar: