Rabu, 04 April 2012

ANALISIS JURNAL (ETIKA MEDIA MASSA DAN KODE ETIK JURNALISTIK)


UJIAN AKHIR SEMESTER GANJIL
ETIKA KOMUNIKASI

ANALISIS JURNAL
(ETIKA MEDIA MASSA DAN KODE ETIK JURNALISTIK)
Judul:
“BANALITAS INFORMASI DALAM JURNALISME INFOTAINMENT DI
MEDIA TELEVISI DAN DAMPAKNYA TERHADAP PENONTON
INFOTAINMENT”



 








Disusun Oleh
Nama  : Ziya Ibrizah
NRP    : 09.05.311.00054


PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN BUDAYA
UNIVERSITAS NEGERI TRUNOJOYO
2011



JURNAL ETIKA KOMUNIKASI
(ETIKA MEDIA MASSA DAN KODE ETIK JURNALISTIK)

“BANALITAS INFORMASI DALAM JURNALISME INFOTAINMENT DI
MEDIA TELEVISI DAN DAMPAKNYA TERHADAP PENONTON
INFOTAINMENT”


Abstrak
            Penelitian tentang banalitas informasi dalam tayangan infotainment dan dampaknya bagi khalayak, yang dilakukan dengan menggunakan metode etnografi komunikasi di tingkat proses decoding dan endcoding ini memperoleh hasil yang memperlihatkan bahwa dalam proses produksinya infotainment seringkali mengabaikan prinsip etika jurnalistik. Ini terbukti dengan seringnyakasus pertikaian antara kru infotainment dengan artis yang merasa dirugikan dengan pemberitaan infotainment. Pengemasan berita dalam infotainment juga telah menandai babak baru dalam jurnalisme yang dikendalikanoleh libido pasar (market driven journalism). Jurnalisme demikian membawa implikasi bahwa pemberitaan dalaminfotainment adalah pemberitaan yang tidak berbanding dua belah pihak (cover both side). Dalam proses dekodingtayangan infotainment, khalayak ditiga kota yang ditelitimemiliki kecenderungan berbeda. Khalayak di Yogyakartacenderung penonton light viewers yang kritis terhadap isi tayangan infotainment. Ibu-ibu di kota ini menyadaritentang bahaya infotainment bagi anak-anak dengan tidakmembiarkan anak menonton infotainment sendiri. Di Klaten, ibu-ibu sebenarnya sadar tentang bahaya tayanganinfotainment, namun mereka tetap saja menikmati waktuluang (leisure time) mereka diisi dengan menonton tayangan infotainment. Ibu-ibu di kota ini sadar bahwa infotainment rentan dengan tayangan kekerasan dan karenanya tidak mengijinkan anak mereka menonton infotainment. Berbeda dengan di Sragen dimana khalayaknya secara intens mengkonsumsi tayangan infotainment dan mengabaikan anak saat menonton televisi, sebagaimana terlihat dari pola perilaku menonton televisi yang mayoritas berisi menonton tayangan infotainment sendiri dan tidak bersama anak. Padahal mereka sebenarnya sadar bahwa infotainment rentan dengan adegan kekerasan dengan menyatakan bahwa mereka tidak mengijinkan anak mereka menonton infotainment sendiri.

Keywords : infotainment, audience, journalism

A.    Pendahuluan
Infotainment merupakan jenis tayangan televisi yang cukup populer dewasa ini. Tingginya popularitas jenis tayangan ini bisa dibuktikan dengan semakin beragamnya nama tayangan infotainment yang menemui pemirsa. Walaupun semakin beragamnya nama tayangan infotainment, namun keberagaman nama ini tidak diikuti oleh keberagaman format acara infotainment. Anehnya di tengah kualitas infotainment yang begitu-begitu saja, infotainment tetap digandrungi para pemirsa Pada jam tayangan utama (prime time) yang berkisar pukul enam sore sampai dengan delapan malam, dimana umumnya di kisaran jam ini program acara memiliki rating tinggi, infotainment juga tidak terlewat ikut meramaikan kompetisi perebutan rating di kisaran waktu ini.
            Bukti lain yang memperlihatkan kedigdayaan infotainment adalah jumlah jam tayang infotainment, yang menurut sebuah survey yang dilakukan Dewan Pers di Jakarta tahun 2006, mencapai empat belas jam dalam satu hari. Setidaknya setiap minggu 125 program tayangan infotainment dijual berbagai stasiun televisi dengan berbagai nama yang beraneka ragam (Bernas Jogja, 16 Desember 2004). Tahun 2008 ini angka ini juga tidak berubah, bandingkan dengan jenis program tayangan televisi lainya yang mengalami fluktuasi rating dan share.      Menurut Val E. Limburg dalam bukunya Electronic Media Ethics (1994 : 125), gambar (visual) lebih mampu berbicara banyak daripada bahasa lisan maupun tertulis, karena itu persoalan etika menjadi semakin penting. Dalam tayangan berita di televisi, termasuk juga infotainment, menurutnya ada dua gatekeepers yang berperan dalam persoalan etika yang berkaiatan dengan visualisasi di layar televisi, yaitu kamerawan yang mengarahkan kemeranya kepada sumber berita dan editor yang berkuasa untuk memilih visualisasi yang layak disiarkan atau tidak.

B.     Rumusan Masalah
            Berdasarkan pada latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana banalias informasi dalam pemberitaan infotainment dan tanggapan khalayak ( reception ) atas tayangan infotainment di stasiun televisi swasta nasional?
C.     Metode Penelitian
            Riset etnografi (ethnografic research) mencoba melihat efek media secara lebih alamiah dalam waktu dan tempat tertentu. Metode ini berasal dari antropologi yang melihat media massa dan khalayak secara menyeluruh (holistic), sehingga tentu saja relatif membutuhkan waktu yang lama dalam aplikasi penelitian. Dalam penelitian yang menggunakan metode ini, para peneliti menggunakan teknik observasi, pencatatan dokumen dan wawancara mendalam. (Straubhaar dan Larose, 1997 :417). Peneliti hanya memerlukan daftar pertanyaan sebagai acuan dalam wawancara yang dapat dikembangkan secara lentur ketika mengadakan wawancara, sehingga daftar pertanyaan dalam metode ini dinamakan sebagai petunjuk wawancara (interview guide).
            Penelitian etnografi komunikasi (ethnography of communication) beranjak dari tradisi penelitian ilmiah yang berkembang dalam kajian antropologi, sosiolinguistik dan folklore. Etnografi komunikasi menyatakan bahwa komunikasi merupakan sebuah proses yang mengalir dari perputaran informasi, bukan semata-mata pertukaran pesan (Lindolf dan Taylor, 2002:44). Penelitian etnografi komunikasi pada masa tersebut telah memberi kontribusi bagi perkembangan model penelitian kualitatif dalam ilmu komunikasi. Perspektif etnografi komunikasi yang menekankan pada relasi antara analisis data dan teori serta kemanfaatannya bagi tindakan praktis dalam komunikasi merupakan prestasi etnografi komunikasi (Lindolf dan Taylor, 2002:46).
Dalam penelitian komunikasi yang menggunakan metode etnografi komunikasi, para peneliti memakai teknik observasi, pencatatan dokumen dan wawancara mendalam. Dalam melakukan wawancara mendalam, peneliti harus mampu mengeksplorasi beragam informasi dari responden, tanpa melalui pertanyaan yang sifatnya kaku sebagaimana penelitian survey (Straubhaar dan Larose, 1997 :417). Peneliti hanya memerlukan daftar pertanyaan sebagai acuan dalam wawancara yang dapat dikembangkan secara lentur ketika mengadakan
wawancara, sehingga daftar pertanyaan dalam metode ini dinamakan sebagai petunjuk wawancara (interview guide).

D.    Kajian Teori
1. Teori Ekonomi-Politik Media
            Teori ekonomi-politik media (political economy media theory) banyak berhutang pada kajian yang dilakukan oleh Vincent Moscow dalam bukunya The Political Economy of Communication (1998). Menurutnya pendekatan dengan teori ekonomi-politik media pada intinya berpijak pada pengertian ekonomi politik sebagai studi mengenai relasi sosial, khususnya yang menyangkut relasi kekuasaan, baik dalam produksi, distribusi dan konsumsi sumber daya (resourches). Dalam ekonomi politik komunikasi, sumber daya ini dapat berupa surat kabar, majalah, buku, kaset, film, internet dan sebagainya (Moscow, 1998 : 25). Sistem ini membawa implikasi mekanisme pasar yang tidak ambil resiko, suatu bentuk mekanisme pasar yang kejam karena membuat media tertentu mendominasi wacana publik dan lainnya terpinggirkan. Ekonomi-politik media ditandai dengan pertumbuhan konsentrasi kepemilikan media di tangan segelintir orang saja. Gejala ini dianggap sebagai sebuah
konsentrasi kepemilikan media yang menyebabkan semakin sedikitnya lembaga yang memiliki media (Croteu, 2000 : 38). Semakin sedikitnya lembaga yang menguasai media tentu dapat menyebabkan informasi yang disebarkan media dengan mudah dikendalikan oleh segelintir orang saja, akibatnya informasi yang bias dan membela kepentingan pihak-pihak tertentu dapat dengan mudah terjadi. Faktor rutinitas organisasi, latar belakang individu pekerja media, eksternal media (seperti pemasang iklan), pemilik perusahaan dan ideologi media menentukan corak pemberitaan media bersangkutan (Shoemaker dan Reese, 1991:156).

2. Ideologi Media
            Untuk mengkaji apa yang dikandung ideologi secara komprehensif, Althusser memperkenalkan dua istilah kunci yaitu Ideological State Apparatus (ISA) dan Repressive State Apparatus (RSA). Dalam terminologi marxian, aparat negara yang represif (State Apparatus) terdiri dari pemerintah, tentara, polisi, birokrasi, pengadilan, penjara dsb. Inilah yang oleh Althusser kemudian dinamakan sebagai RSA. RSA menjalankan fungsinya melalui kekerasan (by violence), baik dalam bentuk kekerasan fisik maupun non fisik. Sedangkan ISA menjalankan fungsinya secara ideologis (by ideology ). Pada titik inilah terlihat secara jelas perbedaan antara ISA dan RSA. Karena itu ISA tidak bisa disamarkan dengan RSA. Secara lebih jelas Althusser memaparkan hal ini dengan beberapa alasan yaitu bahwa, pertama, hanya ada satu RSA, namun pada sisi yang lain terdapat pluralitas ISA. Kedua, RSA bergerak terbatas ada wilayah publik, sedangkan ISA dapat bergerak ke wilayah privat, seperti melalui lembaga agama, keluarga, sekolah, media massa dan sebagainya. Ada dua tesis dari Althusser untuk menjawab pertanyaan ini. Pertama, ideologi menghadirkan imaginary relationship antara individu dengan eksistensi kondisi realitasnya, seperti yang dikenal sebagai ideologi agama, ideologi etika, ideologi hukum, ideologi politik dan sebagainya (McQuail, 2002 : 97). Tesis ini memperoleh satu pertanyaan yang sangat menarik mengapa manusia memerlukan imaginary relationship. Menurut Ludwig Feurbach, dan kemudian dikembangkan oleh Marx, manusia memerlukan imaginary relationship untuk mendapatkan ketenangan dalam hidupnya, padahal sebenarnya mereka mengalami penindasan. Kondisi inilah yang dinamakan sebagai alienasi (keterasingan) manusia dari realitasnya. Tesis kedua, ideologi bisa dipastikan selalu mempunyai eksistensi material dalam segala keberadaannya. Maksudnya, ideologi tidak dapat dibatasi sebagai ide semata, namun ia memiliki aspek material yang berupa aparat yang menjalankannya praktik ideologi bersangkutan dalam realitas kehidupan. Dari kekompakan kerja antara RSA dan ISA inilah yang menjadikan individu-individu seakan-akan takluk begitu saja di hadapan kekuasaan negara. Dari sinilah kemudian Althusser mendefinisikan ideologi dalam dua tesis utama tersebut. (Burton, 2000:176).

3. Teori Medium
            Donald Ellis membuat sebuah ringkasan dari berbagai pandangan mengenai teori medium dan serempak ia juga membuat satu proposisi menarik yang mampu mewakili cara pandang kontemporer mengenai subjek kajian ini. Dengan mengamini Innis dan McLuhan, Ellis menyatakan bahwa keberadaan media dominan pada waktu tertentu akan membentuk perilaku dan pemikiran masyarakat bersangkutan. Sejalan dengan berubahnya media, begitu juga cara kita berpikir, mengolah informasi, dan menghubungkan satu dengan yang lain. (Littlejohn, 1996:198). Perubahan besar gelombang ketiga terjadi ketika media elektronik berhasil ditemukan dan dikembangkan secara revolusioner. Informasi dalam media elektronik adalah solid seperti komoditas, yang menciptakan tekanan pada informasi agar menarik. Pengetahuan dalam abad media elektronik berubah sangat cepat, dan kita, terutama yang menjadi public figure, menjadi semakin waspada terhadap beragam versi yang berbeda dari suatu realitas tertentu. Perubahan yang konstan yang diciptakan dari media elektronik dapat membuat kita menjadi bingung dan mungkin tidak tenang. Berita artis ditayangan infotainment yang banyak disiarkan oleh berbagai stasiun televisi di Indonesia dapat menunjukan fenomena ini. Para artis yang diliput di acara infotainment saling menyangkal isu miring yang menerpa mereka, bahkan mereka pun kemudian merasa privasi mereka terganggu oleh kru infotainment yang memburunya (Junaedi, 2007:37).

4. Tipologi Khalayak
            Perdebatan mengenai tipologi khalayak (audience) yang cukup dilematis dalam perkembangan kajian komunikasi massa adalah polemik mengenai tipologi khalayak pasif berhadapan dengan khalayak aktif. Pandangan khalayak pasif memahami bahwa masyarakat dapat dengan mudah dipengaruhi oleh arus langsung dari media, sedangkan pandangan khalayak aktif menyatakan bahwa khalayak memiliki keputusan aktif tentang bagaimana menggunakan media. Selama ini yang terjadi dalam studi komunikasi massa, teori masyarakat massa lebih memiliki kecenderungan untuk menggunakan konsepsi teori khalayak pasif, meskipun tidak semua teori khalayak pasif dapat dikategorisasi sebagai teori masyarakat massa. (Littlejohn, 1996:330). Dalam kajian yang dilakukan oleh Frank Biocca berdasar penelitian yang dilakukannya sebagaimana termuat dalam dalam artikelnya yang berjudul ”Opposing Conceptions of the Audience : The Active and Passive Hemispheres of Communication Theory” (1998),menjelaskan beberapa kategori khalayak. Pertama adalah selektifitas (selectivity). Khalayak aktif dianggap selektif dalam proses konsumsi media yang mereka pilih untuk digunakan. Mereka tidak asal-asalan dalam mengkonsumsi media, namun didasari alasan dan tujuan tertentu. Karakteristik kedua adalah utilitarianisme (utilitarianism) di mana khalayak aktif dikatakan mengkonsumsi media dalam rangka suatu kepentingan untuk memenuhi kebutuhan dan tujuan tertentu yang mereka miliki. Karakteristik yang ketiga adalah intensionalitas (intentionality), yang mengandung makna penggunaan secara sengaja dari isi media. Karakteristik yang keempat adalah keikutsertaan (involvement) , atau usaha. Maksudnya khalayak secara aktif berfikir mengenai alasan mereka dalam mengkonsumsi media. Yang kelima, khalayak aktif dipercaya sebagai komunitas yang tahan dalam menghadapi pengaruh media (impervious to influence), atau tidak mudah dibujuk oleh media itu sendiri (Littlejohn,1996 : 333).

E.     Pembahasan
1. Infotainment dalam Banalitas Jurnalisme
            Di tengah kritik terhadap tayangan infotainment, justru tayangan ini semakin banyak menebar pesonanya di layar kaca. Setidaknya setiap minggu 125 program tayangan infotainment dijual berbagai stasiun televisi dengan berbagai nama yang beraneka ragam (Bernas Jogja, 16 Desember 2004). Sebuah riset yang dilakukan Lembaga Konsumen Media (LKM) Surabaya pada pertengahan tahun 2004 ini memperlihatkan data yang menyatakan bahwa TransTV menayangkan program infotainment sebanyak 27 kali tayangan dalam satu minggunya. Bisa jadi tayangan infotainment memberi kontribusi bagi perkembangan stasiun televisi yang masih terbilang muda namun berhasil bersaing dengan stasiun televisi lainnya yang lebih dulu mapan. Salah satu faktor yang menyebabkan maraknya tayangan infotainment di layar kaca adalah murahnya biaya produksi jenis program ini, di sisi lain minat para pengiklan masih lumayan tinggi dengan dibuktikan penuhnya slot iklan berbagai program infotainment. Kasus perseteruan artis dengan infotainment secara tidak langsung telah menjadi iklan gratis bagi infotainment. Kasus terakhir yang ”mencuatkan” infotainment terjadi ketika Luna Maya menyerang secara tertulis kru infotainment dalam akun twitternya di penghujung tahun 2009.
            Logika pasar bebas yang dikendalikan oleh kepentingan pasar saat ini menjadi the invisible hand dari maraknya tayangan infotainment. Sebagaimana yang dikatakan oleh Vincent Mosco dalam bukunya The Political Economy of Communication, Rethinking and Renewal (1998 : 111), pasar konsumen media audio-visual saat ini merupakan pasar global yang dikendalikan oleh kepentingan pasar yang berorientasi profit. Sehingga tidak mengherankan jika para kru infotainment saling bersaing untuk mendapatkan berita yang paling sensasional dari sang selebritis bahkan kalau perlu dengan tidak lagi memperdulikan wilayah publik dan privat sumber berita, sampai-sampai selebritis yang menjadi sumber berita merasa risih.
            Selama ini yang menjadi keluhan para selebritis terhadap infotainment adalah dimasukinya wilayah privat mereka oleh para kru infotainment. Berbagai perseteruan selebritis dengan kru infotainment seperti tersebut di atas menjadi penanda dari pereseturuan ini. Walaupun demikian konsep wilayah privat sendiri perlu dirumuskan kembali karena bukankan selebritis adalah public figure yang kemanapun melangkah pasti selalu menarik minat khalayak untuk mengetahuinya (public right to know). Yang lebih mendesak untuk segera diperhatikan adalah kesadaran penerapan etika jurnalisme saat meliput berita yang akan dijadikan konsumsi infotainment. Berbagai kasus yang terjadi selama ini, seperti yang dialami Parto Patrio, Nicky Astria dan Luna Maya berpangkal pada kurang dihormatinya hak sumber berita untuk tidak berkomentar atau memberi jawaban atas pertanyaan reporter infotainment. Menjawab pertanyaan dalam mekanisme pencarian berita merupakan hak, bukan kewajiban yang menjadi sebuah keharusan untuk dipenuhi oleh sumber berita. Apalagi jika kemudian para kru infotainment, baik reporter maupun kamerawan ramai-ramai mengejar sumber berita demi mendapatkan jawaban atau komentar yang semakin sensasional. Gambar (visual) dalam tayangan di layar televisi lebih mampu berbicara banyak daripada bahasa lisan maupun tertulis, karena itu persoalan etika menjadi semakin penting.   Dalam tayangan berita di televisi, termasuk juga infotainment, menurutnya ada dua gatekeepers yang berperan dalam persoalan etika yang berkaiatan dengan visualisasi di layar televisi, yaitu kamerawan yang mengarahkan kemeranya kepada sumber berita dan editor yang berkuasa untuk memilih visualisasi yang layak disiarkan atau tidak (Limburg, 1994 : 125).
            Sebetulnya memasukan infotainment dalam kategorisasi tayangan yang berada dalam ranah genre pemberitaan kemudian menjadi sangat mungkin diperdebatkan karena dalam realitasnya yang sering mengemuka dalam tayangan infotainment adalah sekedar gosip yang ditampilkan dengan prosedur jurnalisme yang kelihatan sangat minim, terutama dari segi etika. Pencampuradukan antara gosip dan berita, diobokoboknya wilayah privat dan penyajian secara tidak berimbang (cover both side) sering kali menjadi bumbu dari infotainment yang memperlihatkan indikasi lemahnya etika jurnalisme dalam tayangan infotainment. Jika kalau kemudian untuk sementara disepakati bahwa infotainment bisa dimasukan dalam wilayah pemberitaan, sebenarnya infotainment merupakan tayangan yang sah-sah saja untuk dijual kepada publik dan serempak pula bukan merupakan tayangan yang haram atau bahkan harus dihilangkan dari layar televisi. Sebagai sebuah bentuk pemberitaan tentu saja, etika jurnalisme merupakan sesuatu yang harus dikedepankan. Pada kenyataannya, kondisi yang terjadi berkebalikan dan semakin ironis karena etika jurnalisme yang semakin tidak dipedulikan dalam infotainment, sehingga wajar saja jika kemudian berkembang wacana bahwa infotainment sekedar “berita sampah” yang hanya berorientasi kepada segi entertainment untuk mereguk keuntungan dengan mengorbankan hak-hak dan kepentingan sumber berita. Dibandingkan dengan laki-laki, perempuan nampaknya lebih sering muncul dalam berbagai tayangan infotainment. Setidaknya penanda (signified) ini dengan sangat jelas dapat diamati dari para pembawa acara (host) infotainment yang mayoritas adalah perempuan, dengan beberapa tayangan infotainment yang dibawakan perempuan bersama laki-laki, seperti Insert. Dengan menggunakan pendekatan strukturalisme yang dikembangkan Roland Barthes, direpresentasikanya para pembawa acara yang mayoritas perempuan pada tayangan infotainment, pada tingkatan secondary signification menandai perempuan sebagai tukang gosip yang hanya suka menyebarkan “berita tidak serius” atau “berita sampah” yang mencampuradukan fakta dengan gosip yang merasuki pelbagai sisi wilayah privat. Apalagi sajian infotainment dikelola dengan profesionalisme yang minim etika, sehingga perempuan semakin terepresentasikan sebagai biang gosip.

2. Proses Produksi Infotainment
             Produksi sebuah program televise, termasuk juga di dalamnya adalah infotainment, selalu dimulai dari ide atau gagasan yang kemudian dituangkan kedalam sebuah naskah atau script. Naskah menjadi sebuah landasan atau basis yang diperlukan untuk membuat sebuah program televisi apapun bentuknya. Penulisan sebuah naskah program video dan televisi yang didasarkan pada sebuah ide biasanya mempunyai tujuan yang spesifik yaitu memberi informasi (to inform), memberi inspirasi (to inspire), menghibur (to entertain) dan propaganda, yang sebenarnya tidak jauh dari hakikat tujuan komunikasi massa.
            Untuk mengetahui bagaimana tahapan proses yang dilakukan dalam proses produksi infotainment, maka kita perlu memahami tentang naskah produksi terlebih dahulu. Sebuah naskah mempunyai peran sentral dalam produksi sebuah program televisi. Sebuah naskah adalah ide dasar yang diperlukan dalam sebuah produksi program video. Kualitas sebuah naskah sangat menentukan hasil akhir dari sebuah program. Dalam tayangan fiksiseperti drama fungsi naskah ini menjadi kian penting karena sebuah naskah pada umumnya berisi gambaran atau deskripsi tentang pesan atau informasi yang disampaikan seperti alur cerita, karakter tokoh utama, dramatisasi, peran/figuran, setting, dan property atau segala hal yang berkaitan dengan pembuatan sebuah program televisi. Namun demikian fungsi naskah juga tidak kalah penting dalam produksi tayangan yang bersifat non fiksi, termasuk juga di dalamnya infotainment. Uraian ringkas secara deskriptif, bukan tematis, yang dikembangkan dari synopsis dengan bahasa visual tentang suatu episode cerita, atau ringkasan dari rangkaian suatu peristiwa. Artinya dalam membuat treatment bahasa yang digunakan adalah bahasa visual. Sehingga apa yang dibaca dapat memberikan gambaran mengenai apa yang akan dilihat. Dengan membaca treatment bentuk program yang akan dibuat sudah dapat dibayangkan.
            Dari treatment kemudian dibuat naskah produksi atau scenario. Penulisan naskah produksi atau scenario harus operasional karena digunakan sebagai panduan tidak saja kerabat kerja (crew) tetapi juga pemain dan pendukung lain yang terlibat. Penulisan naskah (skenario) pada dasarnya menggambarkan sekaligus menyuarakan apa yang ingin disampaikan. Urutan sinopsis-treatment-skenario merupakan rangkaian yang baik untuk membuat naskah video (televisi), Sudah menjadi standar dalam produksi tayangan televisi, termasuk tentu saja infotainment, ada tiga tahap dalam menulis naskah, yaitu : concept, story board, dan script.
Dalam pembuatan naskah, yang penting juga adalah riset tentang apa yang akan ditulis di dalam naskah produksi. Secara standar tahap-tahapnya bisa dipetakan sebagai berikut. Pertama adalah merumuskan ide dari apa yang akan diproduksi. Dalam produksi infotainment ide ini bisa didapatkan dari perkembangan terkini dalam dunia selebritis. Kemudian dari ide ini dilakukan riset terhadap ide tersebut sebagai pengembangan dari ide tersebut. Berdasarkan hasil wawancara dengan pekerja infotainment diperoleh data bahwa pekerja infotainment selalu berusaha mendapatkan data terbaru dari kehidupan artis, bahkan dengan mengawasi selama beberapa hari keseharian artis bersangkutan. Antar program infotainment saling bersaing agar data terbaru yang mereka kuasai lebih update dan lebih mendalam dibandingkan program sejenis di stasiun televisi lain. Persaingan antar program infotainment, membuat masingmasing program tayangan infotainment berinovasi, seperti dengan melakukan model jurnalisme yang diklaim sebagai jurnalisme investigasi, seperti yang dilakukan oleh Insert. Setelah mendapatkan data dari riset dilakukan penulisan outline, yang menjadi garis besar dari rencana produksi. Dari naskah outline kemudian dilakukan penulisan sinopsis dan treatment terhadap sinopsis. Di dalam naskah ini ada kolom tentang video dan audio yang akan ditampilkan lengkap beserta durasinya.
            Naskah yang sudah final kemudian diserahkan ke editor dan narator untuk siap digunakan sebagai panduan dalam editing dan tayangan live. Untuk memudahkan dalam proses produksi, desk infotainment juga menggunakan data yang ada di library, seperti koleksi dari divisi atau desk news. Namun, untuk membedakan dengan news, infotainment memiliki kebijakan redaksional yang lebih mengutamakan pada sisi human interest. Di sisi yang lain, desk news juga bisa mengambil bagian dari tayangan infotainment, karena artis adalah sosok yang laku secara pemberitaan. Sebagai sebuah pemberitaan, infotainment juga tidak lepas dari berbagai faktor yang mempengaruhinya, seperti faktor intra media dan ekstra media.

3. Infotainment di Mata Khalayak
3.1. Tipologi Khalayak
            Untuk membahas tipologi khalayak akan di bagi berdasarkan wilayah yaitu urban, sub urban dan rural ; dengan menggambarkan bagaimana proses decoding dari tayangan infotainment.

1.      Penonton Infotainment di Yogyakarta : Ligth Viewers dan Kritis
            Mayoritas penonton di Yogyakarta, adalah penonton ringan (light viewers) sebanyak 60% dan sisanya adalah heavy viewers. Menurut Dennis McQuail, penonton yang menonton lebih dari 3 jam dalam waktu satu hari adalah penonton kategori heavy viewers, sedangkan penonton yang menonton kurang dari 3 jam adalah light viewers. Selanjutnya jika dilihat pada jam tayang utama (prime time) yang selama ini menjadi maskot berbagai stasiun televisi untuk menaikan angka rating dengan meraup jumlah penonton sebesar mungkin. Pada jam tayang inilah, yaitu tepatnya jam 18.00 sampai dengan 22.00 WIB para penonton televisi di Yogyakarta, terutama kaum perempuan, menikmati suguhan dari layar kaca yaitu 91%. Perilaku menonton televisi di Yogyakarta di Yogyakarta dilihat dari teman menonton didominasi oleh suami dan anak sebagai teman menonton televisi yaitu 24% menyatakan bahwa mereka menonton televisi bersama suami dan anak. Dilihat dari genre program acara yang paling sering ditonton, ternyata tayangan infotainment tidak masuk tiga besar dari tayangan yang paling sering ditonton. Berita, sinetron dan musik-lah yang menjadi tiga besar tayangan program televisi yang paling banyak ditonton oleh ibu-ibu di Yogyakarta ketika mereka ditanyai tentang program acara televisi yang paling sering ditonton. Sedangkan infotainmnet yang paling sering ditonton oleh ibu-ibu di Yogyakarta adalah Insert yang ditonton oleh 15 responden, diikuti oleh Cek n Ricek sebanyak 13 orang dan Silet 9 orang.
            Kebiasan menonton infotainment ini juga diikuti dengan kebiasaan perilaku untuk membicarakan berita yang ditayangkan infotainment sekitar 30% menyatakan bahwa mereka membicarakan infotainment dengan teman. Sebanyak 65 % responden menyatakan bahwa tayangan di infotainment sebenarnya tidak memiliki nilai penting bagi kehidupan mereka. Kesadaran ini berbanding lurus dengan seluruh responden yang menyatakan bahwa infotainment tidak layak ditonton anak-anak. Alasan yang dikemukakan oleh responden beragam, namun memiliki titik temu yaitu infotainment dianggap sebagai tayangan yang tidak sehat bagi anak

2.       Penonton Infotainment di Klaten : Kritis namun Tetap Setia Menonton Infotainment
Penonton infotainment di kota Klaten mayoritas adalah penonton kelas ringan yang menonton televisi maksimal 2 jam selama satu hari. Sebagaimana khalayak penonton televisi di Yogyakarta, penonton televisi di Klaten juga cenderung menonton tayangan televisi di jam tayang utama yaitu 65% responden menyatakan bahwa mereka lebih sering menonton televisi pada pukul 18.00 sampai dengan 22.00 WIB. Acara dialog atau talkshow, seperti Dorce Show dan Empat Mata, menjadi preferensi utama penonton televisi dari kalangan ibu-ibu di Klaten. Perilaku ini berbeda dengan di Yogyakarta dimana para penonton infotainment di sana lebih banyak menonton bersama suami dan anak. Jenis berita infotainment yang miring yang sering ditonton ini ternyata pararel dengan perilaku penonton infotainment di Klaten yang memang menyukai berita negatif tentang artis, daripada berita positif tentang artis. Perilaku menonton infotainment yang dilakukan oleh khalayak di Klaten tidak berhenti tatkala siaran acar infotainment selesai. Sekitar 60% responden menyatakan bahwa mereka memperbincangkan acara infotainment setelah menonton infotainment. Sedangkan sisanya, menyatakan mereka tidak membicarakan tentang isi berita infotainment setelah selesai menonton. Khalayak yang memperbincangkan isi infotainment di Klaten menyatakan bahwa mereka umumnya membicarakan isi infotainment bersama tetangga. Kultur agraris masyarakat Klaten yang masih diwarnai corak patembayan memungkinkan terjadinya interaksi sosial antaranggota masyarakat di Klaten untuk memperbincangkan isi tayangan infotainment.

3.      Penonton Infotainment di Sragen : Khalayak Pasif
            Berbeda dengan Yogyakarta dan Klaten, penonton tayangan infotainment di Sragen lebih berimbang antara heavy viewers dan light viewers. Jumlah khalayak yang menonton televisi dengan durasi waktu kurang dari 3 jam dan lebih dari 3 jam cukup berimbang.Namun sebagaimana di Klaten dan Yogyakarta, ibu-ibu di Sragen menyatakan bahwa mereka paling sering menonton infotainment pada jam tayang prime time. Data ini menunjukan bahwa khalayak di Sragen sampai dengan data ini bisa digolongkan khalayak pasif. Perilaku menonton televisi di Sragen, dilihat dari dengan siapa ibu-ibu menonton tayangan televisi, sebagaimana yang juga terjadi di Yogyakarta dan Klaten didominasi dengan perilaku menonton televisi bersama keluarga (suami dan anak). Di Sragen, mayoritas khalayak yaitu sebesar 32 orang atau 64 persen menyatakan bahwa mereka paling sering menonton tayangan infotainment. Baru setelah itu sinetron, sebanyak 13 orang atau 26 persen memiliki preferensi sinetron sebagai jenis tayangan yang paling sering ditonton. Insert, tayangan infotainment, yang ditayangkan di layar Trans TV menjadi tayangan infotainment yang paling banyak ditonton oleh ibu-ibu di Sragen. Di sini terlihat ada potensi pengabaian terhadap perilaku melek media dengan membiarkan anak menonton infotainment sendirian. Ini juga menunjukan adanya kecenderungan khalayak pasif di Sragen. Sebanyak 58% responden di Sragen menyatakan bahwa mereka memperbincangkan berita di infotainment dengan tetangga atau teman. Lainnya menyatakan tidak membicarakannya, dan menganggap isi berita infotainment sebagai angin lalu.

3.2. Perilaku Menonton Infotainment
            Para ibu yang menonton televisi biasanya untuk mengisi waktu senggang. Mereka tidak meluangkan waktu khusus untuk menonton televisi, apalagi meluangkan waktu khusus untuk menonton infotainment. Meskipun jika dianalisis berdasarkan pada pola menonton televisi berdasarkan tiga kategori wilayah yaitu urban, sub urban dan rural menunjukkan bahwa jam menonton televisi ibu-ibu di wilayah rural lebih banyak dibandingkan dengan jam menonton televisi ibu-ibu di daerah sub urban dan urban, namun sebagian besar ibu-ibu sesungguhnya bukanlah penonton yang terdominasi dan terhegemoni oleh tayangan infotainment di televisi. Hal ini nampak dari pernyataan-pernyataan para ibu yang mengatakan bahwa menonton televisi terutama acara infotainment hanyalah untuk mengisi waktu senggang saja; dan merupakan hiburan yang paling murah dan selalu tersedia di rumah .Perilaku menonton mereka lebih disebabkan pada ketiadaan aktivitas yang dilakukan sehingga mereka menonton tayangan infotainment atau bahkan dilakukan sambil lalu misalnya sambil menyiapkan masakan untuk keluarga Jadi dapat dikatakan bahwa jika kita mengacu pada konsep kategori penonton berdasarkan pada sikap atau perilakunya terhadap tayangan-tayangan isi media, penonton infotainment di 3 kota yaitu Kabupaten Sleman, Kabupaten Klaten dan Kabupaten Sragen sebagian besar merupaka penonton yang berada dalam kategori negotiated reading terhadap tayangantayangan infotainment. Artinya dalam menerima dan mengkonsumsi tayangan-tayangan infotainment yang ditayangka oleh stasiun-stasiun televisi swasta nasional mereka tidak dapat posisi yang menerima begitu saja tayangan-tayangan tersebut, dan bahkan sampai addictive ( kecanduan menonton). Bahkan salah seorang peserta FGD dari kabupaten Klaten menyatakan bahwa sesungguhnya dia tidak menyukai acara 19 infotainment, namun ternyata acaranya sama saja di semua stasiun televisi, yaitu acara infotainment dan berita yang disajikan sama, misalnya kalau stasiun A memberitakan kasus Mais dan Dhani, maka seluruh stasiun televisi lain juga akan memberitakan berita yang sama.Sikap kritis dalam menonton acara infotainment ini tidak hanya untuk mengambil pelajaran hidup dari kisah-kisah selebritis, bahkan di antara ibu-ibu tersebut ada yang kemudian mendiskusikan dengan temantemannya Tingkat pendidikan mempengaruhi bagaimana penonton memberikan penilaian terhadap tayangan-tayangan sinetron. Ibu-ibu yang di kabupaten Klaten rata-rata berpendidikan tamat SD dan tamat SMP, sedangkan ibu-ibu informan di kabupaten Sleman rata-rata tamat SMA dan ada lulusan perguruan tinggi. Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan perilaku menonton infotainment ini, ibu-ibu informan di kabupaten Klaten menjadikan materi sebagai bahan untuk ngobrol dengan ibu-ibu yang lain ketika bertemu, misalnya berbelanja bersama-sama atau sedang berkumpul bersama.
Dalam hal ini, menonton tayangan infotainment salah satu manfaatnya adalah menghubungkan dia dengan ibu-ibu lain untuk saling bercerita, dan memberikan komentar atas kasus yang mereka tonton. Sedangkan di Sleman, ibu-ibu yang menonton program infotaintment mengkritisi misalnya kenapa infotainment selalu menampilkan hal-hal yang bersifat pribadi dari artis dan selalu hal yang negatif, bahkan remeh temeh. Para ibu mempertanyakan mengapa tayangannya tidak dominan berkaitan dengan prestasi yang telah dicapai artis, seperti dalam acara-acara di luar negeri.
            Selain berkaitan dengan isi acara yang berisi pertengkaran dan konflik saja, para ibu juga sesungguhnya mempertanyakan mengapa acara-acara infotainment isinya sama saja di semua stasiun televisi dan cenderung melakukan pengulangan, atau diulang terus menerus, apalagi jika di stasiun televisi tersebut ada dua atau tiga program acara infotainment , misalnya pagi, siang dan sore hari.

F.      Penutup
            Dalam proses produksinya infotainment seringkali mengabaikan prinsip etika jurnalistik. Ini terbukti dengan seringnya kasus pertikaian antara kru infotainment dengan artis yang merasa dirugikan dengan pemberitaan infotainment. Pengemasan berita dalam infotainment juga telah menandai babak baru dalam jurnalisme yang dikendalikan oleh libido pasar (market driven journalism). Jurnalisme demikian membawa implikasi bahwa pemberitaan dalam infotainment adalah pemberitaan yang tidak berbanding dua belah pihak (cover both side).
            Dalam proses dekoding tayangan infotainment, khalayak di tiga kota yang diteliti memiliki kecenderungan berbeda. Khalayak di Yogyakarta cenderung penonton light viewers yang kritis terhadap isi tayangan infotainment. Ibu-ibu di kota ini menyadari tentang bahaya infotainment bagi anak-anak dengan tidak membiarkan anak menonton infotainment sendiri.
            Di Klaten, ibu-ibu sebenarnya sadar tentang bahaya tayangan infotainment, namun mereka tetap saja menikmati waktu luang (leisure time) mereka diisi dengan menonton tayangan infotainment. Berbeda dengan di Sragen dimana khalayaknya secara intens mengkonsumsi tayangan infotainment dan mengabaikan anak saat menonton televisi, sebagaimana terlihat dari pola perilaku menonton televisi yang mayoritas berisi menonton tayangan infotainment sendiri dan tidak bersama anak. Padahal mereka sebenarnya sadar bahwa infotainment rentan dengan adegan kekerasan dengan menyatakan bahwa mereka tidak mengijinkan anak mereka menonton infotainment sendiri. Berkaitan dengan proses produksi acara infotainment ini para awak yang membidani acara-acara infotainment ini memang dituntut untuk menyajikan hal-hal yang sensasional agar menarik penonton apalagi di tengah persaingan program-program infotainment yang terdapat di televisi lain. Sementara itu berkaitan dengan perilaku menonton tayangan program infotainment ini, para ibu sesungguhnya merupakan penonton yang aktif dan tidak menerima begitu saja acara-acara infotainment meskipun mereka percaya bahwa apa yang disampaikan dalam infotainment ini dapat dipercaya. Sebagian besar ibu-ibu merupakan penonton yang negotiated reading bahkan kritis terhadap tayangan acara sinetron baik terhadap isinya sendiri maupun programnya yang diuang-ulang dan bahkan beritanya sama antara satu stasiun televisi dengan stasiun televisi yang lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

·         Burton, Graeme. 2000. Talking Television : An Introductionto The Study of Television. London : Arnold
·         Junaedi, Fajar (2007). Komunikasi Massa, Pengantar Teoritis. Yogyakarta, Santusa
·         Lindlof, Thomas R dan Taylor, Brian C (2002). Qualitative Communication Research Methods, 2nd Edition. London, Sage Publication
·         Littlejohn, Stephen W (1994). Theories of Human 5th Communication, Edition.
·         Belmont CA,Wadsworth Publising Company Limburg, Val L. (1994). Electronic Media Ethic. New York
·         Routhledge Mosco, Vincent (1998). The Political Economy of Communication, Rethinking and Renewal. London, Sage Publications
·         Shoemaker, Pamela J. and Reese, Stephen D. (1991).Mediating the Massage : Theories of Influence on MassMedia Content, 2nd Edition. New York
·         Longman Publisher Straubhaar, Joseph and Larose, Robert (1997). Communication Media in The Information Society. California
·         Wadsworth Publishing McQuail, Denis (2002). McQuail’s Mass Communication Theory. London, Sage Publications















Biodata Penulis
            Tri Hastuti Nur Rochimah, S.Sos, M.Si adalah dosen Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Saat ini sedang mengambil program doktor di Universitas Gadjah Mada dan aktif di Lembaga Penelitian dan Pengembangan PP ‘Aisyiyah. Alamat e-mail : nursolo@yahoo.com

            Fajar Junaedi S.Sos, M.Si adalah dosen broadcasting pada Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Saat ini menjabat sebagai koordinator Laboratorium Ilmu Komunikasi  UMY. Alamat e-mail fajarjun@gmail.com, akun facebook di www.facebook.com/fajarjun




ANALISIS JURNAL

Penilaian etika lebih berfokus pada tingkat-tingkat kebenaran dan kesalahan dalam perilaku manusia. Dalam mengecam seseorang karena tidak efisien, konformis, boros, malas, atau lamban, kita mungkin tidak akan serta-merta menyebutnya tidak etis. Namun, standar-standar seperti kejujuran, menepati janji, dapat dipercaya, adil, dan manusiawi biasanya memang digunakan unntuk membuat penelitian etika tentang kebenaran dan kesalahan dalam prilaku manusia. Isu-isu etika mungkin muncul dalam perilaku manusia ketika perilaku tersebut menimbulkan dampak yang cukup berarti pada orang lain, ketika perilaku tersebut melibatkan pilihan standar tentang cara dan tujuan, dan ketika perilaku tersebut dapat dinilai melalui standar benar dan salah.
Beberapa filsof membedakan antara etika dan moral sebagai konsep. Etika dinyatakan sebagai kajian umum dan sistematik tentang apa yang seharusnya menjadi prinsip benar dan salah dari perilaku manusia. Sementara moral (moralitas) adalah standard benar dan salah yang praktis, spesifik, disepakati bersama, dan dialihkan secara kultural. Tetapi filosof lain menggunakan tema-tema etika dan moral dalam pengertian yang bisa saling dipertukarkan.
Karakteristik moral utama kondisi manusia adalah pengalaman ganda dari kebebasan berkehendak dan tanggung jawab pribadi. Karena keduannya merupakan dua aspek dari fenomena yang sama, kebebasan dan tanggung jawab mengandung perbandingan dengan peribahasa ‘’ pedang bermata dua ‘’. Salah satu sisinya menimbulkan banyak pilihan: kita menyebutnya kebebasan. Satu sisi yang lainya mengandung kewajiban kita menyebutnya tanggung jawab. Banyak orang menyukai kebebasan karena ia memberikan kekuasaan atas benda- benda dan orang-orang. Sedangkan tanggung jawab cenderung dibenci karena ia menghalangi mereka dari pemuasan keinginan mereka. Itulah sebabnya salah satu hal yang menjadi ciri sejarah adalah upaya manusia yang tanpa henti untuk meningkatkan kebebasan dan mengurangi tanggung jawab.
Dalam esainya yang berpengaruh, “toward a Meaning-Centered Philosophy of Comun ication’, Dean Bernlund mengutarakan bahwa setiap teori/filsafat komunikasi insane yang memuaskan harus memasukkan standar-standar moral tertentu “yang akan melindungi dan mengembangkan perilaku komunikasi yang sehat”. Perspektif pelajaran etika yang dipelajari disini menampilkan upaya beberapa pakar untuk menjelaskan kriteria etis yang mereka perlukan untuk mengembangkan komunikasi insane yang sehat.
Seorang ahli komunikasai, Gerald R. Miller, mengajukan serangkaian pertanyaan yang dianggapnya sebagai “tidak mungkin terlepas dari setiap bentuk komunikasi insani”. Dalam bentuk yang sudah diubah, pertanyaan Miller meliputi: Apa tanggung jawab etis seorang komunikator terhadap khalayak? Bagaimana mendefinisikan batas-batas moral perbedaan pendapat? Apakah nilai dasar komunikasi demokratis? Apakah sensor dapat dibenarkan secara etis? Ini serupa dengan pertanyaan, di samping hal lainnya, yang diajukan dalam buku ini.
Persepsi implikasi etis dalam komunikasi insane yang diajukan oleh Bernlund dan Miller juga dimiliki oleh para ahli retorika humanis kontemporer W. Ross Winteword menekankan etika tujuan dan cara. “ Tanggung jawab etis, bagaimanapun, bukanlah masalah niat baik semata; tanggung jawab etis didasarkan pada penanganann pokok persoalan secara jujur dan penuh pengetahuan.
Manusia bertanggung jawab terhadap tindakan mereka. Manusia menanggung akibat dari perbuatannya dan mengukurnya pada berbagai norma. Di antaranya adalah nurani sendiri, standar nilai setiap pribadi. Norma-norma nilai ini dapat dibentuk dengan berbagai macam cara. Kehidupan bersama antar manusia membentuk norma selanjutnya, yakni aturan-aturan, hukum-hukum yang dibutuhkan suatu masyarakat tertentu. Dalam negara-negara modern aturan-aturan atau hukum-hukum tersebut termaktub dalam sebuah sistem hukum dan sama bagi semua warga. Apabila aturan-aturan ini dilanggar yang bersangkutan harus memperoleh hukuman atau sanksi. Jika ia misalnya merugikan hak milik orang lain maka ia menurut Kitab Hukum Federal Jerman wajib mengganti kerugian yang ditimbulkan. Pengadilan dapat menghukum sikap yang bersalah (pelanggaran) berdasarkan KUHP.
Pada hakikatnya hanya masing-masing individu yang dapat bertanggungjawab. Hanya mereka yang memikul akibat dari perbuatan mereka. Oleh karenanya, istilah tanggungjawab pribadi atau tanggungjawab sendiri sebenarnya “mubadzir”. Suatu masyarakat yang tidak mengakui bahwa setiap individu mempunyai nilainya sendiri yang berhak diikutinya tidak mampu menghargai martabat individu tersebut dan tidak mampu mengenali hakikat kebebasan. Friedrich August von Hayek.
Semua bentuk dari apa yang disebut dengan tanggungjawab kolektif mengacu pada tanggungjawab individu. Istilah tanggungjawab bersama umumnya hanyalah digunakan untuk menutup-nutupi tanggungjawab itu sendiri. Dalam tanggungjawab politis sebuah masalah jelas bagi setiap pendelegasian kewenangan (tanggungjawab). Pihak yang disebut penanggungjawab tidak menanggung secara penuh akibat dari keputusan mereka. Risiko mereka yang paling besar adalah dibatalkan pemilihannya atau pensiun dini. Sementara sisanya harus ditanggung si pembayar pajak. Karena itulah para penganut liberal menekankan pada subsidiaritas, pada keputusan-keputusan yang sedapat mungkin ditentukan di kalangan rakyat yang notabene harus menanggung akibat dari keputusan tersebut. Kebebasan dan tanggungjawab tidak dapat dipisahkan.
Orang yang dapat bertanggungjawab terhadap tindakannya dan mempertanggungjawabkan perbuatannya hanyalah orang yang mengambil keputusan dan bertindak tanpa tekanan dari pihak manapun atau secara bebas.
Liberalisme menghendaki satu bentuk kehidupan bersama yang memungkinkan manusianya untuk membuat keputusan sendiri tentang hidup mereka. Karena itu bagi suatu masyarakat liberal hal yang mendasar adalah bahwa setiap individu harus mengambilalih tanggungjawab. Ini merupakan kebalikan dari konsep sosialis yang mendelegasikan tanggungjawab dalam ukuran seperlunya kepada masyarakat atau negara. Kebebasan berarti tanggungjawab; Itulah sebabnya mengapa kebanyakan manusia takut terhadapnya. (George Bernard Shaw)
            Persaingan yang merupakan unsur pembentuk setiap masyarakat bebas baru mungkin terjadi jika ada tanggungjawab individu. Seorang manusia baru akan dapat menerapkan seluruh pengetahuan dan energinya dalam bentuk tindakan yang efektif dan berguna jika ia sendiri harus menanggung akibat dari perbuatannya, baik itu berupa keuntungan maupun kerugian.  Justru di sinilah gagalnya ekonomi terpimpin dan masyarakat sosialis: secara resmi memang semua bertanggungjawab untuk segala sesuatunya, tapi faktanya tak seorangpun bertanggungjawab. Akibatnya masih kita alami sampai sekarang.
Dalam diskusi politik sering disebut-sebut istilah tanggungjawab sosial. Istilah ini dianggap sebagai bentuk khusus, lebih tinggi dari tanggungjawab secara umum. Namun berbeda dari penggunaan bahasa yang ada, tanggungjawab sosial dan solidaritas muncul dari tanggungjawab pribadi dan sekaligus menuntut kebebasan dan persaingan dalam ukuran yang tinggi. Untuk mengimbangi “tanggungjawab sosial” tersebut pemerintah membuat sejumlah sistem, mulai dari Lembaga Federal untuk Pekerjaan sampai asuransi dana pensiun yang dibiayai dengan uang pajak atau sumbangan-sumbangan paksaan. Institusi yang terkait ditentukan dengan keanggotaan paksaan. Karena itu institusi-institusi tersebut tidak mempunyai kualitas moral organisasi yang bersifat sukarela.  Orang yang terlibat dalam organisasi-organisasi seperti ini adalah mereka yang melaksanakan tanggungjawab pribadi untuk diri sendiri dan orang lain. Semboyan umum semua birokrat adalah perlindungan sebagai ganti tanggung jawab. (Carl Horber). Pada akhirnya tidak ada yang bertanggungjawab atas dampak-dampak dari penagaruh politik terhadap keamanan sosial. Akibatnya ditanggung oleh pembayar pajak dan penerima jasa.
Selain pembahasan tanggung jawab diatas, ada pula pembahasan tanggung jawab lebih mendalam, diantaranya adalah:
Tanggung jawab terhadap orang lain:
Setiap manusia mempunyai kemungkinan dan di banyak situasi juga kewajiban moral atau hukum untuk bertanggungjawab terhadap orang lain. Secara tradisional keluarga adalah tempat dimana manusia saling memberikan tanggungjawabnya. Si orang tua bertanggungjawab kepada anaknya, anggota keluarga saling tanggungjawab. Anggota keluarga saling membantu dalam keadaan susah, saling mengurus di usia tua dan dalam keadaan sakit.  Ini khususnya menyangkut manusia yang karena berbagai alasan tidak mampu atau tidak mampu lagi bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri secara penuh. Ini terlepas dari apakah kehidupan itu berbentuk perkawinan atau tidak. Tanggungjawab terhadap orang lain seperti ini tentu saja dapat diterapkan di luar lingkungan keluarga. Bentuknya bisa beranekaragam.  Yang penting adalah prinsip sukarela – pada kedua belah pihak.  Pertanggungjawaban manusia terhadap dirinya sendiri tidak boleh digantikan dengan perwalian.
Tanggung jawab dan risiko:
Dalam masyarakat modern orang berhadapan dengan berbagai risiko. Risiko itu bisa membuat orang sakit dan membutuhkan penanganan medis yang sangat mahal. Atau membuat orang kehilangan pekerjaan dan bahkan harta bendanya. Ada berbagai cara untuk mengamankan dari risiko tersebut, misalnya dengan asuransi. Untuk itu tidak diperlukan organisasi pemerintah, melainkan hanya tindakan setiap individu yang penuh tanggung jawab dan bijaksana.
Sebagai komunikator, tanggung jawab etis kita dapat tumbuh dari sebuah status atau posisi yang telah di peroleh atau telah di sepakati, lewat komitmen (janji, sumpah, persetujuan) yang telah kita buat atau konsekuensi (efek, dampak) komunikasi kita dengan orang lain. Tanggung jawab mencakup unsur pemenuhan tugas dan kewajiban, dapat dipertanggung jawabkan pada setiap individu dan kelompok lain, juga dapat dipertanggung jawabkan ketika dinilai menurut standart yang disepakati, dan dapat di pertanggung jawabkan menurut hati nurani kita sendiri. Untuk penerima dan pengirim adalah penggunaan penilaian yang di pikirkan secara matang dan mendalam. Komunikator yang bertanggung jawab akan menganalisis setiap tuntutan dengan hati-hati, memperhitungkan setiap akibat dan secara sadar menimbang nilai-nilai yang relevan. Artinya seorang komunikator yang bertanggung jawab adalah komunikator yang dapat menjawab.
Williams Rawins mengungkapkan bahwa “ semua pihak harus bertanggung jawab atas perilaku komunikasi “. Dalam sebuah lingkungan yang menjunjung tinggi kebebasan, kata-kata seperti “dapat di pertanggung jawabkan dan tanggung jawab” sering tidak di mengerti atau tidak di dengarkan, kata-kata itu semakin menjadi “kata kunci” Peraturan media, khususnya siaran radio belakangan ini telah menurun, sehingga kebutuhan akan tanggung jawab etis dan moral dalam sebuah media menjadi semakin penting. Dalam Disenchantment : Meaning And Morality In The Media, misalnya John Phelan menyelidiki titik potong dan interaksi antara isu-isu yang berakar pada etika dan pada kebebasan komunikasi. Sementara ada beberapa tempat dalam kebudayaan Amerika bahwa hukum dan peraturan berfungsi untuk memperkuat standart-standart etis berkomunikasi, Phelan menguji bagaimana Federal Communications Commission (FCC) dan Federal Trade Commission (FTA) sering menjalankan fungsi tersebut. Menurut Phelan, filsafat kepentingan umum melekat dalam nilia-nilai keadilan sosial, kesetaraan dan pemerintahan demokratis dan nilai-nilai media massa tentang keanekaragaman, regionalism, akses dan mutu yang tinggi.
Berbeda dengan apa yang ada di Indonesia, sudah menjadi pengakuan umum bahwa setelah reformasi 1998 bergulir, pers Indonesia mengalami titik balik kebebasan yang cukup signifikan. Perkembangan kuantitas dan kualitas pers, baik media cetak maupun media elektronik, bertumbuh secara drastis. Munculnya gejala surat kabar dan tabloid baru atau radio dan televisi baru merupakan hal yang biasa. Kemudahan untuk mendapatkan ijin penerbitan atau hak siar pada udara Indonesia telah menjadi paradigma yang patut disambut gembira. Dapat dikatakan, masyarakat Indonesia akhirnya punya berbagai macam alternatif saluran komunikasi sosial yang tentunya juga sangat mudah diakses. Tapi masalahnya, di balik kebebasan dan perkembangan pers Indonesia yang bersifat konstruktif tetap dirasakan dampak buruk yang menyertainya. Pers sebagai alat komunikasi massa mempunyai kekuatan pengaruh baik atau membangun dan pengaruh buruk yang cenderung menggerus tatanan sosial moral masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu, diperlukan kesadaran tanggung jawab sosial pers untuk mengantisipasi dampak negatif yang diakibatkan oleh perkembangan pesat pers di Indonesia.
Setidaknya, dua argumentasi pokok di atas menjadi latar belakang refleksi etis tulisan Kasdin Sihotang yang berjudul “Tanggung jawab moral Pers” (dimuat pada Suara Pembaruan, tgl 23 Februari 2002).
Refleksi etis yang ditawarkan oleh tulisan Kasdin terhadap keberadaan pers pasca reformasi Indonesia 1998 didasari juga pada tiga asumsi dasar, yaitu etika deontologis Kant yang menekankan prinsip nilai moral yang “harus” dilakukan oleh insan pers sebagai etos kebenaran, asumsi objektivitas moral dan eksistensi pers di Indonesia dan pada akhirnya asumsi prinsip kemandirian pers dalam konteks ekonomi, sosial dan politik sedemikian rupa pers diharapkan menjadi pers yang independen dan merdeka dalam arti yang positif.
Dua argumentasi pokok dan tiga asumsi dasar tulisan terdahulu telah menjadi landasan bagaimana kita membangun dan memahami keberadaan serta iklim kebebasan pers di Indonesia. Muara dari argumentasi dan beberapa asumsi di atas adalah konstruksi paradigma etis yang perlu dipertimbangkan oleh para pelaku media massa Indonesia. Tapi masalahnya, apakah memang pers Indonesia dipahami dalam konteks simplifikasi etis semacam itu, apabila tidak bisa dikatakan bahwa atmosfer tulisan tersebut berawal dengan pesimisme terhadap kebebasan media massa di Indonesia maka perlu dibangun sebuah etos tanggung jawab sosial pers ? Apakah memang benar realitas pers adalah realitas yang bisa benar-benar mandiri dan bebas dari seluruh kepentingan yang berada di belakangnya ? Apakah memang ada sebuah etos moralitas dan tanggung jawab etis yang “deontologis” dan bersifat objektif dalam kehidupan pers di Indonesia pada khususnya maupun media global pada umumnya ? Seharusnya, pertanyaan kritis tersebut yang perlu dijawab secara tuntas sebelum kita masuk dalam argumentasi pokok dan pengembangan paradigma moral pers secara utuh.
Gagasan etis terhadap pers yang dikemukakan oleh Franz Magnis-Suseno dalam Kuasa dan Moral (1986) dan Jurgen Habermas dalam Communicative Ethics Controversy (1990) menyiratkan gagasan etis pers dalam tingkat mikro. Dalam arti, bahwa pers dilihat dari bagian kecil dari proses pengembangan etika masyarakat pada umumnya. Padahal kalau kita mau melihat secara lebih jauh, pers modern sekarang telah menjadi entitas yang besar bahkan mampu menjadi pilar ke empat dalam kehidupan demokrasi sosial. Jadi, saya menganggap tidak cukup memadai dan tidak sepakat apabila pers hanya dipahami dalam proses simplifikasi masalah sosial masyarakat yang ada. Ini berarti bahwa pada titik tertentu, refleksi etis yang dikemukakan oleh Magnis, Habermas atau Kasdin kurang menyentuh realitas pers yang berkembang sampai sekarang.
Saat ini, pers telah menjadi realitas yang begitu kompleks berikut dengan dampak-dampak yang menyertainya. Realitas pers yang begitu kompleks justru berkembang ketika media telah mengalami revolusi komunikasi yang drastis. Perkembangan internet, telepon, fax, sistem industri dan kepemilikan media atau pers secara vertikal-horizontal, surat kabar elektronik, sistem kepenyiaran langsung melalui satelit, new interactive multi media - yang menggabungkan kemampuan sifat yang visual-auditif-interaktif dalam satu paket media telah mengubah pemahaman kita terhadap definisi tentang pers itu sendiri. Ketika pers, termasuk di dalamnya pers Indonesia, mengalami perkembangan identitas yang semakin kompleks, maka diperlukan juga paradigma etis yang lebih harus bersifat komprehensif dan baru dalam memaknai tanggung jawab moral pers, baik secara lokal maupun global.
Pertama, paradigma yang harus dikembangkan adalah paradigma pemahaman bahwa esensi dan eksistensi pers harus dilihat sebagai totalitas. Artinya, pers pertama-tama harus diletakkan dalam totalitas sosial yang lebih luas, sebagai bagian integral dari proses-proses ekonomi, sosial dan politik yang berlangsung dalam masyarakat. Perspektif ekonomi politik pers setidaknya menjadi perspektif yang menyatakan bahwa terjadi relasi tidak terpisahkan antara para pelaku pers, pemerintah dan pasar. Ini berarti bahwa pengembangan etika atau moralitas pers harus juga didasarkan pada asumsi relasi tak terpisahkan antara interaksi sosial-ekonomi insan pers, situasi politik sosial pemerintahan yang sedang berlangsung dan kebutuhan pasar atas hak informasi yang benar. Etika harus hadir dalam konteks ideologi-sosial-ekonomi yang lebih konkret.
Adanya suatu jaringan TV Nasional yang hanya dimiliki oleh sekelompok elit saja menyebabkan adanya Patologi atau sebuah penyakit social, dimana kandungan media adalah komoditas yang dijual dipasar dan informasi yang disebarluaskan dapat dikendalikan oleh apa yang akan di tanggung sebuah pasar. Dalam kondisi seperti ini akan membawa implikasi mekanisme pasar yang tidak ambil resiko, yaitu adanya suatu bentuk mekanisme wacana publik sehingga yang lainya akan terpinggirkan dimana yang sesungguhnya hal ini juga dipicu karena adanya pengaruh terhadap perekonomian oleh para pemilik jaringan TV Nasional tunggal tersebut. Sebuah ekonomi dipahami sebagai ilmu atau kajian yang menelaah kekuatan atau kemampuan yang mengalokasikan sumber untuk memenuhi kebutuhan yang dipersaingkan, termasuk dalam perkembangan media massa yang juga turut  dipengaruhi oleh masalah produksi dan distribusi massal.
Ada beberapa tipe masyarakat ekonomi yang membentuk perkembangan media massa, yaitu:
1.      Masyarakat pertanian di mana produksi dan distribusi ditandai dengan dinamika produksi dan distribusi yang bersifat lokal dan kedaerahan.
2.       Masyarakat industri yang ditandai dengan standarisasi dan pengolahan produksi dan distribusi massal.
3.       Masyarakat informasi yang ditandai internasionalisasi dan komersialisasi
            informasi yang ada dalam masyarakat.
            Tentu saja, ruang lingkup dan ukuran pasar pun berkembang dari yang bersifat lokal kedaerahan, regionalisasi dan nasional sampai ke level internasional. Perkembangan media massa berkembang melalui pembangunan skala ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan keuntungan dari pasar yang lebih luas. Pada dasarnya media massa mengikuti model ekonomi industrial yang ditandai dengan akselerasi banyaknya media dan hasil-hasilnya untuk mendapatkan biaya yang murah untuk produksinya. Ketika produksi semakin besar diharapkan juga perkembangan pembeli dan cakupan daerah yang dapat membelinya. Dalam perkembangan selanjutnya, media massa juga tidak dapat dipisahkan dengan hukum persaingan karena industri media massa yang didirikan tidak lagi sebagai pemain tunggal. Persaingan tidak dilihat sebagai hal yang negatif tapi harus dipahami sebagai hal yang membangun baik dari segi produksi dan distribusi media massa itu sendiri. Dalam iklim ekonomi, tidak menutup kemungkinan terjadinya monopoli.
             Atmosfer monopoli ini bisa terjadi karena sistem persaingan yang keras sehingga diperlukan pemain ekonomi yang kuat.
Monopoli media bisa berbentuk dalam beberapa ragam:
a.       Duopoli, sebuah sistem ekonomi yang juga bisa berlaku dalam media ketika hanya terdapat dua pemain utama yang menguasai
dan mendominasi 50%  pasar.
b.      Oligopoli, sebuah sistem ekonomi yang juga bisa berlaku dalam industri media ketika terdapat beberapa industri yang menguasai dan mendominasi 30% pasar.
c.        Monopoli, sebuah sistem ekonomi yang memperlihatkan satu pemain industri yang mendominasi dan menguasai hampir 90% pasar.
Hal ini juga bisa mengakibatkan sistem permainan ekonomi dalam media massa. Sistem kepemilikan merupakan sesuatu yang wajar terjadi dalam kehidupan ekonomi media. Hanya memang ada masalah yang berkaitan dengan atmosfer ekonomi ini, yaitu masalah kepemilikan media massa yang justru melemahkan peran dan fungsi sosial media massa, dalam hal ini melemahkan proses diversitas informasi yang diperlukan oleh masyarakat.
Tetapi yang jelas dari sekian motif ekonomi yang muncul, yang paling pokok adalah motif keuntungan. Faktor keuntungan adalah faktor yang mengoperasionalisasikan industri media sampai ke organisasi-organisasinya. Dalam sebuah industri, termasuk di dalamnya industri media massa, faktor keuntungan adalah faktor penting. Faktor keuntungan ini yang sering bertabrakan dengan masalah kepentingan publik yang juga diemban oleh media massa. Sedangkan Keuntungan bagi publik mungkin tidak sepenuhnya ada karena sebagian besar pemilik jaringan TV Nasional tunggal tersebut rata-rata hanya ingin merauk keutungan sebesar-besarnya tanpa memperhatikan publik yang sesungguhnya menginginkan lebih dari itu. Untuk “menggenjot” keuntungan tersebut, media massa mempunyai banyak strategi dari hanya pemotongan pegawai sampai pemanfaatan iklan secara besar-besaran pada setiap produk media massa yang dihasilkan.
            Namun ternyata tidak semua media massa yang hanya  berniat untuk mencari keuntungan saja, ada beberapa pelaku media (PBS, misalnya) yang tetap mengandalkan subsidi publik untuk kelangsungan hidupnya.
Kedua, berhubungan dengan point pertama, struktur etika atau tanggung jawab moral pers tidak bisa berdiri secara objektif dan ontologistik tanpa konteks struktural. Pers diposisikan dalam relasinya dengan publik, kekuatan kapital dan struktur kekuasaan politik. Dalam teori demokrasi, media memberikan sumbangan saluran komunikasi konkret dalam usaha diseminasi informasi yang benar dan pengembangan ranah publik (civil society). Diseminasi informasi yang benar dan aspiratif dan pengembangan ranah publik tentu saja akan berkaitan dengan soal kebenaran yang dibawa dan diperjuangkan oleh pers. Dengan tidak menafikkan diskursus makna esensi kebenaran, tentu saja dalam konteks demokratisasi, makna kebenaran harus dilihat sebagai proses pengembangan konsensus sosial kebenaran subjektif.
Ketiga, soal krusial dalam pengembangan tanggung jawab sosial pers bukan semata diletakkan pada soal tanggung jawab sosial sebagai tugas utama insan pers tapi bahwa tanggung jawab sosial harus diletakkan dalam konteks yang lebih luas. Konteks etika pers yang lebih luas terlihat dan terwujud dalam usaha regulasi media itu sendiri. Regulasi pers tidak semata-mata dilihat sebagai “ tali kekang ” yang membatasi kebebasan pers. Tapi justru regulasi pers ini harus dipahami sebagai wujud tanggung jawab otonom insan pers, pemerintah, pemegang kapital dan konsumen pers.
Kita akan sulit menemukan pers yang sedemikian bebas yang sedemikian otonom dari segala kepentingan baik kepentingan publik maupun kepentingan negara. Tapi permasalahan
dalam regulasi pers adalah bagaimana kita bisa membentuk aturan main yang menjaga fairness, nilai prinsip keadilan yang jelas patokan normanya, menjamin prinsip harmoni kepentingan yang saling tarik-menarik dalam proses produksi pers. Regulasi etika pers tidak sekedar soal dan masalah mikro pers, seperti soal objektivitas berita (hal ini menyangkut soal kebenaran objektif, produk media meskipun telah didasarkan oleh fakta tetap saja akan menampilkan fakta tersebut dalam realitas simbolik yang tidak identik dengan realitas objektif; itu saja kalau realitas objektif itu ada) - bukankah objektivitas itu hanya sekedar soal kesepakatan sosial saja? Juga dalam hal regulasi etik pers tidak sekedar membahas soal imparsialitas produk media, sistem kepemilikan media massa secara horizontal-vertikal, sistem nilai anonim yang ditimbulkan oleh teknologi informasi yang canggih. Perkara etika dan regulasi pers terutama pers Indonesia tidak berhenti pada soal content dari sebuah media atau soal bahasa yang dipergunakan dalam sebuah sistem media massa. Content dan bahasa lebih merupakan proses interpretasi yang sudah terbangun dalam sistem sosial masyarakat. Justru pada suatu titik tertentu, media atau pers mampu membangun paradigma interpretasi yang akhirnya diyakini oleh sistem sosial masyarakat.
Sesuatu yang dapat diyakini oleh sistem social masyarakat yang dimaksud disini, salah satunya adalah sesuatu yang menetukan Agenda untuk media, dimana hal tersebut terbagi menjadi tiga. Yang pertama adalah derajat seberapa media merefleksikan agenda public, disebut sebagai representasi. Dalam agenda representasi, public mempengaruhi media. Kedua adalah dipertahankanya agenda yang sama oleh publik disemua waktu yang disebut persintence. Dalam agenda publik persinten, media mungkin memiliki pengaruh yang kecil. Ketiga, terjadi ketika agenda media mempengaruhi agenda publik, disebut sebagai persuasi. Pengaruh jenis yang ketiga dimana media mempengaruhi publik adalah tepat seperti yang dipredikisi oleh teori Agenda setting.
            Teori Agenda Setting dimulai dengan suatu asumsi bahwa media massa menyaring berita, artikel, atau tulisan yang akan disiarkannya. Secara selektif, “gate keepers ” seperti penyunting, redaksi, bahkan wartawan sendiri menentukan  mana yang pantas diberitakan dan mana yang harus disembunyikan. Setiap kejadian atau isu diberi bobot  tertentu dengan panjang penyajian (ruang dalam surat kabar, waktu pada televisi dan radio) dan cara penonjolan (ukuran judul, letak pada suratkabar, frekuensi penayangan, posisi dalam suratkabar, posisi dalam jam tayang). 
            Misalnya berita tebunuhnya gembong teroris Dr. Azahari yang terus menerus disiarkan dalam waktu rata-rata 30 menit dalam televisi dan disajikan pada surat kabar dengan mengisi hampir setengah dari Pemberitaan Media Massa  dan terletak pada halaman muka, berarti Dr. Azahari sedang ditonjolkan sebagai gembong teroris yang terbunuh atau pencapaian prestasi jajaran polisi membunuh teroris nomor  wahid di Indonesia itu. Atau para bintang AFI, KDI, Indonesia Idol yang mendapat tayangan lebih, sehingga dari orang yang tak dikenal, karena terus diberitakan atau disiarkan hanya beberapa bulan menjelma menjadi bintang dan sangat terkenal oleh pemirsa televisi Indonesia. Karena pembaca, pemirsa, dan pendengar memperoleh kebanyakan informasi melalui media massa, maka agenda media tentu berkaitan dengan agenda masyarakat (public agenda). Agenda masyarakat diketahui dengan menanyakan kepada anggota-anggota masyarakat apa yang mereka pikirkan, apa yang mereka bicarakan dengan orang lain, atau apa yang mereka anggap sebagai masalah yang tengah menarik perhatian masyarakat (Community Salience). Teori Agenda Setting pertama dikemukakan oleh Walter Lippman (1965) pada konsep “The World Outside and the Picture in our head”, penelitian empiris teori ini dilakukan  Mc Combs dan Shaw ketika mereka meniliti pemilihan presiden tahun 1972. Mereka mengatakan antara lain walaupun para ilmuwan yang meneliti perilaku manusia belum menemukan kekuatan media seperti yang disinyalir oleh pandangan masyarakat yang konvensional, belakangan ini mereka menemukan cukup bukti bahwa para penyunting dan penyiar memainkan peranan yang penting dalam membentuk realitas sosial kita, ketika mereka melaksanakan tugas keseharian mereka dalam menonjolkan berita. Khalayak belajar tentang isu-isu masyarakat dan hal-hal lain melalui media, isu atau topik dari penegasan yang diberikan oleh media massa. Misalnya, dalam merenungkan apa yang diucapkan kandidat selama kampanye, media massa tampaknya menentukan isu-isu yang penting. Dengan kata lain, media menetukan “acara” (agenda) kampanye.
            Dari penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa penayangan infotainment dalam media massa merupakan sesuatu yang sudah diagendakan  dimana berita-berita yang ditayangkan merupakan sebuah berita yang memang layak untuk dikonsumsi, sehingga khalayak bisa percaya terhadap apa yang mereka nikmati dalam tayangan infotainment, namun hal ini terlepas jika sebuah pemilik sebuah pers atau media swasta benar-benar bersih dalam proses penukaran data yang ia sampaikan dari pihaknya kepada khalayak masyarakat untuk dikonsumsi dan dimikmati tanpa adanya unsure politik dalam media oleh pemilik tunggal sebuah pers atau media tersebut, karena sesungguhnya ketika kita berbicara tentang media massa, maka kita membicarakan tentang aspek komunikasi Massa. Komunikasi massa sendiri memiliki beberapa  definisi yaitu
·         pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang (Bittner, 1980)
·         Komunikasi massa adalah produksi dan distribusi yang berlandaskan teknologi dan lembaga dari arus pesan  yang kontinyu serta paling luas dimiliki orang dalam masyarakat industri Gerbner (1967)
·         Jenis komunikasi yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen, dan anonim melalui media cetak atau elektronik sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat.Jalaludin Rahmat (2000)
Dari beberapa definisi diatas dapat kita simpulkan bahwa komunikasi massa adalah pesan yang terjadi disuatu waktu dalam jangkauan yang tidak terbatas sertaberlangsung secara terus menerus. Jadi dapat dibayngkan bahwa efek dari komunikasi massa ini sangat lah luar biasa terhadap keberadaan public.
Selain itu  menurut Wrigth terdapat beberapa activitas pokok dari komunikasi massa, yaitu:
1.      Pengawasan lingkungan
2.      Kolerasi
3.      Transmisi budaya
4.      Hiburan
Jika ditarik kembali pada salah satu materi kuliah teknik mencari dan menulis berita (TMMB) yang diberikan oleh Ibu Dessy S. , Bahwa terdapat 5 (lima) fungsi media massa, abtaralain :
1.      To Inform (menginformasikan)
2.      To educate(pendidikan)
3.      To social control(mengkontrol)
4.      To entertaint(hiburan)
5.      To connected(menghubungkan)
Dari bebeberapa fungsi tersebut seharusnya media massa adalah alat yang paling efectiv untuk menjadikan kehidupan ini menjadi lebih teratur dan lebih baik,akan tetapi terdapat beberapa anomaly media massa dimana apa yang di tanyangkan dalam media massa saat ini agaknya berbahaya bagi keberlangsungan kehidupan manusia.
            Salah satu teori media, yakni teori konstruksionis, berita sebagai produk media memang tidak lebih sebagai konstruksi dari “fakta” di lapangan, bukan refleksi. Artinya, berita yang oleh khalayak baca setiap harinya bukanlah apa yang terjadi sungguh-sungguh di luar sana. Konstruksi mengandung arti bahwa bagaimana isi sebuah produk berita sangat bergantung dari bagaimana fakta tersebut dilihat dan dibingkai oleh pewarta atau institusi media. Nah, bagaimana institusi media bekerja dalam mengkonstruksikan berita tentu saja dipengaruhi oleh serangkaian faktor baik internal maupun eksternal.
            Dalam sebuah contoh kecil, setiap orang tentu punya pandangan yang berbeda tentang sebuah peristiwa. Misalnya, saya melihat bahwa pembalakan hutan adalah sebuah tindakan melanggar hukum. Opini saya tersebut hadir karena sejak kecil saya hidup di perkampungan pinggir hutan, sehingga saya berinteraksi dengan realitas sosial bahwa hutan adalah sebuah kekayaan alam yang patut dilindungi. Bagi orang lain, mungkin pembalakan hutan adalah sebuah resiko yang wajar karena merupakan salah satu sumber bagi pemasukan negara. Dalam mekanisme konstruksi berita, proses yang terjadi lebih kompleks dari contoh tersebut. Karena setiap orang (dalam institusi media) sepanjang hidupnya berinteraksi dengan kondisi sosial dan kemudian mempunyai nilai-nilai yang dia pegang. Nilai-nilai tersebut akan berinteraksi dengan kondisi sosial, politik dan ekonomi dimana media tersebut beroperasi. Sekumpulan nilai tersebut lantas termanifestasikan ke dalam poltik redaksional media. Bisa dibayangkan seberapa banyak interaksi yang terjadi dalam sekali proses produksi berita. Proses interaksi dalam proses konstruksi realitas inilah yang memungkinkan adanya reduksi serangkaian fakta hingga akhirnya menjadi “ fakta ” yang hadir dalam setiap tayanagan infotainment yang kita nikmati sehari-hari. Jadi, pers dan masyarakat tidak bisa dilihat sebagai satu per satu entitas. Tapi dipahami sebagai suatu proses interplay - proses relasi timbal balik dan saling mempengaruhi satu sama lain. Suatu produk pers tidak bisa dipisahkan oleh sistem distribusi dan konsumsi yang berlaku dalam masyarakat, Karena sesuai dengan teori Model Uses and Gratification atau yang juga boleh disebut sebagai model efek moderat sebagai bandingan terhadap model efek terbatas dari Klapper. Seperti pertanyaan tentang apa yang mendorong saya untuk menggunakan media? Mengapa lebih senang acara X dan membenci acara Y?
Saat  saya sedang sendirian dan  kesepian lebih senang mendengarkan musik klasik di radio daripada membaca novel? Apakah acara infotainment media massa berhasil memenuhi kebutuhan saya?.Inilah diantara sekian banyak pertanyaan yang berkenaan dengan uses and gratification. 
            Menurut para pencetusnya, Elihu Katz, Jay G. Blumler, dan Michael Gurevitch, uses and gratification meneliti asal mula  kebutuhan secara psikologis dan sosial, yang menimbulkan harapan tertentu dari media massa atau sumber-sumber lain, yang membawa pada pola terpaan  media yang berlainan (atau keterlibatan pada kegiatan lain), dan menimbulkan pemenuhan kebutuhan dan akibat-akibat lain. 
Asumsi-asumsi dari teori ini menjelaskan bagaimana seseorang menentukan apa yang harus dilihatnya di TV, yaitu  sebagai berikut :
a.       Khalayak dianggap aktif, artinya sebagian penting dari penggunaan media massa diasumsikan mempunyai tujuan.
b.      Dalam proses komunikasi massa banyak inisiatif untuk mengaitkan pemuasan  kebutuhan dengan pemilihan media terletak pada anggota khalayak.
c.       Media massa harus bersaing dengan sumber-sumber lain untuk memuaskan  kebutuhannya. Kebutuhan yang dipenuhi media hanya bagian dari rentangan kebutuhan manusia yang lebih luas. Bagaimana kebutuhan ini terpenuhi melalui konsumsi media amat bergantung kepada perilaku khalayak yang bersangkutan
d.      Banyak tujuan pemilih media massa disimpulkan dari data yang diberikan anggota khalayak: artinya, orang dianggap cukup mengerti untuk menempatkan kepentingan dan motif pada situasi-situasi tertentu.
e.       Penilaian tentang arti cultural dari media massa harus ditangguhkan sebelum diteliti lebih dahulu orientasi khalayak.  Model used and gratification memandang individu sebagai mahluk suprarasional dang sangat efektif. Ini memang mengundang kritik. Tetapi yang jelas, dalam model ini perhatian bergeser dari proses pengiriman pesan ke proses penerimaan pesan. 
Jumlah kebutuhan yang dapat dipenuhi media belum disepakati, sebagaimana para psikolog mempunyai klasifikasi motif yang bermacam-macam. Sigmund Freud menyebut dua macam motif : eros (hasrat beri cinta) dan thanatos (hasrat merusak). Henry A. Murray(1968) menyebutkan  28 macam kebutuhan psikogenis yang pokok. Ericson(1963) menyebutkan delapan kebutuhan psikologis. Abraham Maslow (1970) mengusulkan lima kelompok kebutuhan yang disusunnya dalam tangga hierarkis dari kebutuhan fisiologis sampai kebutuhan pemenuhan diri. Sedangkan berdasarkan berbagai “aliran” dalam psikologi motivasional. William J. Mc Guire menyebutkan 16 motif yang dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu motif kognitif(berhubungan dengan pengetahuan) dan motif Afektif (berkaitan dengan “perasaan”). Pendekatan uses and gratification di atas mempersoalkan  apa yang dilakukan orang pada media, yakni menggunakan media untuk  pemuasan kebutuhannya. Umumnya  kita lebih tertarik bukan kepada apa yang kita lakukan pada media, tetapi kepada apa yang dilakukan media pada kita.
            Dari penjelasan dan pendekatan teori diatas maka dapat disimpulkan bahwa seseorang dalam menetukan acara apa yang harus dilihat di sebuah TV itu berdasarkan pada kebutuhan seseorang tersebut pada saat itu, dan ketika seseorang memilih infotainment sebagai tayangan favoritnya maka itu berarti tayangan infotainment adalah sebuah tayangan yang saat itu ia butuhkan, dan ketika ia menjadi seorang pecandu terhadap tayangan infotainment, itu berarti ia termasuk dalam golongan  seorang hard viewer. Banyak hal yang menyebabkan seseorang menjadi seorang hard viewer, salah satunya adalah seperti yang diasumsikan dalam teori Teori Persamaan/ The media equation theory. Dimana Teori Persamaan Media adalah sebuah teori yag dikemukakan oleh Byron Reeves dan Clifford Nass, pada tahun 1996. Teori ini menjelaskan dan meramalkan mengapa orang secara tidak sadar atau secara otomatis dapat merespons terhadap adanya media komunikasi layaknya kepada manusia. Selain itu, dalam teori ini juga melihat adanya proses komunikasi interpersonal antara individu dengan media yang dihadapinya. Dari asumsi teori tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa didalam teori ini dijelaskan tentang adanya media yang diibaratkan sebagai manusia dengan memperhatikan bahwa media juga bisa diajak bicara, karena dalam teori ini juga dijelaskan tentang proses seorang individu merasa menjadi bagian dari tayangan media tersebut. Dan ketika seseorang sudah merasakan bahwa tayangan infotainment adalah suatu tayangan yang mampu membuatnya merasa nyaman dan merasa bisa berkomunikasi secara intim, maka hal ini merupakan suatu fenomena terjadinya seseorang dapat menjadi seorang hard viewer.
            Paradigma etika baru dalam regulasi pers yang dipahami menyangkut proses saling membentuk rasionalitas yang lebih konkret dan situasional. Lebih signifikan dapat dikatakan bahwa paradigma baru tentang moralitas pers yang tertuang dalam regulasi pers adalah sejauh mana pers semakin memposisikan diri sebagai realitas yang berfungsi sosial utuh. Pers harus mampu menjadi media efektif, dewasa dan rasional proses komunikasi sosial antar warga atau antara warga dengan negara. Proses pemaknaan kebenaran dan pembenaran dalam masyarakat diletakkan atas dasar dialog moral yang berkembang. Sementara itu, regulasi etik pers juga harus memampukan pers sebagai pendorong terciptanya pers lokal, sebuah ranah publik yang bisa menjadi alternatif hak akses atas informasi yang seimbang, rasional dan konstruktif. Tentu soal nilai keseimbangan, rasionalitas dan proses konstruktivisme merupakan diskursus yang dinamis. Sementara tidak menafikan nilai etis universal, tapi tetap saja universalitas etika dibangun dari bingkai-bingkai subjektivisme yang menjadi konsensus sosial. Hal ini yang menjadi tantangan baru dari pers modern di mana sejauh mana pers mampu dan mau semakin dituntut untuk membuka celah-celah kebenaran dan pembenaran yang dibentuk secara sosial.
Diskursus paradigma tanggung jawab sosial pers belum selesai. Teknologi pers masih berkembang dan hal itu menuntut kita untuk menempatkan etika bukan sebagai dunia yang jauh dari realitas yang sebenarnya.
Kesimpulan dari analisis yang saya lakukan terhadap jurnal ini adalah, bahwa tulisan ini ingin memberikan ide bahwa paradigma etik tidak sederhana, justru karena realitas pers semakin kompleks. Proses penyederhanaan etika pers justru akan mereduksi peran dan manfaat pers bagi perkembangan budaya. Paradigma baru etika pers menyatakan bahwa etika adalah tanggung jawab bersama. Kewajiban insan pers adalah membentuk dan menciptakan pers yang bertanggung jawab terhadap proses dinamisasi kemanusiaan, sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan akibat tayanagan-tayangan yang dirasa kurang memenuhi sebagaimana fungsi dari media massa itu sendiri, sehingga pada akhirnya akan berakibat pada kekerasan media, dimana kekerasan media yang dimaksud disini adalah, sebagaimana penjelasan dibawah ini.
Definisi Kekerasan:
Sebelum memasuki pembahasan tentang kekerasan media,hendaknya kita harus mengetahui apa definisi kekerasan itu sendiri.Apa itu kekerasan? Dan, mengapa kekerasan begitu sulit untuk dilenyapkan di dalam corak kehidupan media kita, ataupun di dalam realitas sehari-hari kehidupan kita? Sebagai definisi awal yang sederhana, kita bisa pertama-tama melihat kekerasan sebagai kekuatan untuk memaksa. Di dalam paksaan, kita menemukan unsur dominasi. Dominasi itu berada di tataran yang kasat mata, sampai yang tidak kasat mata. Bentuk-bentuk dominasi bisa ditelusuri mulai dari dominasi fisik, dominasi verbal, moral, dan psikologis. Dominasi tersebut berdampak negatif pada manusia, karena secara langsung bisa menciptakan luka fisik dan psikologis. Secara kasat mata, dominasi tersebut dapat dilihat di dalam penggunaan kekuatan bersenjata, manipulasi politik melalui fitnah, pemberitaan yang tidak berimbang tentang suatu peristiwa, pernyataan-pertanyaan yang mendiskreditkan pihak tertentu, dan penghinaan eksplisit yang secara jelas melukai hati orang yang mendengarnya.
Jadi, kekerasan adalah semua tindakan yang bisa merusak dasar kehidupan seseorang. Kerusakan tersebut bisa fatal, atau sekedar meninggalkan goresan. Di dalam media kita, kekerasan telah menjadi sesuatu yang biasa, yang banal. Kebiasaan tersebut muncul, karena ketika kita menyaksikan adegan kekerasan, ada perasaan terpesona yang hadir. Memang, kekerasan bisa menghadirkan sensasi-sensasi kenikmatan bagi orang yang menyaksikannya. Hal ini menjelaskan, mengapa tayangan infotainment yang membahas tentang perkelahian artis dimedia dan TV-TV swasta laku keras di pasaran,  penayangan tentang kekerasan dan sejenisnya tetap eksis dan digemari, dan bahkan sampai perkelahian dalam suatu peristiwa yang terjadi dan terekam oleh kamera infotainment di jalanan bisa menjadi tontonan massa hanya dalam sekejap mata, seolah-olah perkelahian itu merupakan hiburan.
Di dalam konteks media elektronik, kekerasan ditampilkan dengan cara yang berlebihan. Di dalamnya, pemirsa sering mengalami kesulitan membedakan, mana yang merupakan realitas, dan yang mana yang merupakan rekayasa teknologi. Atau, yang mana merupakan adegan yang manusiawi, yang mana merupakan adegan “bohongan” guna membuat sensasi semata.  Jadi jelas, salah satu alasan yang paling mendasar mengapa kekerasan begitu sulit dilenyapkan adalah, karena kekerasan itu indah dan menciptakan sensasi-sensasi kenikmatan. Kekerasan menghasilkan rasa muak, sekaligus rasa kagum hampir pada saat yang bersamaan. Perasaan berjumpa dengan kekerasan sekaligus adalah perasaan akan keindahan. Di dalam kekerasan, kenikmatan dan ketakutan berelasi secara dialektis. Yang satu menghadirkan yang lain. Ciri estetik dari kekerasan ini menjadi komoditi yang diperjualbelikan oleh industri media. Semua bentuk kekerasan di dalam film dan iklan menjadi bagian dari komoditi yang menguntungkan, sehingga rating program yang tinggi bisa diperoleh, dan keuntungan finansial datang. Tentu saja, tayangan kekerasan yang menciptakan kenikmatan tersebut sama sekali tidak menghiraukan aspek-aspek lainnya, seperti aspek pendidikan ataupun efek trauma yang diakibatkannya.
Selain membawa kenikmatan, rupanya kekerasan juga memiliki dimensi estetik mendalam yang membuatnya, sampai batas-batas tertentu, dapat dikategorikan sebagai seni. Ciri estetik dari kekerasan membuat penonton yang menyaksikannya merasa terhibur. Ciri estetik ini akan semakin menghibur, ketika pelaku kekerasan mendapatkan kemenangan pada akhirnya. Aspek menghibur dari adegan kekerasan juga semakin meningkatkan efek kenikmatan, ketika kekerasan itu diramu dalam bentuk humor. Humor di dalam adegan kekerasan seolah bisa memangkas ciri destruktif dari kekerasan tersebut. Akibatnya, pemirsa yang menikmati adegan tersebut menjadi tumpul dan hilang kepekaannya terhadap korban kekerasan di dalam adegan, dan mungkin pada akhirnya di dalam realitas sehari-hari. Ketidakpekaan orang terhadap korban penderitaan korban sebenarnya sudah terbentuk, ketika orang menyaksikan film beradegan kekerasan di dalamnya, dan mendapatkan kenikmatan dari melihat adegan tersebut.
Jadi, apa yang tadinya merupakan tayangan dalam sebuah infotainment atau media , kini berpotensi menjadi tindakan di dalam kehidupan nyata. Kekerasan itu menular, berawal dari pandangan, dan berakhir pada tindakan. Keterpesonaan terhadap kekerasan juga seringkali dipergunakan oleh para politikus demi tujuan-tujuan politik praktisnya. Tidak bisa dipungkiri lagi, para politikus sering mempergunakan rasa gentar dan kekaguman para “pemirsa kekerasan” untuk kepentingannya. Aspek estetik yang mengagumkan sekaligus membuat gentar itu berubah menjadi sarana pemecah belah. Tak heran, di dalam diskusi mengenai taktik CIA untuk menjatuhkan para oposisi Amerika dengan kekerasan mengundang decak kagum sekaligus rasa takut hampir pada saat yang sama. Sikap dan pandangan peserta diskusi pun terpecah, ada yang terkagum sekaligus menjadi setuju, dan ada yang menentang CIA.
Dampak kekerasan Media:
Ada tiga hal yang kiranya bisa ditelusuri sebagai akibat langsung dari kekerasan.
1.      tontonan dan perilaku kekerasan secara langsung bisa meningkatkan tingkat perilaku agresif penontonnya.
2.      adegan kekerasan yang diulang terus menerus bisa membuat penontonnya, baik langsung ataupun melalui layar kaca, tidak lagi peka terhadap penderitaan korban yang mengalami kekerasan tersebut.
3.      kekerasan bisa menciptakan gambaran yang dunia yang reduktif, yakni bahwa dunia itu sepenuhnya jahat dan kejam, maka orang harus siap melakukan kekerasan untuk bertahan diri.
Dengan tiga hal ini jelaslah, bahwa kekerasan itu, apapun bentuk dan ciri estetik yang mungkin melatarbelakanginya, memberikan pengaruh yang sangat negatif bagi orang, terutama anak yang sedang dalam masa awal pembentukan karakter. “Meskipun ada ekspresi senang, puas, atau tertarik terhadap kekerasan di dalam media,” demikian tulis Haryatmoko, “sering tanpa disadari anak sebetulnya bergulat dalam suatu perjuangan, kegelisahan, dan ditatapkan pada berbagai pertanyaan.”
 Anak pun berpotensi mengalami stress, kecemasan, dan kegelisahan mendalam. Tenaga yang dimiliki anak akan habis untuk menghadapi berbagai emosi negatif tersebut. Akhirnya, kesempatan untuk bisa mengembangkan bakat-bakat positif di dalam dirinya menjadi terlewatkan. Perkembangannya menjadi terhambat.
Dunia media adalah dunia dengan banyak “dunia”. Setidanya, ada tiga tipe kekerasan yang bisa kita ketahui, yakni :
1.      dunia riil,
2.      dunia fiksi,
3.       dunia virtual.
            Kekerasan pun juga harus disoroti dengan menggunakan tiga kategori ini. Yang pertama adalah kekerasan riil. Yang kedua adalah kekerasan fiktif yang dapat dilihat di dalam film fiksi, kartun, ataupun komik. Dan ketiga adalah kekerasan simulasi yang ada di dalam dunia virtual, misalnya di dalam video games. Semuanya tidak merupakan kekerasan fisik, tetapi lebih merupakan kekerasan yang bersifat simbolik. Dan kekerasan ini bisa berlangsung dengan konstan, karena baik para pelaku maupun korban, keduanya menganggap kekerasan sebagai sesuatu yang wajar. Kekerasan seolah sudah dianggap sebagai sesuatu yang lumrah di dalam bahasa, cara bertindak, dan cara berpikir.
            Jika kita bahas satu persatu apa-apa yang ada dalam ketiga tipe ini kita akan mengetahui apa yang sebenarnya disimpan oleh kekerasan media itu sendiri . Yang pertama adalah apa yang disebut sebagai kekerasan riil. Menurut Haryatmoko, kekerasan riil juga bisa disebut sebagai kekerasan dokumen. Kekerasan ini mengambil bentuk gambar yang dialami oleh pemirsa sebagai fakta kekerasan. Misalnya adalah tayangan tentang pembunuhan, perkelahian, ataupun konflik sosial yang kesemuanya bisa mengundang reaksi emosional yang dalam di dalam diri pemirsa. Kekerasan semacam ini bisa menimbulkan efek-efek yang saling bertolak belakang, yakni bisa mengakibatkan perasaan sedih, menjijikan, ataupun perasaan tertarik dan simpati yang mendalam. Efek dari tayangan dengan pola kekerasan semacam ini juga bisa positif, yakni mengundang pemirsa untuk mulai peduli terhadap penderitaan korban. Tayangan dan gambar yang berbau kekerasan bisa mengajak pemirsa untuk mulai memikirkan kepentingan di luar dirinya.
            Kekerasan dokumen ini, menurut Haryatmoko, dapat menciptakan efek emosional di dalam diri pemirsa. Syaratnya, relasi antara pemirsa dengan gambar yang ditayangkan haruslah sangat tepat, sehingga tidak menimbulkan trauma pada pemirsa yang justru malah menimbulkan sikap antipati. Caranya adalah dengan pemilihan fokus yang tepat. Misalnya, “jeritan seorang demonstran yang terluka dan disandingkan dengan gambar tangan polisi yang berlumuran darah. Pemilihan fokus yang memperlihatkan tangan yang berlumuran darah itu mengundang simpati dan keberpihakan pemirsa kepada demonstran itu.”.  Cara-cara semacam ini bisa menciptakan simpati di dalam hati pemirsa.
            Kekerasan riil ini tidak hanya terjadi dalam bentuk gambar, tetapi juga dalam bentuk tulisan. Di dalam tulisan di media, proses peradilan terhadap tersangka pelaku kejahatan telah dilakukan secara prematur, yakni sebelum proses pengadilan sebenarnya terjadi. Di titik ini, media telah melangkahi wewenangnya sendiri. Media tidak lagi berperan sebagai pelapor kejadian, tetapi sudah menjadi jaksa penuntut yang prematur, yang tidak siap dan tidak punya wewenang. Wartawan seolah berakting menjadi jaksa ataupun polisi. “Atas nama hak akan informasi”, demikian Haryatmoko, “media menggantikan jaksa atau polisi.” Menariknya, kini wawancara media seolah menggantikan interogasi aparat penegak hukum, dan jajak pendapat pemirsa menggantikan putusan hakim.
            Jika sudah sampai pada titik ini, kekerasan media pun memasuki ruang privat. Media menjadi aparat hukum yang prematur, apalagi jika sudah menjurus menjadi fitnah. Ada banyak kasus yang menunjukkan bagaimana tersangka yang sebenarnya tidak bersalah justru menjadi bulan-bulanan media, dan sama sekali tidak mendapatkan rehabilitasi. Yang paling jelas adalah acara infotainment, di mana seringkali privasi seseorang dilanggar atas nama kebebasan informasi. Walaupun harus diakui, ada beberapa orang yang menggunakan cara itu untuk meningkatkan popularitas mereka.
            Tipe kekerasan kedua yang menjadi keprihatinan Haryatmoko adalah kekerasan fiktif. Kekerasan semacam ini bisa dengan mudah ditemukan di dalam tayangan-tayangan televisi. Film action, misalnya Rambo IV, sungguh-sungguh mirip dengan konflik riil. Hal semacam ini bisa menimbulkan trauma dan perilaku agresif bagi orang-orang yang menontonnya. Memang, ada “penipuan” dan rekayasa teknologi di dalam tayangan semacam itu. Akan tetapi, dampaknya terhadap dimensi psikis pemirsa sangatlah besar, bahkan lebih besar daripada pertandingan tinju ataupun karate yang memang mengandung kekerasaan riil. “Fiksi”, demikian tulisnya, “mampu memproyeksikan keluar dari yang riil dunia yang mungkin meski tidak ada dalam kenyataan.”
            Jadi, walaupun fiksi tidak sama dengan realitas, tetapi fiksi memiliki kemiripan dan irisan dengan realitas. Fiksi justru bisa menawarkan ide-ide baru yang sebelumnya tidak terpikirkan di dalam realitas. Yang juga cukup ironis adalah bagaimana seorang pembunuh bisa memperoleh idenya untuk membunuh, karena ia gemar menonton film-film thriller yang biasa diputar di bioskop-bioskop.
            Kekerasan tipe ketiga adalah apa yang disebut sebagai kekerasan simulasi. Kekerasan ini kental di dalam video games, baik yang on line maupun off line. Misalnya ketika seorang penembak di dalam video games melakukan tembakannya dengan menggunakan senapan mesin, serta berhasil membunuh ratusan musuhnya. Kejadian semacam itu alih-alih menakutkan, tetapi justru meningkatkan ketertarikan dan kenikmatan permainan. Di dalam permainan semacam itu, kegelisahan, kejijikan, sekaligus kenikmatan dan rasa penasaran menyatu menjadi satu. Ini salah satu sebab, mengapa banyak sekali orang menyukai permainan video games tersebut. Pemain juga dapat merasakan nikmatnya berkuasa di dalam dunia video games. Ia adalah pemain, penguasa, sekaligus pemenang. Sesuatu yang mungkin tidak akan pernah diperolehnya di dalam dunia “nyata”.
            Mengetahui itu, industri hiburan semakin tertarik untuk mengembangkan pasar mereka. Tambah lagi, ketika bermain, seorang penikmat permainan video games hampir tidak diberikan waktu untuk berpikir dan merefleksikan. Di dalam permainan video games, manusia diubah menjadi mahluk yang bergerak melulu dengan pola aksi-reaksi, dan stimulus-respons. Refleksi menjadi tidak relevan, karena semuanya terjadi dan bergerak secara mekanis. Jadi, keberhasilan suatu permainan video games adalah sejauh mana permainan tersebut mampu “menghisap” pemainnya ke dalam logika yang bersifat teknis-mekanis-interaktif. Permainan yang memiliki ritme tetap seolah menghipnotis pemainnya, sehingga ia merasa menyatu dengan permainan tersebut. Tentu saja, perasaan menyatu ini tetaplah sebuah perasaan saja, jadi tidak melulu benar. Akan tetapi, kecanggihan teknologi serta kenikmatan yang didapat di dalam bermain video games seolah mengaburkan fakta itu.
            Jenis kekerasan lain yang juga sulit untuk dicegah adalah kekerasan simbolik yang ada di dalam tayangan infotainment yang serupa dengan penaynagn iklan. Kekerasan ini disebut sebagai kekerasan simbolik, karena tidak ada luka fisik yang diakibatkannya secara langsung. Yang lebih menjadikan ironis adalah, pemirsa tidak menyadari dirinya telah diubah menjadi korban kekerasan. Pemirsa tidak mengetahui, bahwa mereka telah dimanipulasi, dibohongi, dan bahkan dikuasai. Kekerasan simbolik ini terjadi melalui medium bahasa yang nantinya akan mempengaruhi cara berpikir, cara kerja, dan cara bertindak. Kekerasan simbolik juga mengubah makna dari kata konsumsi. Jika dulu orang mengkonsumsi produk material yang konkret, sekarang orang mengkonsumsi tanda. Yang ditawarkan oleh produsen bukan lagi kegunaan semata, tetapi juga merupakan imajinasi yang melibatkan status sosial konsumen. Merk mobil apa yang dipakai seolah secara tidak langsung menggambarkan sejarah singkat kehidupan pemilik mobilnya. Merk rokok apa yang dihisap sekaligus menceritakan secuil kisah kepribadian si penghisapnya.
            Yang membuat kekerasan menjadi tidak tampak disini adalah juga apa yang disebut sebagai pola keberulangan dari iklan. Proses pengulangan suatu iklan secara bertahap dan tidak disadari akan mampu mengubah cara pandang dan cara berpikir konsumen, sehingga mereka menjadi mudah dimanipulasi dan merasa tergantung dengan produk yang diiklankan. Kekerasan pun tidak lagi dirasakan sebagai kekerasan, tetapi sebagai hal yang wajar saja. “Iklan”, demikian tulis Haryatmoko, “masuk ke dalam kehidupan sehari-hari konsumen dan dengan cara yang lembut tak terasa dapat memaksakan praktek dan sikap setiap orang.” Jadi, iklan bisa menjadi sarana pembentuk sikap dan perilaku konsumen. Dalam konteks ini, suatu produk menjadi bernilai bukan karena produk tersebut berguna, tetapi karena produk tersebut mampu memaksakan suatu cara berpikir tertentu, yakni cara berpikir yang menjadi milik merk produk yang ditawarkan. Setelah cara berpikir berhasil diinternalisasi oleh konsumen, keputusan untuk membeli, menggunakan, dan mencicipi hanyalah tinggal masalah waktu saja.
            Setelah produk menjadi bagian dari identitas konsumen, maka produk berhasil menciptakan kesetiaan dan perasaan terikat di dalam diri konsumen. Yang terjadi adalah konsumen seolah-olah tidak bisa hidup tanpa produk yang biasa dikonsumsinya. Inilah yang disebut sebagai kebutuhan-kebutuhan palsu (false needs). Identitas dan kesetiaan terhadap produk ini akan semakin menebal seraya dengan adanya bonus, jika orang menggunakan produk tersebut pada pembelian ke sepuluh, ataupun ada bonus setelah menggunakan produk dalam jumlah tertentu. Hal ini serupa dengan penayangan infotainment yang membuat khalayaknya menjadi setia terhadap hasil tayngan-tayangan beritanya, dan seringkali dibumbuhi dengan adanya kuis yang mendatangkan kesempatan untuk meraih jutaan rupiah bagi pemirsa yang berhasil menjawab pertanyaan dari pihak infotainment seputar berita yang ditayangkan hari ini. Karena keindahannya, kekerasaan di dalam media bisa begitu mudah dan gamblang mendikte cara berpikir orang, tanpa orang tersebut menyadari bahwa ia telah didikte. Ciri estetik kekerasan menjadi begitu nyata, ketika orang terpikat pada suatu bentuk tayangan media, dan ia membiarkan secara sukarela dirinya menjadi pengikut setia suatu produk tanpa berpikir lebih jauh. Dalam hal ini, kekerasan bergerak dengan cara-cara yang begitu halus. Kekerasan simbolik di dalam media seolah telah berubah menjadi “seni” memanipulasi orang, yang kini tidak lagi dipersepsi sebagai suatu bentuk kekerasan, tetapi sebagai bagian wajar dari kehidupan manusia. Karena keindahannya, kekerasan telah menjadi stimulan-stimulan yang menghasilkan kenikmatan bagi manusia.
            Dari pembahasan kekerasan Media diatas, maka dapat disimpulkan bahwa, dengan sangat luasnya jangkauan media massa, masyarakat akan lebih gampang dimasuki oleh pemikiran serta perilaku media massa itu sendiri. Tidak terkecuali masalah kekerasan dalam media itu sendiri. Sudah lama hal ini tidak kita sadari baru pada pertengahan abad XIX terdapat beberapa pemikir yang merasakan akan adanya bahaya tersebut dan akhirnya mengadakan beberapa penelitian.
Terdapat Dua penelitian yang mendorong kesadaran mengenai kekerasan media adalah:
1        Dale (1935) yang melakukan analisis isi 1500 film yang mengandung tekanan kuat terhadap kejahatan.
2        Blumer (1933) yang melakukan survey terhadap 2000 responden yang menunjukkan kesadaran mereka terhadap fakta bahwa mereka telah meniru secara langsung aksi kekerasan yang telah mereka tonton dalam film kekerasan.
 Dengan adanya penelitian ini kesadaran publik terhadap kekerasan media lebih meningkat. Perhatian ini diperburuk dengan hadirnya analisis Wertham (1954) mengenai berita infotainment yang membahas isi komik, dimana tesisnya berbunyi ketidakseimbangan jumlah buku komik yang mengandung gambar-gambar kekerasan yang menakjubkan memberikan kontribusi terhadap kejahatan anak muda laki-laki, banyak dari mereka merupakan konsumen kelas berat dari gambar-gambar tersebut. Perhatian ilmuwan terhadap kekerasan media tidaklah berlarut-larut sampai 1950an ketika terdapat kemungkinan efek televisi publik menarik perhatian pemerintah yang melihat adanya pengaruh negatif pada anak dan kontribusi potensial terhadap kejahatan remaja. Perkembangan televisi di Amerika menimbulkan era baru kontroversi kekerasan media.
 Schramm, Lyle, dan Parker (1961) mendiskusikan sejumlah contoh peniruan kekerasan yang disebarkan oleh sumber berita pada tahun 1950an. Mereka menyatakan bahwa hubungan antara penggambaran kekerasan di  televisi  dan peniruan kejahatan kekerasan bukanlah tidak sengaja. Seorang ahli, Gerbner mendefinisikan kekerasan sebagai ekspresi terang-terangan dari kekuatan fisik melawan diri sendiri atau orang lain, atau aksi pemaksaan melawan keinginan seseorang terhadap sakitnya disakiti atau dibunuh.
Dari definisi tersebut ia menemukan bahwa prime-time tv mengandung delapan contoh kekerasan per jam, rata-rata yang mengindikasikan sedikit perubahan dari studi sebelumnya untuk Komisi Nasional. Dengan lazimnya kekerasan di tv, pintu bagi ahli untuk mempertanyakan dampak isipun terbuka. Pertanyaan apakah menonton kekerasan media mempengaruhi perilaku agresif memang menarik. Sudah begitu banyak ahli melakukan penelitian menganai hal tersebut dengan berbagai metode baik survei maupun eksperimen laboraturium. Kritik terhadap tesis kaitan perilaku agresif sebagai akibat tontonan adegan kekerasan di media salah satunya adalah alat ukur konstruksi tindakan agresif (misalnya memukuli boneka) dianggap tidak berkaitan dengan perilaku agresif manusia.
Menurut Bandura, kekerasan media merupakan penyalur  perilaku agresif. Ahli lain, Huesmann menyatakan bahwa kebiasaan agresif diduga dipelajari pada tahap awal kehidupan, sekali ia hadir maka ia akan resisten dan sulit diubah. Bila seorang anak terbiasa menyaksikan tayangan kekerasan dan membentuk pola kebiasaan yang agresif maka menurut Huesmann kebiasaan menyaksikan televisi usia dini berkaitan dengan kriminalitas pada masa dewasa nanti.
Kontroversi mengenai efek kekerasan media berkaitan dengan konsep kepentingan statistik, signifikansi statistik, dan kepentingan sosial. Setidaknya terdapat dua aspek yang meminimalkan besarnya efek kekerasan media dan kaitannya dengan perilaku agresif yaitu:
1.       efek yang timbul sering ditinggalkan oleh peneliti
2.       studi yang bisa dijadikan pegangan dalam kehidupan sehari-hari sering tidak jelas.
Selain itu, juga dipertanyakan karena tayangan media sangat banyak dan penonton pun banyak. Apakah bila seseorang berperilaku agresif setelah menonton satu tayangan berarti seluruh lapisan masyarakat yang juga menyaksikan acara tersebut juga memiliki masalah yang sama? Mekanisme teoritis Katarsis.
Feshbach (1955) mengemukakan ide yang berpihak pada media yaitu prediksi bahwa tampilan kekerasan pada media akan menyalurkan kemarahan atau kefrustasian penonton untuk menyingkirkan perasaan tersebut, setelah menonton kekerasan media mereka akan mengurangi keinginan berlaku agresif. Ide dasarnya adalah dengan menonton kekerasan media akan memberi jalan bagi penonton melakukan tindakan agresif fantasi mengukung permusuhan dengan jalan pemuasan dan mengurangi perlunya membawa sikap agresif pada dunia nyata.
 Pembelajaran Sosial Bandura (1965) mengemukakan teori bahwa karakter media yang menyajikan model untuk perilaku agresif mungkin dihadirkan oleh penonton, dan tergantung apakah perilaku dihargai atau tidak akan tidak mencegah atau mencegah imitasi perilaku berturut-turut. Studi Bandora menawarkan dukungan yang dapat dipertimbangkan bagi proses pembelajaran sosial. Pernyataan Bandura mengenai teori kognitif sosial menunjukkan bagaimana formulasi awal telah berkembang dan telah berdiri menjadi teori pokok untuk memahami efek kekerasan media.
 Priming. Berkowits memfokuskan perhatian pada kekerasan media dengan memperhatikan “petunjuk agresif” yang dimiliki dalam isi tipe ini. Menurutnya, petunjuk-petunjuk tersebut akan mengkombinasikan psikis dengan tingkat kemarahan dengan frustasi penonton , dan akan memicu agresi yang berikut. Jo dan Berkowitz menyempurnakan ide ini dengan menyatakan kekerasan media bisa membentuk pikiran mengenai perilaku agresif dan konsekuensinya membuat perilaku agresif yang nyata semakin disukai.
Penelitian lain yang dipengaruhi teori ini adalah pernyataan Bargh yang menyatakan ide bahwa kekerasan tersebut tidaklah bernilai sesaat saja setelah media ditonton, tetapi memiliki efek jangka panjang. Arousal.
Zillmann (1991) mengemukakan dugaan bahwa penyebab pemunculan sifat kekerasan media sangat penting untuk memahani intensitas reaksi emosional yang muncul seketika setelah menonton. Arousal juga bisa memperkuat emosi positif yang muncul setelah menonton. Desensitization. Satu jalan mengapa kekerasan media meningkatkan perilaku agresif adalah melalui ketidaksensitifan emosional.
Pemunculan kekerasan media yang berulang kali akan menyebabkan kejenuhan psikologis atau penyesuaian emosional terhadap level ketegangan, kegelisahan, atau mengurangi rasa jijik atau lemah. Hal tersebut akan mengurangi kepentingan untuk merespon kekerasan dalam dunia nyata. Ketika sensitivitasan manusia terhadap kekerasan memudar, perilaku kekerasan meningkat karena sudah tidak terdeteksi lagi sebagai perilaku yang seharusnya dibatasi/tidak dilakukan. Cultivation and Fear. Berkaitan dengan kemungkinan menonton kekerasan dalam waktu yang lama akan menumbuhkan sudut pandang partikular mengenai kenyataan sosial dan menyebaban level yang tinggi terhadap ketakutan yang bisa terpatri selama berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun.
Penelitian Mendatang Akhir-akhir ini, ilmuwan semakin tertarik meneliti dampak kekerasan video games terhadap perilaku agresif. Dill dan Dill mengungkapkan permainan tersebut memang meningkatkan agresivitas, sebuah penemuan yang sejalan dengan penemuan lain. Sparks dan Sparks juga mengungkap sedikit data yang menyimpulkan fakta bahwa program yang mengandung kekerasan media lebih disukai dari program yang tidak mengandung kekerasan.
 Zillmann dan Weaver mendemonstrasikan bahwa lai-laki dengan psikologis tinggi lebih mudah dipengaruhi kekerasan media.
setidaknya terdapat tiga asumsi dalam lingkaran akademik dan politik mengena efek kekerasan media :
1.      materi kekerasan lebih sering menghasilkan efek dan efek ini sifatnya cenderung negatif
2.       kekerasan media lebih sering menghasilkan pemikiran dan perilaku kekerasan daripada pelukisan media lain
3.      kekerasan media lebih layak mendapatkan perhatian peneliti dan tindakan sosial politik daripada penggambaran media lainnya.
Media massa, terutama televisi, menjadi penyumbang utama  maraknya kekerasan yang dilakukan anak. Hal tersebut terungkap dari Kajian Komisi Nasional Perlindungan Anak terhadap acara televisi. Dilansir dari Koran harian TEMPO,” Menurut Sekretaris Jenderal Komisi Nasional Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, dari 35 judul acara atau film yang ditayangkan beberapa stasiun televisi, sekitar 62 persennya menyajian kekerasan”. "Anak-anak kemudian mengaplikasikan kekerasan dilayar televisi tersebut ke dunia  keseharian mereka, karena tipikal anak memang suka meniru," katanya kepada Tempo disela acara Testimoni Keluarga Akila Everlyne Ardelia, anak berusia dua tahun yang tewas dianiaya, di kantornya, Jakarta, Jumat.
Dari hal tersebut sangat jelas bahwa tingkat keterpengaruhan tingkah laku anak terhadap  apa yang mereka tonton di media.Karena itu, menurut Airst, perlu ada gerakan nasional untuk mengikis budaya kekerasan di masyarakat. Salah satunya, ia mencontohkan, adalah dengan mensosialisasikan persepsi yang benar kepada orang tua atau guru bahwa menghukum anak tidak harus dengan memukulnya. "Ini penting dilakukan karena setiap tahun kekerasan yang terjadi pada anak cenderung meningkat," katanya.
Sepanjang tahun 2006, Komisi Nasional Perlindungan Anak mencatat setidaknya terjadi 1,124 kekerasan terhadap anak. Jenis kekerasan yang diterima anak adalah kekerasan fisik (21,98 persen), kekerasan seksual (37,90 persen), dan kekerasa psikis (40,12 persen).
Dari total 526 pelaku kekerasan terhadap anak, 16 persennya dilakukan oleh tetangga dan ayah kandung (11,60 persen). Sedangkan ibu kandung dan guru masing-masing menyumbang 8,94 persen dan 6,46 persen.
Sementara ibu tiri yang kerap dituding paling sering melakukan kekerasan terhadap anak, hanya menyumbang 1,71 persen.Sungguh luar biasa efek dari fenomena ini. Dengan apa yang telah dipaparkan diatas.
Inti dari semua bentuk tayangan kekerasan adalah dapat menciptakan ketidakpekaan terhadap korban kekerasan di dalam diri pemirsa. Artinya, ketidakpekaan terhadap korban kekerasan sebenarnya sudah terbentuk, ketika orang menikmati film yang berisi adegan kekerasan di dalamnya. Kekerasan di dalam media menjadi begitu mudah dan gampang memasuki cara berpikir orang, memanipulasinya, tanpa orang tersebut menyadari bahwa ia telah dimanipulasi. Salah satu bentuk manipulasi paling awal yang tampak adalah, ketika pemirsa menjadi kurang kepekaannya terhadap kekerasan yang diderita oleh korban. Dan manipulasi pada lebih jauh terjadi adalah, ketika identitas pemirsa pada akhirnya turut ditentukan oleh tayangan yang ditampilkan di televisi, baik itu dalam bentuk berita, film, ataupun iklan.
            Jika sudah seperti itu, kekerasan pun tidak lagi dipersepsi sebagai kekerasan, melainkan sebagai sesuatu yang wajar, atau yang lebih berbahaya lagi, kekerasan sebagai sesuatu yang normatif! Jika suatu tindak kekerasan didiamkan begitu saja, maka lama-kelamaan, tindakan itu akan dianggap biasa. Lebih dari itu, semakin didiamkan terus, orang yang justru tidak melakukan tindakan kekerasan justru malah menjadi orang yang bersalah! Ciri kekerasan membuatnya menjadi licin bagai belut untuk dilenyapkan. Kemampuannya membuat orang terpesona menciptakan kondisi yang justru semakin memadai untuk kekerasan yang lebih besar. Konsekuensi inilah yang harus diterima oleh khalayak umum. Menyadari adanya paradoks di dalam fenomena kekerasan ini tampaknya merupakan langkah pertama yang harus ditempuh untuk mengurangi efek negatif kekerasan di media bagi kehidupan manusia.
            Selanjutnya yaitu,  tugas pemerintah. Tugas pemerintah adalah membentuk aturan main yang adil sehingga kepentingan pers dan masyarakat tetap terjaga dan tidak saling berbenturan. Sedangkan tugas kita adalah menjadikan diri kita mampu mengkritisi dan menikmati media massa secara proporsional, sehat, dewasa dan rasional.



DAFTAR PUSTAKA


·         Burton, Graeme. 2000. Talking Television : An Introductionto The Study of Television. London : Arnold
·         Junaedi, Fajar (2007). Komunikasi Massa, Pengantar Teoritis. Yogyakarta, Santusa
·         Lindlof, Thomas R dan Taylor, Brian C (2002). Qualitative Communication Research Methods, 2nd Edition. London, Sage Publication
·         Littlejohn, Stephen W (1994). Theories of Human 5th Communication, Edition.
·         Pengantar Deddy mulyana “etika komunikasi”.
·         Johannesen, Richard L. 1983. Ethics in Human Communication.ed2(prospect heights, IL:Waveland Press,Inc)


Sumber lain:
·         http://aprillins.com/2009/949/pentingnya-etika-bagi-kehidupan/, Akses: Senin, tgl 3-01-2011, pukul 09.30-10.00
·         http://lompatlebihtinggi.wordpress.com/2008/06/05/pentingnya-etika-di-dunia-teknologi-informasi/., Akses: Rabu, tgl 5-01-2011, pukul 13.00-14.30
Akses: Minggu, tgl 02-01-2011, pukul 14.45-16.00




Tidak ada komentar:

Posting Komentar