UJIAN AKHIR SEMESTER GANJIL
ETIKA KOMUNIKASI
ANALISIS
JURNAL
(ETIKA
MEDIA MASSA DAN KODE ETIK JURNALISTIK)
Judul:
“BANALITAS INFORMASI
DALAM JURNALISME INFOTAINMENT DI
MEDIA TELEVISI DAN
DAMPAKNYA TERHADAP PENONTON
INFOTAINMENT”
Disusun
Oleh
Nama : Ziya Ibrizah
NRP : 09.05.311.00054
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU
SOSIAL DAN BUDAYA
UNIVERSITAS NEGERI
TRUNOJOYO
2011
JURNAL
ETIKA KOMUNIKASI
(ETIKA
MEDIA MASSA DAN KODE ETIK JURNALISTIK)
“BANALITAS INFORMASI DALAM JURNALISME INFOTAINMENT
DI
MEDIA TELEVISI DAN DAMPAKNYA TERHADAP PENONTON
INFOTAINMENT”
Abstrak
Penelitian tentang banalitas
informasi dalam tayangan infotainment dan dampaknya bagi khalayak, yang
dilakukan dengan menggunakan metode etnografi komunikasi di tingkat proses
decoding dan endcoding ini memperoleh hasil yang memperlihatkan bahwa dalam
proses produksinya infotainment seringkali mengabaikan prinsip etika
jurnalistik. Ini terbukti dengan seringnyakasus pertikaian antara kru
infotainment dengan artis yang merasa dirugikan dengan pemberitaan
infotainment. Pengemasan berita dalam infotainment juga telah menandai babak
baru dalam jurnalisme yang dikendalikanoleh libido pasar (market driven
journalism). Jurnalisme demikian membawa implikasi bahwa pemberitaan
dalaminfotainment adalah pemberitaan yang tidak berbanding dua belah pihak
(cover both side). Dalam proses dekodingtayangan infotainment, khalayak ditiga
kota yang ditelitimemiliki kecenderungan berbeda. Khalayak di
Yogyakartacenderung penonton light viewers yang kritis terhadap isi tayangan
infotainment. Ibu-ibu di kota ini menyadaritentang bahaya infotainment bagi
anak-anak dengan tidakmembiarkan anak menonton infotainment sendiri. Di Klaten,
ibu-ibu sebenarnya sadar tentang bahaya tayanganinfotainment, namun mereka
tetap saja menikmati waktuluang (leisure time) mereka diisi dengan menonton
tayangan infotainment. Ibu-ibu di kota ini sadar bahwa infotainment rentan
dengan tayangan kekerasan dan karenanya tidak mengijinkan anak mereka menonton
infotainment. Berbeda dengan di Sragen dimana khalayaknya secara intens
mengkonsumsi tayangan infotainment dan mengabaikan anak saat menonton televisi,
sebagaimana terlihat dari pola perilaku menonton televisi yang mayoritas berisi
menonton tayangan infotainment sendiri dan tidak bersama anak. Padahal mereka
sebenarnya sadar bahwa infotainment rentan dengan adegan kekerasan dengan
menyatakan bahwa mereka tidak mengijinkan anak mereka menonton infotainment
sendiri.
Keywords
: infotainment, audience, journalism
A. Pendahuluan
Infotainment merupakan
jenis tayangan televisi yang cukup populer dewasa ini. Tingginya popularitas
jenis tayangan ini bisa dibuktikan dengan semakin beragamnya nama tayangan
infotainment yang menemui pemirsa. Walaupun semakin beragamnya nama tayangan infotainment,
namun keberagaman nama ini tidak diikuti oleh keberagaman format acara
infotainment. Anehnya di tengah kualitas infotainment yang begitu-begitu saja,
infotainment tetap digandrungi para pemirsa Pada jam tayangan utama (prime
time) yang berkisar pukul enam sore sampai dengan delapan malam, dimana umumnya
di kisaran jam ini program acara memiliki rating tinggi, infotainment juga
tidak terlewat ikut meramaikan kompetisi perebutan rating di kisaran waktu ini.
Bukti lain yang memperlihatkan
kedigdayaan infotainment adalah jumlah jam tayang infotainment, yang menurut
sebuah survey yang dilakukan Dewan Pers di Jakarta tahun 2006, mencapai empat
belas jam dalam satu hari. Setidaknya setiap minggu 125 program tayangan
infotainment dijual berbagai stasiun televisi dengan berbagai nama yang
beraneka ragam (Bernas Jogja, 16 Desember 2004). Tahun 2008 ini angka ini juga
tidak berubah, bandingkan dengan jenis program tayangan televisi lainya yang
mengalami fluktuasi rating dan share. Menurut
Val E. Limburg dalam bukunya Electronic Media Ethics (1994 : 125), gambar
(visual) lebih mampu berbicara banyak daripada bahasa lisan maupun tertulis,
karena itu persoalan etika menjadi semakin penting. Dalam tayangan berita di
televisi, termasuk juga infotainment, menurutnya ada dua gatekeepers yang
berperan dalam persoalan etika yang berkaiatan dengan visualisasi di layar
televisi, yaitu kamerawan yang mengarahkan kemeranya kepada sumber berita dan
editor yang berkuasa untuk memilih visualisasi yang layak disiarkan atau tidak.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan pada latar belakang
masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana
banalias informasi dalam pemberitaan infotainment dan tanggapan khalayak (
reception ) atas tayangan infotainment di stasiun televisi swasta nasional?
C.
Metode
Penelitian
Riset etnografi (ethnografic
research) mencoba melihat efek media secara lebih alamiah dalam waktu dan
tempat tertentu. Metode ini berasal dari antropologi yang melihat media massa
dan khalayak secara menyeluruh (holistic), sehingga tentu saja relatif
membutuhkan waktu yang lama dalam aplikasi penelitian. Dalam penelitian yang
menggunakan metode ini, para peneliti menggunakan teknik observasi, pencatatan
dokumen dan wawancara mendalam. (Straubhaar dan Larose, 1997 :417). Peneliti
hanya memerlukan daftar pertanyaan sebagai acuan dalam wawancara yang dapat
dikembangkan secara lentur ketika mengadakan wawancara, sehingga daftar
pertanyaan dalam metode ini dinamakan sebagai petunjuk wawancara (interview
guide).
Penelitian etnografi komunikasi
(ethnography of communication) beranjak dari tradisi penelitian ilmiah yang
berkembang dalam kajian antropologi, sosiolinguistik dan folklore. Etnografi
komunikasi menyatakan bahwa komunikasi merupakan sebuah proses yang mengalir
dari perputaran informasi, bukan semata-mata pertukaran pesan (Lindolf dan
Taylor, 2002:44). Penelitian etnografi komunikasi pada masa tersebut telah
memberi kontribusi bagi perkembangan model penelitian kualitatif dalam ilmu
komunikasi. Perspektif etnografi komunikasi yang menekankan pada relasi antara
analisis data dan teori serta kemanfaatannya bagi tindakan praktis dalam
komunikasi merupakan prestasi etnografi komunikasi (Lindolf dan Taylor,
2002:46).
Dalam
penelitian komunikasi yang menggunakan metode etnografi komunikasi, para
peneliti memakai teknik observasi, pencatatan dokumen dan wawancara mendalam.
Dalam melakukan wawancara mendalam, peneliti harus mampu mengeksplorasi beragam
informasi dari responden, tanpa melalui pertanyaan yang sifatnya kaku
sebagaimana penelitian survey (Straubhaar dan Larose, 1997 :417). Peneliti
hanya memerlukan daftar pertanyaan sebagai acuan dalam wawancara yang dapat
dikembangkan secara lentur ketika mengadakan
wawancara,
sehingga daftar pertanyaan dalam metode ini dinamakan sebagai petunjuk
wawancara (interview guide).
D. Kajian Teori
1.
Teori Ekonomi-Politik Media
Teori ekonomi-politik media
(political economy media theory) banyak berhutang pada kajian yang dilakukan
oleh Vincent Moscow dalam bukunya The Political Economy of Communication
(1998). Menurutnya pendekatan dengan teori ekonomi-politik media pada intinya
berpijak pada pengertian ekonomi politik sebagai studi mengenai relasi sosial,
khususnya yang menyangkut relasi kekuasaan, baik dalam produksi, distribusi dan
konsumsi sumber daya (resourches). Dalam ekonomi politik komunikasi, sumber
daya ini dapat berupa surat kabar, majalah, buku, kaset, film, internet dan
sebagainya (Moscow, 1998 : 25). Sistem ini membawa implikasi mekanisme pasar
yang tidak ambil resiko, suatu bentuk mekanisme pasar yang kejam karena membuat
media tertentu mendominasi wacana publik dan lainnya terpinggirkan.
Ekonomi-politik media ditandai dengan pertumbuhan konsentrasi kepemilikan media
di tangan segelintir orang saja. Gejala ini dianggap sebagai sebuah
konsentrasi
kepemilikan media yang menyebabkan semakin sedikitnya lembaga yang memiliki
media (Croteu, 2000 : 38). Semakin sedikitnya lembaga yang menguasai media
tentu dapat menyebabkan informasi yang disebarkan media dengan mudah
dikendalikan oleh segelintir orang saja, akibatnya informasi yang bias dan
membela kepentingan pihak-pihak tertentu dapat dengan mudah terjadi. Faktor
rutinitas organisasi, latar belakang individu pekerja media, eksternal media
(seperti pemasang iklan), pemilik perusahaan dan ideologi media menentukan
corak pemberitaan media bersangkutan (Shoemaker dan Reese, 1991:156).
2.
Ideologi Media
Untuk mengkaji apa yang dikandung
ideologi secara komprehensif, Althusser memperkenalkan dua istilah kunci yaitu
Ideological State Apparatus (ISA) dan Repressive State Apparatus (RSA). Dalam
terminologi marxian, aparat negara yang represif (State Apparatus) terdiri dari
pemerintah, tentara, polisi, birokrasi, pengadilan, penjara dsb. Inilah yang
oleh Althusser kemudian dinamakan sebagai RSA. RSA menjalankan fungsinya
melalui kekerasan (by violence), baik dalam bentuk kekerasan fisik maupun non
fisik. Sedangkan ISA menjalankan fungsinya secara ideologis (by ideology ).
Pada titik inilah terlihat secara jelas perbedaan antara ISA dan RSA. Karena
itu ISA tidak bisa disamarkan dengan RSA. Secara lebih jelas Althusser
memaparkan hal ini dengan beberapa alasan yaitu bahwa, pertama, hanya ada satu
RSA, namun pada sisi yang lain terdapat pluralitas ISA. Kedua, RSA bergerak
terbatas ada wilayah publik, sedangkan ISA dapat bergerak ke wilayah privat,
seperti melalui lembaga agama, keluarga, sekolah, media massa dan sebagainya.
Ada dua tesis dari Althusser untuk menjawab pertanyaan ini. Pertama, ideologi
menghadirkan imaginary relationship antara individu dengan eksistensi kondisi
realitasnya, seperti yang dikenal sebagai ideologi agama, ideologi etika,
ideologi hukum, ideologi politik dan sebagainya (McQuail, 2002 : 97). Tesis ini
memperoleh satu pertanyaan yang sangat menarik mengapa manusia memerlukan
imaginary relationship. Menurut Ludwig Feurbach, dan kemudian dikembangkan oleh
Marx, manusia memerlukan imaginary relationship untuk mendapatkan ketenangan
dalam hidupnya, padahal sebenarnya mereka mengalami penindasan. Kondisi inilah
yang dinamakan sebagai alienasi (keterasingan) manusia dari realitasnya. Tesis
kedua, ideologi bisa dipastikan selalu mempunyai eksistensi material dalam
segala keberadaannya. Maksudnya, ideologi tidak dapat dibatasi sebagai ide
semata, namun ia memiliki aspek material yang berupa aparat yang menjalankannya
praktik ideologi bersangkutan dalam realitas kehidupan. Dari kekompakan kerja
antara RSA dan ISA inilah yang menjadikan individu-individu seakan-akan takluk
begitu saja di hadapan kekuasaan negara. Dari sinilah kemudian Althusser
mendefinisikan ideologi dalam dua tesis utama tersebut. (Burton, 2000:176).
3.
Teori Medium
Donald Ellis membuat sebuah
ringkasan dari berbagai pandangan mengenai teori medium dan serempak ia juga
membuat satu proposisi menarik yang mampu mewakili cara pandang kontemporer
mengenai subjek kajian ini. Dengan mengamini Innis dan McLuhan, Ellis
menyatakan bahwa keberadaan media dominan pada waktu tertentu akan membentuk
perilaku dan pemikiran masyarakat bersangkutan. Sejalan dengan berubahnya
media, begitu juga cara kita berpikir, mengolah informasi, dan menghubungkan
satu dengan yang lain. (Littlejohn, 1996:198). Perubahan besar gelombang ketiga
terjadi ketika media elektronik berhasil ditemukan dan dikembangkan secara revolusioner.
Informasi dalam media elektronik adalah solid seperti komoditas, yang
menciptakan tekanan pada informasi agar menarik. Pengetahuan dalam abad media
elektronik berubah sangat cepat, dan kita, terutama yang menjadi public figure,
menjadi semakin waspada terhadap beragam versi yang berbeda dari suatu realitas
tertentu. Perubahan yang konstan yang diciptakan dari media elektronik dapat
membuat kita menjadi bingung dan mungkin tidak tenang. Berita artis ditayangan
infotainment yang banyak disiarkan oleh berbagai stasiun televisi di Indonesia
dapat menunjukan fenomena ini. Para artis yang diliput di acara infotainment
saling menyangkal isu miring yang menerpa mereka, bahkan mereka pun kemudian
merasa privasi mereka terganggu oleh kru infotainment yang memburunya (Junaedi,
2007:37).
4.
Tipologi Khalayak
Perdebatan mengenai tipologi
khalayak (audience) yang cukup dilematis dalam perkembangan kajian komunikasi
massa adalah polemik mengenai tipologi khalayak pasif berhadapan dengan
khalayak aktif. Pandangan khalayak pasif memahami bahwa masyarakat dapat dengan
mudah dipengaruhi oleh arus langsung dari media, sedangkan pandangan khalayak
aktif menyatakan bahwa khalayak memiliki keputusan aktif tentang bagaimana menggunakan
media. Selama ini yang terjadi dalam studi komunikasi massa, teori masyarakat
massa lebih memiliki kecenderungan untuk menggunakan konsepsi teori khalayak
pasif, meskipun tidak semua teori khalayak pasif dapat dikategorisasi sebagai
teori masyarakat massa. (Littlejohn, 1996:330). Dalam kajian yang dilakukan
oleh Frank Biocca berdasar penelitian yang dilakukannya sebagaimana termuat
dalam dalam artikelnya yang berjudul ”Opposing Conceptions of the Audience :
The Active and Passive Hemispheres of Communication Theory” (1998),menjelaskan
beberapa kategori khalayak. Pertama adalah selektifitas (selectivity). Khalayak
aktif dianggap selektif dalam proses konsumsi media yang mereka pilih untuk
digunakan. Mereka tidak asal-asalan dalam mengkonsumsi media, namun didasari
alasan dan tujuan tertentu. Karakteristik kedua adalah utilitarianisme
(utilitarianism) di mana khalayak aktif dikatakan mengkonsumsi media dalam
rangka suatu kepentingan untuk memenuhi kebutuhan dan tujuan tertentu yang
mereka miliki. Karakteristik yang ketiga adalah intensionalitas
(intentionality), yang mengandung makna penggunaan secara sengaja dari isi
media. Karakteristik yang keempat adalah keikutsertaan (involvement) , atau
usaha. Maksudnya khalayak secara aktif berfikir mengenai alasan mereka dalam mengkonsumsi
media. Yang kelima, khalayak aktif dipercaya sebagai komunitas yang tahan dalam
menghadapi pengaruh media (impervious to influence), atau tidak mudah dibujuk
oleh media itu sendiri (Littlejohn,1996 : 333).
E. Pembahasan
1. Infotainment dalam
Banalitas Jurnalisme
Di tengah kritik terhadap tayangan
infotainment, justru tayangan ini semakin banyak menebar pesonanya di layar
kaca. Setidaknya setiap minggu 125 program tayangan infotainment dijual
berbagai stasiun televisi dengan berbagai nama yang beraneka ragam (Bernas
Jogja, 16 Desember 2004). Sebuah riset yang dilakukan Lembaga Konsumen Media
(LKM) Surabaya pada pertengahan tahun 2004 ini memperlihatkan data yang
menyatakan bahwa TransTV menayangkan program infotainment sebanyak 27 kali
tayangan dalam satu minggunya. Bisa jadi tayangan infotainment memberi
kontribusi bagi perkembangan stasiun televisi yang masih terbilang muda namun
berhasil bersaing dengan stasiun televisi lainnya yang lebih dulu mapan. Salah
satu faktor yang menyebabkan maraknya tayangan infotainment di layar kaca
adalah murahnya biaya produksi jenis program ini, di sisi lain minat para
pengiklan masih lumayan tinggi dengan dibuktikan penuhnya slot iklan berbagai
program infotainment. Kasus perseteruan artis dengan infotainment secara tidak
langsung telah menjadi iklan gratis bagi infotainment. Kasus terakhir yang
”mencuatkan” infotainment terjadi ketika Luna Maya menyerang secara tertulis
kru infotainment dalam akun twitternya di penghujung tahun 2009.
Logika pasar bebas yang dikendalikan
oleh kepentingan pasar saat ini menjadi the invisible hand dari maraknya
tayangan infotainment. Sebagaimana yang dikatakan oleh Vincent Mosco dalam
bukunya The Political Economy of Communication, Rethinking and Renewal (1998 :
111), pasar konsumen media audio-visual saat ini merupakan pasar global yang
dikendalikan oleh kepentingan pasar yang berorientasi profit. Sehingga tidak
mengherankan jika para kru infotainment saling bersaing untuk mendapatkan
berita yang paling sensasional dari sang selebritis bahkan kalau perlu dengan
tidak lagi memperdulikan wilayah publik dan privat sumber berita, sampai-sampai
selebritis yang menjadi sumber berita merasa risih.
Selama ini yang menjadi keluhan para
selebritis terhadap infotainment adalah dimasukinya wilayah privat mereka oleh
para kru infotainment. Berbagai perseteruan selebritis dengan kru infotainment
seperti tersebut di atas menjadi penanda dari pereseturuan ini. Walaupun
demikian konsep wilayah privat sendiri perlu dirumuskan kembali karena bukankan
selebritis adalah public figure yang kemanapun melangkah pasti selalu menarik
minat khalayak untuk mengetahuinya (public right to know). Yang lebih mendesak
untuk segera diperhatikan adalah kesadaran penerapan etika jurnalisme saat
meliput berita yang akan dijadikan konsumsi infotainment. Berbagai kasus yang
terjadi selama ini, seperti yang dialami Parto Patrio, Nicky Astria dan Luna
Maya berpangkal pada kurang dihormatinya hak sumber berita untuk tidak
berkomentar atau memberi jawaban atas pertanyaan reporter infotainment.
Menjawab pertanyaan dalam mekanisme pencarian berita merupakan hak, bukan
kewajiban yang menjadi sebuah keharusan untuk dipenuhi oleh sumber berita.
Apalagi jika kemudian para kru infotainment, baik reporter maupun kamerawan
ramai-ramai mengejar sumber berita demi mendapatkan jawaban atau komentar yang
semakin sensasional. Gambar (visual) dalam tayangan di layar televisi lebih
mampu berbicara banyak daripada bahasa lisan maupun tertulis, karena itu
persoalan etika menjadi semakin penting. Dalam
tayangan berita di televisi, termasuk juga infotainment, menurutnya ada dua
gatekeepers yang berperan dalam persoalan etika yang berkaiatan dengan
visualisasi di layar televisi, yaitu kamerawan yang mengarahkan kemeranya kepada
sumber berita dan editor yang berkuasa untuk memilih visualisasi yang layak
disiarkan atau tidak (Limburg, 1994 : 125).
Sebetulnya memasukan infotainment
dalam kategorisasi tayangan yang berada dalam ranah genre pemberitaan kemudian
menjadi sangat mungkin diperdebatkan karena dalam realitasnya yang sering
mengemuka dalam tayangan infotainment adalah sekedar gosip yang ditampilkan
dengan prosedur jurnalisme yang kelihatan sangat minim, terutama dari segi
etika. Pencampuradukan antara gosip dan berita, diobokoboknya wilayah privat
dan penyajian secara tidak berimbang (cover both side) sering kali menjadi
bumbu dari infotainment yang memperlihatkan indikasi lemahnya etika jurnalisme
dalam tayangan infotainment. Jika kalau kemudian untuk sementara disepakati
bahwa infotainment bisa dimasukan dalam wilayah pemberitaan, sebenarnya
infotainment merupakan tayangan yang sah-sah saja untuk dijual kepada publik
dan serempak pula bukan merupakan tayangan yang haram atau bahkan harus
dihilangkan dari layar televisi. Sebagai sebuah bentuk pemberitaan tentu saja,
etika jurnalisme merupakan sesuatu yang harus dikedepankan. Pada kenyataannya,
kondisi yang terjadi berkebalikan dan semakin ironis karena etika jurnalisme
yang semakin tidak dipedulikan dalam infotainment, sehingga wajar saja jika
kemudian berkembang wacana bahwa infotainment sekedar “berita sampah” yang
hanya berorientasi kepada segi entertainment untuk mereguk keuntungan dengan
mengorbankan hak-hak dan kepentingan sumber berita. Dibandingkan dengan laki-laki,
perempuan nampaknya lebih sering muncul dalam berbagai tayangan infotainment.
Setidaknya penanda (signified) ini dengan sangat jelas dapat diamati dari para
pembawa acara (host) infotainment yang mayoritas adalah perempuan, dengan
beberapa tayangan infotainment yang dibawakan perempuan bersama laki-laki,
seperti Insert. Dengan menggunakan pendekatan strukturalisme yang dikembangkan
Roland Barthes, direpresentasikanya para pembawa acara yang mayoritas perempuan
pada tayangan infotainment, pada tingkatan secondary signification menandai
perempuan sebagai tukang gosip yang hanya suka menyebarkan “berita tidak
serius” atau “berita sampah” yang mencampuradukan fakta dengan gosip yang merasuki
pelbagai sisi wilayah privat. Apalagi sajian infotainment dikelola dengan
profesionalisme yang minim etika, sehingga perempuan semakin terepresentasikan
sebagai biang gosip.
2. Proses Produksi
Infotainment
Produksi sebuah program televise, termasuk
juga di dalamnya adalah infotainment, selalu dimulai dari ide atau gagasan yang
kemudian dituangkan kedalam sebuah naskah atau script. Naskah menjadi sebuah
landasan atau basis yang diperlukan untuk membuat sebuah program televisi
apapun bentuknya. Penulisan sebuah naskah program video dan televisi yang
didasarkan pada sebuah ide biasanya mempunyai tujuan yang spesifik yaitu
memberi informasi (to inform), memberi inspirasi (to inspire), menghibur (to
entertain) dan propaganda, yang sebenarnya tidak jauh dari hakikat tujuan
komunikasi massa.
Untuk mengetahui bagaimana tahapan
proses yang dilakukan dalam proses produksi infotainment, maka kita perlu
memahami tentang naskah produksi terlebih dahulu. Sebuah naskah mempunyai peran
sentral dalam produksi sebuah program televisi. Sebuah naskah adalah ide dasar
yang diperlukan dalam sebuah produksi program video. Kualitas sebuah naskah
sangat menentukan hasil akhir dari sebuah program. Dalam tayangan fiksiseperti
drama fungsi naskah ini menjadi kian penting karena sebuah naskah pada umumnya
berisi gambaran atau deskripsi tentang pesan atau informasi yang disampaikan
seperti alur cerita, karakter tokoh utama, dramatisasi, peran/figuran, setting,
dan property atau segala hal yang berkaitan dengan pembuatan sebuah program
televisi. Namun demikian fungsi naskah juga tidak kalah penting dalam produksi
tayangan yang bersifat non fiksi, termasuk juga di dalamnya infotainment.
Uraian ringkas secara deskriptif, bukan tematis, yang dikembangkan dari
synopsis dengan bahasa visual tentang suatu episode cerita, atau ringkasan dari
rangkaian suatu peristiwa. Artinya dalam membuat treatment bahasa yang
digunakan adalah bahasa visual. Sehingga apa yang dibaca dapat memberikan
gambaran mengenai apa yang akan dilihat. Dengan membaca treatment bentuk
program yang akan dibuat sudah dapat dibayangkan.
Dari treatment kemudian dibuat
naskah produksi atau scenario. Penulisan naskah produksi atau scenario harus
operasional karena digunakan sebagai panduan tidak saja kerabat kerja (crew)
tetapi juga pemain dan pendukung lain yang terlibat. Penulisan naskah (skenario)
pada dasarnya menggambarkan sekaligus menyuarakan apa yang ingin disampaikan.
Urutan sinopsis-treatment-skenario merupakan rangkaian yang baik untuk membuat
naskah video (televisi), Sudah menjadi standar dalam produksi tayangan
televisi, termasuk tentu saja infotainment, ada tiga tahap dalam menulis
naskah, yaitu : concept, story board, dan script.
Dalam
pembuatan naskah, yang penting juga adalah riset tentang apa yang akan ditulis
di dalam naskah produksi. Secara standar tahap-tahapnya bisa dipetakan sebagai
berikut. Pertama adalah merumuskan ide dari apa yang akan diproduksi. Dalam
produksi infotainment ide ini bisa didapatkan dari perkembangan terkini dalam
dunia selebritis. Kemudian dari ide ini dilakukan riset terhadap ide tersebut
sebagai pengembangan dari ide tersebut. Berdasarkan hasil wawancara dengan
pekerja infotainment diperoleh data bahwa pekerja infotainment selalu berusaha
mendapatkan data terbaru dari kehidupan artis, bahkan dengan mengawasi selama
beberapa hari keseharian artis bersangkutan. Antar program infotainment saling
bersaing agar data terbaru yang mereka kuasai lebih update dan lebih mendalam
dibandingkan program sejenis di stasiun televisi lain. Persaingan antar program
infotainment, membuat masingmasing program tayangan infotainment berinovasi,
seperti dengan melakukan model jurnalisme yang diklaim sebagai jurnalisme
investigasi, seperti yang dilakukan oleh Insert. Setelah mendapatkan data dari
riset dilakukan penulisan outline, yang menjadi garis besar dari rencana
produksi. Dari naskah outline kemudian dilakukan penulisan sinopsis dan
treatment terhadap sinopsis. Di dalam naskah ini ada kolom tentang video dan
audio yang akan ditampilkan lengkap beserta durasinya.
Naskah yang sudah final kemudian
diserahkan ke editor dan narator untuk siap digunakan sebagai panduan dalam
editing dan tayangan live. Untuk memudahkan dalam proses produksi, desk
infotainment juga menggunakan data yang ada di library, seperti koleksi dari
divisi atau desk news. Namun, untuk membedakan dengan news, infotainment
memiliki kebijakan redaksional yang lebih mengutamakan pada sisi human
interest. Di sisi yang lain, desk news juga bisa mengambil bagian dari tayangan
infotainment, karena artis adalah sosok yang laku secara pemberitaan. Sebagai
sebuah pemberitaan, infotainment juga tidak lepas dari berbagai faktor yang
mempengaruhinya, seperti faktor intra media dan ekstra media.
3. Infotainment di Mata
Khalayak
3.1. Tipologi Khalayak
Untuk membahas tipologi khalayak
akan di bagi berdasarkan wilayah yaitu urban, sub urban dan rural ; dengan
menggambarkan bagaimana proses decoding dari tayangan infotainment.
1.
Penonton Infotainment
di Yogyakarta : Ligth Viewers dan Kritis
Mayoritas penonton di Yogyakarta,
adalah penonton ringan (light viewers) sebanyak 60% dan sisanya adalah heavy
viewers. Menurut Dennis McQuail, penonton yang menonton lebih dari 3 jam dalam
waktu satu hari adalah penonton kategori heavy viewers, sedangkan penonton yang
menonton kurang dari 3 jam adalah light viewers. Selanjutnya jika dilihat pada
jam tayang utama (prime time) yang selama ini menjadi maskot berbagai stasiun
televisi untuk menaikan angka rating dengan meraup jumlah penonton sebesar
mungkin. Pada jam tayang inilah, yaitu tepatnya jam 18.00 sampai dengan 22.00
WIB para penonton televisi di Yogyakarta, terutama kaum perempuan, menikmati
suguhan dari layar kaca yaitu 91%. Perilaku menonton televisi di Yogyakarta di
Yogyakarta dilihat dari teman menonton didominasi oleh suami dan anak sebagai
teman menonton televisi yaitu 24% menyatakan bahwa mereka menonton televisi
bersama suami dan anak. Dilihat dari genre program acara yang paling sering
ditonton, ternyata tayangan infotainment tidak masuk tiga besar dari tayangan
yang paling sering ditonton. Berita, sinetron dan musik-lah yang menjadi tiga
besar tayangan program televisi yang paling banyak ditonton oleh ibu-ibu di
Yogyakarta ketika mereka ditanyai tentang program acara televisi yang paling
sering ditonton. Sedangkan infotainmnet yang paling sering ditonton oleh
ibu-ibu di Yogyakarta adalah Insert yang ditonton oleh 15 responden, diikuti
oleh Cek n Ricek sebanyak 13 orang dan Silet 9 orang.
Kebiasan menonton infotainment ini
juga diikuti dengan kebiasaan perilaku untuk membicarakan berita yang
ditayangkan infotainment sekitar 30% menyatakan bahwa mereka membicarakan
infotainment dengan teman. Sebanyak 65 % responden menyatakan bahwa tayangan di
infotainment sebenarnya tidak memiliki nilai penting bagi kehidupan mereka.
Kesadaran ini berbanding lurus dengan seluruh responden yang menyatakan bahwa
infotainment tidak layak ditonton anak-anak. Alasan yang dikemukakan oleh
responden beragam, namun memiliki titik temu yaitu infotainment dianggap
sebagai tayangan yang tidak sehat bagi anak
2.
Penonton Infotainment di Klaten : Kritis
namun Tetap Setia Menonton Infotainment
Penonton infotainment
di kota Klaten mayoritas adalah penonton kelas ringan yang menonton televisi
maksimal 2 jam selama satu hari. Sebagaimana khalayak penonton televisi di
Yogyakarta, penonton televisi di Klaten juga cenderung menonton tayangan
televisi di jam tayang utama yaitu 65% responden menyatakan bahwa mereka lebih
sering menonton televisi pada pukul 18.00 sampai dengan 22.00 WIB. Acara dialog
atau talkshow, seperti Dorce Show dan Empat Mata, menjadi preferensi utama
penonton televisi dari kalangan ibu-ibu di Klaten. Perilaku ini berbeda dengan
di Yogyakarta dimana para penonton infotainment di sana lebih banyak menonton
bersama suami dan anak. Jenis berita infotainment yang miring yang sering
ditonton ini ternyata pararel dengan perilaku penonton infotainment di Klaten
yang memang menyukai berita negatif tentang artis, daripada berita positif
tentang artis. Perilaku menonton infotainment yang dilakukan oleh khalayak di
Klaten tidak berhenti tatkala siaran acar infotainment selesai. Sekitar 60%
responden menyatakan bahwa mereka memperbincangkan acara infotainment setelah
menonton infotainment. Sedangkan sisanya, menyatakan mereka tidak membicarakan
tentang isi berita infotainment setelah selesai menonton. Khalayak yang
memperbincangkan isi infotainment di Klaten menyatakan bahwa mereka umumnya
membicarakan isi infotainment bersama tetangga. Kultur agraris masyarakat
Klaten yang masih diwarnai corak patembayan memungkinkan terjadinya interaksi
sosial antaranggota masyarakat di Klaten untuk memperbincangkan isi tayangan
infotainment.
3.
Penonton Infotainment
di Sragen : Khalayak Pasif
Berbeda dengan Yogyakarta dan
Klaten, penonton tayangan infotainment di Sragen lebih berimbang antara heavy
viewers dan light viewers. Jumlah khalayak yang menonton televisi dengan durasi
waktu kurang dari 3 jam dan lebih dari 3 jam cukup berimbang.Namun sebagaimana
di Klaten dan Yogyakarta, ibu-ibu di Sragen menyatakan bahwa mereka paling
sering menonton infotainment pada jam tayang prime time. Data ini menunjukan
bahwa khalayak di Sragen sampai dengan data ini bisa digolongkan khalayak
pasif. Perilaku menonton televisi di Sragen, dilihat dari dengan siapa ibu-ibu
menonton tayangan televisi, sebagaimana yang juga terjadi di Yogyakarta dan
Klaten didominasi dengan perilaku menonton televisi bersama keluarga (suami dan
anak). Di Sragen, mayoritas khalayak yaitu sebesar 32 orang atau 64 persen
menyatakan bahwa mereka paling sering menonton tayangan infotainment. Baru
setelah itu sinetron, sebanyak 13 orang atau 26 persen memiliki preferensi
sinetron sebagai jenis tayangan yang paling sering ditonton. Insert, tayangan
infotainment, yang ditayangkan di layar Trans TV menjadi tayangan infotainment
yang paling banyak ditonton oleh ibu-ibu di Sragen. Di sini terlihat ada
potensi pengabaian terhadap perilaku melek media dengan membiarkan anak
menonton infotainment sendirian. Ini juga menunjukan adanya kecenderungan khalayak
pasif di Sragen. Sebanyak 58% responden di Sragen menyatakan bahwa mereka
memperbincangkan berita di infotainment dengan tetangga atau teman. Lainnya
menyatakan tidak membicarakannya, dan menganggap isi berita infotainment
sebagai angin lalu.
3.2. Perilaku Menonton
Infotainment
Para ibu yang menonton televisi
biasanya untuk mengisi waktu senggang. Mereka tidak meluangkan waktu khusus
untuk menonton televisi, apalagi meluangkan waktu khusus untuk menonton
infotainment. Meskipun jika dianalisis berdasarkan pada pola menonton televisi
berdasarkan tiga kategori wilayah yaitu urban, sub urban dan rural menunjukkan
bahwa jam menonton televisi ibu-ibu di wilayah rural lebih banyak dibandingkan
dengan jam menonton televisi ibu-ibu di daerah sub urban dan urban, namun
sebagian besar ibu-ibu sesungguhnya bukanlah penonton yang terdominasi dan
terhegemoni oleh tayangan infotainment di televisi. Hal ini nampak dari
pernyataan-pernyataan para ibu yang mengatakan bahwa menonton televisi terutama
acara infotainment hanyalah untuk mengisi waktu senggang saja; dan merupakan
hiburan yang paling murah dan selalu tersedia di rumah .Perilaku menonton
mereka lebih disebabkan pada ketiadaan aktivitas yang dilakukan sehingga mereka
menonton tayangan infotainment atau bahkan dilakukan sambil lalu misalnya
sambil menyiapkan masakan untuk keluarga Jadi dapat dikatakan bahwa jika kita
mengacu pada konsep kategori penonton berdasarkan pada sikap atau perilakunya
terhadap tayangan-tayangan isi media, penonton infotainment di 3 kota yaitu
Kabupaten Sleman, Kabupaten Klaten dan Kabupaten Sragen sebagian besar merupaka
penonton yang berada dalam kategori negotiated reading terhadap
tayangantayangan infotainment. Artinya dalam menerima dan mengkonsumsi
tayangan-tayangan infotainment yang ditayangka oleh stasiun-stasiun televisi
swasta nasional mereka tidak dapat posisi yang menerima begitu saja
tayangan-tayangan tersebut, dan bahkan sampai addictive ( kecanduan menonton).
Bahkan salah seorang peserta FGD dari kabupaten Klaten menyatakan bahwa
sesungguhnya dia tidak menyukai acara 19 infotainment, namun ternyata acaranya
sama saja di semua stasiun televisi, yaitu acara infotainment dan berita yang
disajikan sama, misalnya kalau stasiun A memberitakan kasus Mais dan Dhani,
maka seluruh stasiun televisi lain juga akan memberitakan berita yang
sama.Sikap kritis dalam menonton acara infotainment ini tidak hanya untuk
mengambil pelajaran hidup dari kisah-kisah selebritis, bahkan di antara ibu-ibu
tersebut ada yang kemudian mendiskusikan dengan temantemannya Tingkat
pendidikan mempengaruhi bagaimana penonton memberikan penilaian terhadap
tayangan-tayangan sinetron. Ibu-ibu yang di kabupaten Klaten rata-rata
berpendidikan tamat SD dan tamat SMP, sedangkan ibu-ibu informan di kabupaten
Sleman rata-rata tamat SMA dan ada lulusan perguruan tinggi. Oleh karena itu,
dalam kaitannya dengan perilaku menonton infotainment ini, ibu-ibu informan di
kabupaten Klaten menjadikan materi sebagai bahan untuk ngobrol dengan ibu-ibu
yang lain ketika bertemu, misalnya berbelanja bersama-sama atau sedang
berkumpul bersama.
Dalam
hal ini, menonton tayangan infotainment salah satu manfaatnya adalah
menghubungkan dia dengan ibu-ibu lain untuk saling bercerita, dan memberikan
komentar atas kasus yang mereka tonton. Sedangkan di Sleman, ibu-ibu yang
menonton program infotaintment mengkritisi misalnya kenapa infotainment selalu
menampilkan hal-hal yang bersifat pribadi dari artis dan selalu hal yang
negatif, bahkan remeh temeh. Para ibu mempertanyakan mengapa tayangannya tidak
dominan berkaitan dengan prestasi yang telah dicapai artis, seperti dalam
acara-acara di luar negeri.
Selain berkaitan dengan isi acara
yang berisi pertengkaran dan konflik saja, para ibu juga sesungguhnya
mempertanyakan mengapa acara-acara infotainment isinya sama saja di semua
stasiun televisi dan cenderung melakukan pengulangan, atau diulang terus
menerus, apalagi jika di stasiun televisi tersebut ada dua atau tiga program
acara infotainment , misalnya pagi, siang dan sore hari.
F.
Penutup
Dalam proses produksinya
infotainment seringkali mengabaikan prinsip etika jurnalistik. Ini terbukti
dengan seringnya kasus pertikaian antara kru infotainment dengan artis yang
merasa dirugikan dengan pemberitaan infotainment. Pengemasan berita dalam
infotainment juga telah menandai babak baru dalam jurnalisme yang dikendalikan
oleh libido pasar (market driven journalism). Jurnalisme demikian membawa
implikasi bahwa pemberitaan dalam infotainment adalah pemberitaan yang tidak
berbanding dua belah pihak (cover both side).
Dalam proses dekoding tayangan
infotainment, khalayak di tiga kota yang diteliti memiliki kecenderungan
berbeda. Khalayak di Yogyakarta cenderung penonton light viewers yang kritis
terhadap isi tayangan infotainment. Ibu-ibu di kota ini menyadari tentang
bahaya infotainment bagi anak-anak dengan tidak membiarkan anak menonton
infotainment sendiri.
Di Klaten, ibu-ibu sebenarnya sadar
tentang bahaya tayangan infotainment, namun mereka tetap saja menikmati waktu
luang (leisure time) mereka diisi dengan menonton tayangan infotainment.
Berbeda dengan di Sragen dimana khalayaknya secara intens mengkonsumsi tayangan
infotainment dan mengabaikan anak saat menonton televisi, sebagaimana terlihat
dari pola perilaku menonton televisi yang mayoritas berisi menonton tayangan
infotainment sendiri dan tidak bersama anak. Padahal mereka sebenarnya sadar
bahwa infotainment rentan dengan adegan kekerasan dengan menyatakan bahwa
mereka tidak mengijinkan anak mereka menonton infotainment sendiri. Berkaitan
dengan proses produksi acara infotainment ini para awak yang membidani
acara-acara infotainment ini memang dituntut untuk menyajikan hal-hal yang
sensasional agar menarik penonton apalagi di tengah persaingan program-program
infotainment yang terdapat di televisi lain. Sementara itu berkaitan dengan
perilaku menonton tayangan program infotainment ini, para ibu sesungguhnya
merupakan penonton yang aktif dan tidak menerima begitu saja acara-acara
infotainment meskipun mereka percaya bahwa apa yang disampaikan dalam infotainment
ini dapat dipercaya. Sebagian besar ibu-ibu merupakan penonton yang negotiated
reading bahkan kritis terhadap tayangan acara sinetron baik terhadap isinya
sendiri maupun programnya yang diuang-ulang dan bahkan beritanya sama antara
satu stasiun televisi dengan stasiun televisi yang lainnya.
DAFTAR
PUSTAKA
·
Burton, Graeme. 2000.
Talking Television : An Introductionto The Study of Television. London : Arnold
·
Junaedi, Fajar (2007).
Komunikasi Massa, Pengantar Teoritis. Yogyakarta, Santusa
·
Lindlof, Thomas R dan
Taylor, Brian C (2002). Qualitative Communication Research Methods, 2nd
Edition. London, Sage Publication
·
Littlejohn, Stephen W
(1994). Theories of Human 5th Communication, Edition.
·
Belmont CA,Wadsworth
Publising Company Limburg, Val L. (1994). Electronic Media Ethic. New York
·
Routhledge Mosco,
Vincent (1998). The Political Economy of Communication, Rethinking and Renewal.
London, Sage Publications
·
Shoemaker, Pamela J.
and Reese, Stephen D. (1991).Mediating the Massage : Theories of Influence on
MassMedia Content, 2nd Edition. New York
·
Longman Publisher
Straubhaar, Joseph and Larose, Robert (1997). Communication Media in The
Information Society. California
·
Wadsworth Publishing
McQuail, Denis (2002). McQuail’s Mass Communication Theory. London, Sage
Publications
Biodata
Penulis
Tri Hastuti Nur Rochimah, S.Sos,
M.Si adalah dosen Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta. Saat ini sedang mengambil program doktor di Universitas Gadjah Mada
dan aktif di Lembaga Penelitian dan Pengembangan PP ‘Aisyiyah. Alamat e-mail :
nursolo@yahoo.com
Fajar Junaedi S.Sos, M.Si adalah
dosen broadcasting pada Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta. Saat ini menjabat sebagai koordinator Laboratorium Ilmu
Komunikasi UMY. Alamat e-mail fajarjun@gmail.com,
akun facebook di www.facebook.com/fajarjun
ANALISIS
JURNAL
Penilaian etika lebih berfokus pada
tingkat-tingkat kebenaran dan kesalahan dalam perilaku manusia. Dalam mengecam
seseorang karena tidak efisien, konformis, boros, malas, atau lamban, kita
mungkin tidak akan serta-merta menyebutnya tidak etis. Namun, standar-standar
seperti kejujuran, menepati janji, dapat dipercaya, adil, dan manusiawi
biasanya memang digunakan unntuk membuat penelitian etika tentang kebenaran dan
kesalahan dalam prilaku manusia. Isu-isu etika mungkin muncul dalam perilaku
manusia ketika perilaku tersebut menimbulkan dampak yang cukup berarti pada orang lain,
ketika perilaku tersebut melibatkan pilihan standar tentang cara dan tujuan, dan ketika perilaku
tersebut dapat dinilai melalui standar benar dan salah.
Beberapa filsof membedakan antara
etika dan moral sebagai konsep. Etika dinyatakan sebagai kajian umum dan
sistematik tentang apa yang seharusnya menjadi prinsip benar dan salah dari
perilaku manusia. Sementara moral (moralitas) adalah standard benar dan salah
yang praktis, spesifik, disepakati bersama, dan dialihkan secara kultural.
Tetapi filosof lain menggunakan tema-tema etika dan moral dalam pengertian yang
bisa saling dipertukarkan.
Karakteristik moral utama kondisi
manusia adalah pengalaman ganda dari kebebasan berkehendak dan tanggung jawab
pribadi. Karena keduannya merupakan dua aspek dari fenomena yang sama,
kebebasan dan tanggung jawab mengandung perbandingan dengan peribahasa ‘’
pedang bermata dua ‘’. Salah satu sisinya menimbulkan banyak pilihan: kita
menyebutnya kebebasan. Satu sisi yang lainya mengandung kewajiban kita
menyebutnya tanggung jawab. Banyak orang menyukai kebebasan karena ia
memberikan kekuasaan atas benda- benda dan orang-orang. Sedangkan tanggung
jawab cenderung dibenci karena ia menghalangi mereka dari pemuasan keinginan
mereka. Itulah sebabnya salah satu hal yang menjadi ciri sejarah adalah upaya
manusia yang tanpa henti untuk meningkatkan kebebasan dan mengurangi tanggung
jawab.
Dalam esainya yang berpengaruh,
“toward a Meaning-Centered Philosophy of Comun ication’, Dean Bernlund
mengutarakan bahwa setiap teori/filsafat komunikasi insane yang memuaskan harus
memasukkan standar-standar moral tertentu “yang akan melindungi dan
mengembangkan perilaku komunikasi yang sehat”. Perspektif pelajaran etika yang
dipelajari disini menampilkan upaya beberapa pakar untuk menjelaskan kriteria
etis yang mereka perlukan untuk mengembangkan komunikasi insane yang sehat.
Seorang ahli komunikasai, Gerald R.
Miller, mengajukan serangkaian pertanyaan yang dianggapnya sebagai “tidak
mungkin terlepas dari setiap bentuk komunikasi insani”. Dalam bentuk yang sudah
diubah, pertanyaan Miller meliputi: Apa tanggung jawab etis seorang komunikator
terhadap khalayak? Bagaimana mendefinisikan batas-batas moral perbedaan
pendapat? Apakah nilai dasar komunikasi demokratis? Apakah sensor dapat
dibenarkan secara etis? Ini serupa dengan pertanyaan, di samping hal lainnya,
yang diajukan dalam buku ini.
Persepsi implikasi etis dalam
komunikasi insane yang diajukan oleh Bernlund dan Miller juga dimiliki oleh
para ahli retorika humanis kontemporer W. Ross Winteword menekankan etika
tujuan dan cara. “ Tanggung jawab etis, bagaimanapun, bukanlah masalah niat
baik semata; tanggung jawab etis didasarkan pada penanganann pokok persoalan
secara jujur dan penuh pengetahuan.
Manusia bertanggung jawab terhadap tindakan mereka.
Manusia menanggung akibat dari perbuatannya dan mengukurnya pada berbagai
norma. Di antaranya adalah nurani sendiri, standar nilai setiap pribadi.
Norma-norma nilai ini dapat dibentuk dengan berbagai macam cara. Kehidupan
bersama antar manusia membentuk norma selanjutnya, yakni aturan-aturan,
hukum-hukum yang dibutuhkan suatu masyarakat tertentu. Dalam negara-negara
modern aturan-aturan atau hukum-hukum tersebut termaktub dalam sebuah sistem
hukum dan sama bagi semua warga. Apabila aturan-aturan ini dilanggar yang
bersangkutan harus memperoleh hukuman atau sanksi. Jika ia misalnya merugikan
hak milik orang lain maka ia menurut Kitab Hukum Federal Jerman wajib mengganti
kerugian yang ditimbulkan. Pengadilan dapat menghukum sikap yang bersalah
(pelanggaran) berdasarkan KUHP.
Pada hakikatnya hanya masing-masing individu yang
dapat bertanggungjawab. Hanya mereka yang memikul akibat dari perbuatan mereka.
Oleh karenanya, istilah tanggungjawab pribadi atau tanggungjawab sendiri
sebenarnya “mubadzir”. Suatu masyarakat yang tidak mengakui bahwa setiap
individu mempunyai nilainya sendiri yang berhak diikutinya tidak mampu
menghargai martabat individu tersebut dan tidak mampu mengenali hakikat
kebebasan. Friedrich August von Hayek.
Semua bentuk dari apa yang disebut dengan
tanggungjawab kolektif mengacu pada tanggungjawab individu. Istilah
tanggungjawab bersama umumnya hanyalah digunakan untuk menutup-nutupi
tanggungjawab itu sendiri. Dalam tanggungjawab politis sebuah masalah jelas
bagi setiap pendelegasian kewenangan (tanggungjawab). Pihak yang disebut
penanggungjawab tidak menanggung secara penuh akibat dari keputusan mereka.
Risiko mereka yang paling besar adalah dibatalkan pemilihannya atau pensiun
dini. Sementara sisanya harus ditanggung si pembayar pajak. Karena itulah para
penganut liberal menekankan pada subsidiaritas, pada keputusan-keputusan yang
sedapat mungkin ditentukan di kalangan rakyat yang notabene harus menanggung
akibat dari keputusan tersebut. Kebebasan dan tanggungjawab tidak dapat
dipisahkan.
Orang
yang dapat bertanggungjawab terhadap tindakannya dan mempertanggungjawabkan
perbuatannya hanyalah orang yang mengambil keputusan dan bertindak tanpa
tekanan dari pihak manapun atau secara bebas.
Liberalisme
menghendaki satu bentuk kehidupan bersama yang memungkinkan manusianya untuk membuat
keputusan sendiri tentang hidup mereka. Karena itu bagi suatu masyarakat
liberal hal yang mendasar adalah bahwa setiap individu harus mengambilalih
tanggungjawab. Ini merupakan kebalikan dari konsep sosialis yang mendelegasikan
tanggungjawab dalam ukuran seperlunya kepada masyarakat atau negara. Kebebasan
berarti tanggungjawab; Itulah sebabnya mengapa kebanyakan manusia takut
terhadapnya. (George Bernard Shaw)
Persaingan yang merupakan unsur
pembentuk setiap masyarakat bebas baru mungkin terjadi jika ada tanggungjawab
individu. Seorang manusia baru akan dapat menerapkan seluruh pengetahuan dan
energinya dalam bentuk tindakan yang efektif dan berguna jika ia sendiri harus
menanggung akibat dari perbuatannya, baik itu berupa keuntungan maupun kerugian. Justru di sinilah gagalnya ekonomi terpimpin
dan masyarakat sosialis: secara resmi memang semua bertanggungjawab untuk
segala sesuatunya, tapi faktanya tak seorangpun bertanggungjawab. Akibatnya
masih kita alami sampai sekarang.
Dalam diskusi politik sering disebut-sebut istilah
tanggungjawab sosial. Istilah ini dianggap sebagai bentuk khusus, lebih tinggi
dari tanggungjawab secara umum. Namun berbeda dari penggunaan bahasa yang ada,
tanggungjawab sosial dan solidaritas muncul dari tanggungjawab pribadi dan
sekaligus menuntut kebebasan dan persaingan dalam ukuran yang tinggi. Untuk
mengimbangi “tanggungjawab sosial” tersebut pemerintah membuat sejumlah sistem,
mulai dari Lembaga Federal untuk Pekerjaan sampai asuransi dana pensiun yang
dibiayai dengan uang pajak atau sumbangan-sumbangan paksaan. Institusi yang
terkait ditentukan dengan keanggotaan paksaan. Karena itu institusi-institusi
tersebut tidak mempunyai kualitas moral organisasi yang bersifat sukarela. Orang yang terlibat dalam organisasi-organisasi
seperti ini adalah mereka yang melaksanakan tanggungjawab pribadi untuk diri
sendiri dan orang lain. Semboyan umum semua birokrat adalah perlindungan
sebagai ganti tanggung jawab. (Carl Horber). Pada akhirnya tidak ada yang
bertanggungjawab atas dampak-dampak dari penagaruh politik terhadap keamanan
sosial. Akibatnya ditanggung oleh pembayar pajak dan penerima jasa.
Selain pembahasan tanggung jawab diatas, ada pula
pembahasan tanggung jawab lebih mendalam, diantaranya adalah:
Tanggung jawab
terhadap orang lain:
Setiap manusia mempunyai kemungkinan dan di banyak
situasi juga kewajiban moral atau hukum untuk bertanggungjawab terhadap orang
lain. Secara tradisional keluarga adalah tempat dimana manusia saling
memberikan tanggungjawabnya. Si orang tua bertanggungjawab kepada anaknya,
anggota keluarga saling tanggungjawab. Anggota keluarga saling membantu dalam
keadaan susah, saling mengurus di usia tua dan dalam keadaan sakit. Ini khususnya menyangkut manusia yang karena
berbagai alasan tidak mampu atau tidak mampu lagi bertanggungjawab terhadap
dirinya sendiri secara penuh. Ini terlepas dari apakah kehidupan itu berbentuk
perkawinan atau tidak. Tanggungjawab terhadap orang lain seperti ini tentu saja
dapat diterapkan di luar lingkungan keluarga. Bentuknya bisa
beranekaragam. Yang penting adalah
prinsip sukarela – pada kedua belah pihak.
Pertanggungjawaban manusia terhadap dirinya sendiri tidak boleh
digantikan dengan perwalian.
Tanggung jawab
dan risiko:
Dalam masyarakat modern orang berhadapan dengan
berbagai risiko. Risiko itu bisa membuat orang sakit dan membutuhkan penanganan
medis yang sangat mahal. Atau membuat orang kehilangan pekerjaan dan bahkan
harta bendanya. Ada berbagai cara untuk mengamankan dari risiko tersebut,
misalnya dengan asuransi. Untuk itu tidak diperlukan organisasi pemerintah,
melainkan hanya tindakan setiap individu yang penuh tanggung jawab dan
bijaksana.
Sebagai komunikator, tanggung jawab etis kita dapat
tumbuh dari sebuah status atau posisi yang telah di peroleh atau telah di sepakati,
lewat komitmen (janji, sumpah, persetujuan) yang telah kita buat atau
konsekuensi (efek, dampak) komunikasi kita dengan orang lain. Tanggung jawab
mencakup unsur pemenuhan tugas dan kewajiban, dapat dipertanggung jawabkan pada
setiap individu dan kelompok lain, juga dapat dipertanggung jawabkan ketika
dinilai menurut standart yang disepakati, dan dapat di pertanggung jawabkan
menurut hati nurani kita sendiri. Untuk penerima dan pengirim adalah penggunaan
penilaian yang di pikirkan secara matang dan mendalam. Komunikator yang
bertanggung jawab akan menganalisis setiap tuntutan dengan hati-hati,
memperhitungkan setiap akibat dan secara sadar menimbang nilai-nilai yang
relevan. Artinya seorang komunikator yang bertanggung jawab adalah komunikator
yang dapat menjawab.
Williams Rawins mengungkapkan bahwa
“ semua pihak harus bertanggung jawab atas perilaku komunikasi “. Dalam sebuah
lingkungan yang menjunjung tinggi kebebasan, kata-kata seperti “dapat di
pertanggung jawabkan dan tanggung jawab” sering tidak di mengerti atau tidak di
dengarkan, kata-kata itu semakin menjadi “kata kunci” Peraturan media,
khususnya siaran radio belakangan ini telah menurun, sehingga kebutuhan akan
tanggung jawab etis dan moral dalam sebuah media menjadi semakin penting. Dalam
Disenchantment : Meaning And Morality In
The Media, misalnya John Phelan menyelidiki titik potong dan interaksi
antara isu-isu yang berakar pada etika dan pada kebebasan komunikasi. Sementara
ada beberapa tempat dalam kebudayaan Amerika bahwa hukum dan peraturan
berfungsi untuk memperkuat standart-standart etis berkomunikasi, Phelan menguji
bagaimana Federal Communications Commission (FCC) dan Federal Trade Commission
(FTA) sering menjalankan fungsi tersebut. Menurut Phelan, filsafat kepentingan
umum melekat dalam nilia-nilai keadilan sosial, kesetaraan dan pemerintahan
demokratis dan nilai-nilai media massa tentang keanekaragaman, regionalism,
akses dan mutu yang tinggi.
Berbeda dengan apa yang ada di
Indonesia, sudah menjadi pengakuan umum bahwa setelah reformasi 1998 bergulir,
pers Indonesia mengalami titik balik kebebasan yang cukup signifikan.
Perkembangan kuantitas dan kualitas pers, baik media cetak maupun media
elektronik, bertumbuh secara drastis. Munculnya gejala surat kabar dan tabloid
baru atau radio dan televisi baru merupakan hal yang biasa. Kemudahan untuk
mendapatkan ijin penerbitan atau hak siar pada udara Indonesia telah menjadi
paradigma yang patut disambut gembira. Dapat dikatakan, masyarakat Indonesia
akhirnya punya berbagai macam alternatif saluran komunikasi sosial yang
tentunya juga sangat mudah diakses. Tapi masalahnya, di balik kebebasan dan
perkembangan pers Indonesia yang bersifat konstruktif tetap dirasakan dampak
buruk yang menyertainya. Pers sebagai alat komunikasi massa mempunyai kekuatan
pengaruh baik atau membangun dan pengaruh buruk yang cenderung menggerus
tatanan sosial moral masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu, diperlukan kesadaran
tanggung jawab sosial pers untuk mengantisipasi dampak negatif yang diakibatkan
oleh perkembangan pesat pers di Indonesia.
Setidaknya,
dua argumentasi pokok di atas menjadi latar belakang refleksi etis tulisan
Kasdin Sihotang yang berjudul “Tanggung jawab moral Pers” (dimuat pada Suara
Pembaruan, tgl 23 Februari 2002).
Refleksi etis yang ditawarkan oleh tulisan Kasdin
terhadap keberadaan pers pasca reformasi Indonesia 1998 didasari juga pada tiga
asumsi dasar, yaitu etika deontologis Kant yang menekankan prinsip nilai moral
yang “harus” dilakukan oleh insan pers sebagai etos kebenaran, asumsi objektivitas
moral dan eksistensi pers di Indonesia dan pada akhirnya asumsi prinsip
kemandirian pers dalam konteks ekonomi, sosial dan politik sedemikian rupa pers
diharapkan menjadi pers yang independen dan merdeka dalam arti yang positif.
Dua argumentasi pokok dan tiga asumsi dasar tulisan
terdahulu telah menjadi landasan bagaimana kita membangun dan memahami
keberadaan serta iklim kebebasan pers di Indonesia. Muara dari argumentasi dan
beberapa asumsi di atas adalah konstruksi paradigma etis yang perlu dipertimbangkan
oleh para pelaku media massa Indonesia. Tapi masalahnya, apakah memang pers
Indonesia dipahami dalam konteks simplifikasi etis semacam itu, apabila tidak
bisa dikatakan bahwa atmosfer tulisan tersebut berawal dengan pesimisme
terhadap kebebasan media massa di Indonesia maka perlu dibangun sebuah etos
tanggung jawab sosial pers ? Apakah memang benar realitas pers adalah realitas
yang bisa benar-benar mandiri dan bebas dari seluruh kepentingan yang berada di
belakangnya ? Apakah memang ada sebuah etos moralitas dan tanggung jawab etis
yang “deontologis” dan bersifat objektif dalam kehidupan pers di Indonesia pada
khususnya maupun media global pada umumnya ? Seharusnya, pertanyaan kritis
tersebut yang perlu dijawab secara tuntas sebelum kita masuk dalam argumentasi
pokok dan pengembangan paradigma moral pers secara utuh.
Gagasan etis terhadap pers yang dikemukakan oleh
Franz Magnis-Suseno dalam Kuasa dan Moral (1986) dan Jurgen Habermas dalam
Communicative Ethics Controversy (1990) menyiratkan gagasan etis pers dalam
tingkat mikro. Dalam arti, bahwa pers dilihat dari bagian kecil dari proses
pengembangan etika masyarakat pada umumnya. Padahal kalau kita mau melihat
secara lebih jauh, pers modern sekarang telah menjadi entitas yang besar bahkan
mampu menjadi pilar ke empat dalam kehidupan demokrasi sosial. Jadi, saya
menganggap tidak cukup memadai dan tidak sepakat apabila pers hanya dipahami
dalam proses simplifikasi masalah sosial masyarakat yang ada. Ini berarti bahwa
pada titik tertentu, refleksi etis yang dikemukakan oleh Magnis, Habermas atau
Kasdin kurang menyentuh realitas pers yang berkembang sampai sekarang.
Saat ini, pers telah menjadi realitas yang begitu
kompleks berikut dengan dampak-dampak yang menyertainya. Realitas pers yang
begitu kompleks justru berkembang ketika media telah mengalami revolusi
komunikasi yang drastis. Perkembangan internet, telepon, fax, sistem industri
dan kepemilikan media atau pers secara vertikal-horizontal, surat kabar
elektronik, sistem kepenyiaran langsung melalui satelit, new interactive multi
media - yang menggabungkan kemampuan sifat yang visual-auditif-interaktif dalam
satu paket media telah mengubah pemahaman kita terhadap definisi tentang pers
itu sendiri. Ketika pers, termasuk di dalamnya pers Indonesia, mengalami
perkembangan identitas yang semakin kompleks, maka diperlukan juga paradigma
etis yang lebih harus bersifat komprehensif dan baru dalam memaknai tanggung
jawab moral pers, baik secara lokal maupun global.
Pertama, paradigma yang harus dikembangkan adalah
paradigma pemahaman bahwa esensi dan eksistensi pers harus dilihat sebagai
totalitas. Artinya, pers pertama-tama harus diletakkan dalam totalitas sosial
yang lebih luas, sebagai bagian integral dari proses-proses ekonomi, sosial dan
politik yang berlangsung dalam masyarakat. Perspektif ekonomi politik pers
setidaknya menjadi perspektif yang menyatakan bahwa terjadi relasi tidak
terpisahkan antara para pelaku pers, pemerintah dan pasar. Ini berarti bahwa
pengembangan etika atau moralitas pers harus juga didasarkan pada asumsi relasi
tak terpisahkan antara interaksi sosial-ekonomi insan pers, situasi politik
sosial pemerintahan yang sedang berlangsung dan kebutuhan pasar atas hak
informasi yang benar. Etika harus hadir dalam konteks ideologi-sosial-ekonomi
yang lebih konkret.
Adanya suatu jaringan TV Nasional yang hanya
dimiliki oleh sekelompok elit saja menyebabkan adanya Patologi atau sebuah
penyakit social, dimana kandungan media adalah komoditas yang dijual dipasar
dan informasi yang disebarluaskan dapat dikendalikan oleh apa yang akan di
tanggung sebuah pasar. Dalam kondisi seperti ini akan membawa implikasi
mekanisme pasar yang tidak ambil resiko, yaitu adanya suatu bentuk mekanisme
wacana publik sehingga yang lainya akan terpinggirkan dimana yang sesungguhnya
hal ini juga dipicu karena adanya pengaruh terhadap perekonomian oleh para
pemilik jaringan TV Nasional tunggal tersebut. Sebuah ekonomi dipahami sebagai
ilmu atau kajian yang menelaah kekuatan atau kemampuan yang mengalokasikan
sumber untuk memenuhi kebutuhan yang dipersaingkan, termasuk dalam perkembangan
media massa yang juga turut dipengaruhi
oleh masalah produksi dan distribusi massal.
Ada
beberapa tipe masyarakat ekonomi yang membentuk perkembangan media massa,
yaitu:
1.
Masyarakat pertanian di mana produksi
dan distribusi ditandai dengan dinamika produksi dan distribusi yang bersifat
lokal dan kedaerahan.
2.
Masyarakat industri yang ditandai dengan
standarisasi dan pengolahan produksi dan distribusi massal.
3.
Masyarakat informasi yang ditandai
internasionalisasi dan komersialisasi
informasi yang ada dalam masyarakat.
Tentu saja, ruang lingkup dan ukuran
pasar pun berkembang dari yang bersifat lokal kedaerahan, regionalisasi dan
nasional sampai ke level internasional. Perkembangan media massa berkembang
melalui pembangunan skala ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan keuntungan
dari pasar yang lebih luas. Pada dasarnya media massa mengikuti model ekonomi
industrial yang ditandai dengan akselerasi banyaknya media dan hasil-hasilnya
untuk mendapatkan biaya yang murah untuk produksinya. Ketika produksi semakin
besar diharapkan juga perkembangan pembeli dan cakupan daerah yang dapat
membelinya. Dalam perkembangan selanjutnya, media massa juga tidak dapat dipisahkan
dengan hukum persaingan karena industri media massa yang didirikan tidak lagi
sebagai pemain tunggal. Persaingan tidak dilihat sebagai hal yang negatif tapi
harus dipahami sebagai hal yang membangun baik dari segi produksi dan
distribusi media massa itu sendiri. Dalam iklim ekonomi, tidak menutup
kemungkinan terjadinya monopoli.
Atmosfer monopoli ini bisa terjadi karena
sistem persaingan yang keras sehingga diperlukan pemain ekonomi yang kuat.
Monopoli
media bisa berbentuk dalam beberapa ragam:
a.
Duopoli, sebuah sistem ekonomi yang juga
bisa berlaku dalam media ketika hanya terdapat dua pemain utama yang menguasai
dan mendominasi 50%
pasar.
b.
Oligopoli, sebuah sistem ekonomi yang
juga bisa berlaku dalam industri media ketika terdapat beberapa industri yang
menguasai dan mendominasi 30% pasar.
c.
Monopoli, sebuah sistem ekonomi yang
memperlihatkan satu pemain industri yang mendominasi dan menguasai hampir 90%
pasar.
Hal
ini juga bisa mengakibatkan sistem permainan ekonomi dalam media massa. Sistem
kepemilikan merupakan sesuatu yang wajar terjadi dalam kehidupan ekonomi media.
Hanya memang ada masalah yang berkaitan dengan atmosfer ekonomi ini, yaitu
masalah kepemilikan media massa yang justru melemahkan peran dan fungsi sosial
media massa, dalam hal ini melemahkan proses diversitas informasi yang
diperlukan oleh masyarakat.
Tetapi
yang jelas dari sekian motif ekonomi yang muncul, yang paling pokok adalah
motif keuntungan. Faktor keuntungan adalah faktor yang mengoperasionalisasikan
industri media sampai ke organisasi-organisasinya. Dalam sebuah industri,
termasuk di dalamnya industri media massa, faktor keuntungan adalah faktor
penting. Faktor keuntungan ini yang sering bertabrakan dengan masalah
kepentingan publik yang juga diemban oleh media massa. Sedangkan Keuntungan
bagi publik mungkin tidak sepenuhnya ada karena sebagian besar pemilik jaringan
TV Nasional tunggal tersebut rata-rata hanya ingin merauk keutungan
sebesar-besarnya tanpa memperhatikan publik yang sesungguhnya menginginkan
lebih dari itu. Untuk “menggenjot” keuntungan tersebut, media massa mempunyai
banyak strategi dari hanya pemotongan pegawai sampai pemanfaatan iklan secara
besar-besaran pada setiap produk media massa yang dihasilkan.
Namun ternyata tidak semua media
massa yang hanya berniat untuk mencari
keuntungan saja, ada beberapa pelaku media (PBS, misalnya) yang tetap
mengandalkan subsidi publik untuk kelangsungan hidupnya.
Kedua, berhubungan dengan point pertama, struktur
etika atau tanggung jawab moral pers tidak bisa berdiri secara objektif dan
ontologistik tanpa konteks struktural. Pers diposisikan dalam relasinya dengan
publik, kekuatan kapital dan struktur kekuasaan politik. Dalam teori demokrasi,
media memberikan sumbangan saluran komunikasi konkret dalam usaha diseminasi
informasi yang benar dan pengembangan ranah publik (civil society). Diseminasi
informasi yang benar dan aspiratif dan pengembangan ranah publik tentu saja
akan berkaitan dengan soal kebenaran yang dibawa dan diperjuangkan oleh pers.
Dengan tidak menafikkan diskursus makna esensi kebenaran, tentu saja dalam
konteks demokratisasi, makna kebenaran harus dilihat sebagai proses
pengembangan konsensus sosial kebenaran subjektif.
Ketiga, soal krusial dalam pengembangan tanggung jawab
sosial pers bukan semata diletakkan pada soal tanggung jawab sosial sebagai
tugas utama insan pers tapi bahwa tanggung jawab sosial harus diletakkan dalam
konteks yang lebih luas. Konteks etika pers yang lebih luas terlihat dan
terwujud dalam usaha regulasi media itu sendiri. Regulasi pers tidak
semata-mata dilihat sebagai “ tali kekang ” yang membatasi kebebasan pers. Tapi
justru regulasi pers ini harus dipahami sebagai wujud tanggung jawab otonom
insan pers, pemerintah, pemegang kapital dan konsumen pers.
Kita akan sulit menemukan pers yang sedemikian bebas
yang sedemikian otonom dari segala kepentingan baik kepentingan publik maupun
kepentingan negara. Tapi permasalahan
dalam regulasi pers adalah bagaimana kita bisa
membentuk aturan main yang menjaga fairness, nilai prinsip keadilan yang jelas
patokan normanya, menjamin prinsip harmoni kepentingan yang saling
tarik-menarik dalam proses produksi pers. Regulasi etika pers tidak sekedar
soal dan masalah mikro pers, seperti soal objektivitas berita (hal ini
menyangkut soal kebenaran objektif, produk media meskipun telah didasarkan oleh
fakta tetap saja akan menampilkan fakta tersebut dalam realitas simbolik yang
tidak identik dengan realitas objektif; itu saja kalau realitas objektif itu
ada) - bukankah objektivitas itu hanya sekedar soal kesepakatan sosial saja?
Juga dalam hal regulasi etik pers tidak sekedar membahas soal imparsialitas
produk media, sistem kepemilikan media massa secara horizontal-vertikal, sistem
nilai anonim yang ditimbulkan oleh teknologi informasi yang canggih. Perkara
etika dan regulasi pers terutama pers Indonesia tidak berhenti pada soal
content dari sebuah media atau soal bahasa yang dipergunakan dalam sebuah sistem
media massa. Content dan bahasa lebih merupakan proses interpretasi yang sudah
terbangun dalam sistem sosial masyarakat. Justru pada suatu titik tertentu,
media atau pers mampu membangun paradigma interpretasi yang akhirnya diyakini
oleh sistem sosial masyarakat.
Sesuatu yang dapat diyakini oleh sistem social
masyarakat yang dimaksud disini, salah satunya adalah sesuatu yang menetukan
Agenda untuk media, dimana hal tersebut terbagi menjadi tiga. Yang pertama
adalah derajat seberapa media merefleksikan agenda public, disebut sebagai
representasi. Dalam agenda representasi, public mempengaruhi media. Kedua
adalah dipertahankanya agenda yang sama oleh publik disemua waktu yang disebut persintence. Dalam agenda publik
persinten, media mungkin memiliki pengaruh yang kecil. Ketiga, terjadi ketika
agenda media mempengaruhi agenda publik, disebut sebagai persuasi. Pengaruh
jenis yang ketiga dimana media mempengaruhi publik adalah tepat seperti yang
dipredikisi oleh teori Agenda setting.
Teori Agenda Setting dimulai dengan
suatu asumsi bahwa media massa menyaring berita, artikel, atau tulisan yang
akan disiarkannya. Secara selektif, “gate keepers ” seperti penyunting,
redaksi, bahkan wartawan sendiri menentukan
mana yang pantas diberitakan dan mana yang harus disembunyikan. Setiap
kejadian atau isu diberi bobot tertentu
dengan panjang penyajian (ruang dalam surat kabar, waktu pada televisi dan
radio) dan cara penonjolan (ukuran judul, letak pada suratkabar, frekuensi
penayangan, posisi dalam suratkabar, posisi dalam jam tayang).
Misalnya berita tebunuhnya gembong
teroris Dr. Azahari yang terus menerus disiarkan dalam waktu rata-rata 30 menit
dalam televisi dan disajikan pada surat kabar dengan mengisi hampir setengah
dari Pemberitaan Media Massa dan
terletak pada halaman muka, berarti Dr. Azahari sedang ditonjolkan sebagai
gembong teroris yang terbunuh atau pencapaian prestasi jajaran polisi membunuh
teroris nomor wahid di Indonesia itu.
Atau para bintang AFI, KDI, Indonesia Idol yang mendapat tayangan lebih,
sehingga dari orang yang tak dikenal, karena terus diberitakan atau disiarkan
hanya beberapa bulan menjelma menjadi bintang dan sangat terkenal oleh pemirsa
televisi Indonesia. Karena pembaca, pemirsa, dan pendengar memperoleh
kebanyakan informasi melalui media massa, maka agenda media tentu berkaitan
dengan agenda masyarakat (public agenda). Agenda masyarakat diketahui dengan
menanyakan kepada anggota-anggota masyarakat apa yang mereka pikirkan, apa yang
mereka bicarakan dengan orang lain, atau apa yang mereka anggap sebagai masalah
yang tengah menarik perhatian masyarakat (Community Salience). Teori Agenda
Setting pertama dikemukakan oleh Walter Lippman (1965) pada konsep “The World
Outside and the Picture in our head”, penelitian empiris teori ini
dilakukan Mc Combs dan Shaw ketika mereka
meniliti pemilihan presiden tahun 1972. Mereka mengatakan antara lain walaupun
para ilmuwan yang meneliti perilaku manusia belum menemukan kekuatan media
seperti yang disinyalir oleh pandangan masyarakat yang konvensional, belakangan
ini mereka menemukan cukup bukti bahwa para penyunting dan penyiar memainkan
peranan yang penting dalam membentuk realitas sosial kita, ketika mereka
melaksanakan tugas keseharian mereka dalam menonjolkan berita. Khalayak belajar
tentang isu-isu masyarakat dan hal-hal lain melalui media, isu atau topik dari
penegasan yang diberikan oleh media massa. Misalnya, dalam merenungkan apa yang
diucapkan kandidat selama kampanye, media massa tampaknya menentukan isu-isu
yang penting. Dengan kata lain, media menetukan “acara” (agenda) kampanye.
Dari penjelasan diatas maka dapat
disimpulkan bahwa penayangan infotainment dalam media massa merupakan sesuatu
yang sudah diagendakan dimana
berita-berita yang ditayangkan merupakan sebuah berita yang memang layak untuk
dikonsumsi, sehingga khalayak bisa percaya terhadap apa yang mereka nikmati
dalam tayangan infotainment, namun hal ini terlepas jika sebuah pemilik sebuah
pers atau media swasta benar-benar bersih dalam proses penukaran data yang ia
sampaikan dari pihaknya kepada khalayak masyarakat untuk dikonsumsi dan
dimikmati tanpa adanya unsure politik dalam media oleh pemilik tunggal sebuah
pers atau media tersebut, karena sesungguhnya ketika kita berbicara tentang
media massa, maka kita membicarakan tentang aspek komunikasi Massa. Komunikasi
massa sendiri memiliki beberapa definisi
yaitu
·
pesan yang dikomunikasikan melalui media
massa pada sejumlah besar orang (Bittner,
1980)
·
Komunikasi massa adalah produksi dan
distribusi yang berlandaskan teknologi dan lembaga dari arus pesan yang kontinyu serta paling luas dimiliki
orang dalam masyarakat industri Gerbner
(1967)
·
Jenis komunikasi yang ditujukan kepada
sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen, dan anonim melalui media cetak atau
elektronik sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat.Jalaludin Rahmat (2000)
Dari beberapa definisi diatas dapat kita simpulkan
bahwa komunikasi massa adalah pesan yang terjadi disuatu waktu dalam jangkauan
yang tidak terbatas sertaberlangsung secara terus menerus. Jadi dapat
dibayngkan bahwa efek dari komunikasi massa ini sangat lah luar biasa terhadap
keberadaan public.
Selain itu
menurut Wrigth terdapat beberapa activitas pokok dari komunikasi massa,
yaitu:
1.
Pengawasan lingkungan
2.
Kolerasi
3.
Transmisi budaya
4.
Hiburan
Jika ditarik kembali pada salah satu materi kuliah
teknik mencari dan menulis berita (TMMB) yang diberikan oleh Ibu Dessy S. , Bahwa terdapat 5 (lima) fungsi
media massa, abtaralain :
1.
To Inform (menginformasikan)
2.
To educate(pendidikan)
3.
To social control(mengkontrol)
4.
To entertaint(hiburan)
5.
To connected(menghubungkan)
Dari bebeberapa fungsi tersebut
seharusnya media massa adalah alat yang paling efectiv untuk menjadikan
kehidupan ini menjadi lebih teratur dan lebih baik,akan tetapi terdapat
beberapa anomaly media massa dimana apa yang di tanyangkan dalam media massa
saat ini agaknya berbahaya bagi keberlangsungan kehidupan manusia.
Salah satu teori
media, yakni teori konstruksionis, berita sebagai produk media memang tidak
lebih sebagai konstruksi dari “fakta” di lapangan, bukan refleksi. Artinya,
berita yang oleh khalayak baca setiap harinya bukanlah apa yang terjadi
sungguh-sungguh di luar sana. Konstruksi mengandung arti bahwa bagaimana isi
sebuah produk berita sangat bergantung dari bagaimana fakta tersebut dilihat
dan dibingkai oleh pewarta atau institusi media. Nah, bagaimana institusi media
bekerja dalam mengkonstruksikan berita tentu saja dipengaruhi oleh serangkaian
faktor baik internal maupun eksternal.
Dalam sebuah contoh
kecil, setiap orang tentu punya pandangan yang berbeda tentang sebuah
peristiwa. Misalnya, saya melihat bahwa pembalakan hutan adalah sebuah tindakan
melanggar hukum. Opini saya tersebut hadir karena sejak kecil saya hidup di
perkampungan pinggir hutan, sehingga saya berinteraksi dengan realitas sosial
bahwa hutan adalah sebuah kekayaan alam yang patut dilindungi. Bagi orang lain,
mungkin pembalakan hutan adalah sebuah resiko yang wajar karena merupakan salah
satu sumber bagi pemasukan negara. Dalam mekanisme konstruksi berita, proses
yang terjadi lebih kompleks dari contoh tersebut. Karena setiap orang (dalam
institusi media) sepanjang hidupnya berinteraksi dengan kondisi sosial dan
kemudian mempunyai nilai-nilai yang dia pegang. Nilai-nilai tersebut akan
berinteraksi dengan kondisi sosial, politik dan ekonomi dimana media tersebut
beroperasi. Sekumpulan nilai tersebut lantas termanifestasikan ke dalam poltik
redaksional media. Bisa dibayangkan seberapa banyak interaksi yang terjadi
dalam sekali proses produksi berita. Proses interaksi dalam proses konstruksi
realitas inilah yang memungkinkan adanya reduksi serangkaian fakta hingga
akhirnya menjadi “ fakta ” yang hadir dalam setiap tayanagan infotainment yang
kita nikmati sehari-hari. Jadi, pers dan masyarakat tidak bisa dilihat sebagai
satu per satu entitas. Tapi dipahami sebagai suatu proses interplay - proses
relasi timbal balik dan saling mempengaruhi satu sama lain. Suatu produk pers
tidak bisa dipisahkan oleh sistem distribusi dan konsumsi yang berlaku dalam
masyarakat, Karena sesuai dengan teori Model Uses and Gratification atau yang
juga boleh disebut sebagai model efek moderat sebagai bandingan terhadap model efek
terbatas dari Klapper. Seperti pertanyaan tentang apa yang mendorong saya untuk
menggunakan media? Mengapa lebih senang acara X dan membenci acara Y?
Saat saya sedang sendirian dan kesepian lebih senang mendengarkan musik
klasik di radio daripada membaca novel? Apakah acara infotainment media massa
berhasil memenuhi kebutuhan saya?.Inilah diantara sekian banyak pertanyaan yang
berkenaan dengan uses and gratification.
Menurut para pencetusnya, Elihu
Katz, Jay G. Blumler, dan Michael Gurevitch, uses and gratification meneliti
asal mula kebutuhan secara psikologis
dan sosial, yang menimbulkan harapan tertentu dari media massa atau sumber-sumber
lain, yang membawa pada pola terpaan
media yang berlainan (atau keterlibatan pada kegiatan lain), dan
menimbulkan pemenuhan kebutuhan dan akibat-akibat lain.
Asumsi-asumsi
dari teori ini menjelaskan bagaimana seseorang menentukan apa yang harus
dilihatnya di TV, yaitu sebagai berikut
:
a.
Khalayak dianggap aktif, artinya
sebagian penting dari penggunaan media massa diasumsikan mempunyai tujuan.
b.
Dalam proses komunikasi massa banyak
inisiatif untuk mengaitkan pemuasan
kebutuhan dengan pemilihan media terletak pada anggota khalayak.
c.
Media massa harus bersaing dengan
sumber-sumber lain untuk memuaskan
kebutuhannya. Kebutuhan yang dipenuhi media hanya bagian dari rentangan
kebutuhan manusia yang lebih luas. Bagaimana kebutuhan ini terpenuhi melalui
konsumsi media amat bergantung kepada perilaku khalayak yang bersangkutan
d.
Banyak tujuan pemilih media massa
disimpulkan dari data yang diberikan anggota khalayak: artinya, orang dianggap
cukup mengerti untuk menempatkan kepentingan dan motif pada situasi-situasi
tertentu.
e.
Penilaian tentang arti cultural dari
media massa harus ditangguhkan sebelum diteliti lebih dahulu orientasi
khalayak. Model used and gratification
memandang individu sebagai mahluk suprarasional dang sangat efektif. Ini memang
mengundang kritik. Tetapi yang jelas, dalam model ini perhatian bergeser dari
proses pengiriman pesan ke proses penerimaan pesan.
Jumlah
kebutuhan yang dapat dipenuhi media belum disepakati, sebagaimana para psikolog
mempunyai klasifikasi motif yang bermacam-macam. Sigmund Freud menyebut dua
macam motif : eros (hasrat beri cinta) dan thanatos (hasrat merusak). Henry A.
Murray(1968) menyebutkan 28 macam
kebutuhan psikogenis yang pokok. Ericson(1963) menyebutkan delapan kebutuhan
psikologis. Abraham Maslow (1970) mengusulkan lima kelompok kebutuhan yang
disusunnya dalam tangga hierarkis dari kebutuhan fisiologis sampai kebutuhan
pemenuhan diri. Sedangkan berdasarkan berbagai “aliran” dalam psikologi
motivasional. William J. Mc Guire menyebutkan 16 motif yang dibagi menjadi dua
kelompok besar, yaitu motif kognitif(berhubungan dengan pengetahuan) dan motif
Afektif (berkaitan dengan “perasaan”). Pendekatan uses and gratification di
atas mempersoalkan apa yang dilakukan
orang pada media, yakni menggunakan media untuk
pemuasan kebutuhannya. Umumnya
kita lebih tertarik bukan kepada apa yang kita lakukan pada media,
tetapi kepada apa yang dilakukan media pada kita.
Dari penjelasan dan pendekatan teori
diatas maka dapat disimpulkan bahwa seseorang dalam menetukan acara apa yang
harus dilihat di sebuah TV itu berdasarkan pada kebutuhan seseorang tersebut
pada saat itu, dan ketika
seseorang memilih infotainment sebagai tayangan favoritnya maka itu berarti
tayangan infotainment adalah sebuah tayangan yang saat itu ia butuhkan, dan
ketika ia menjadi seorang pecandu terhadap tayangan infotainment, itu berarti
ia termasuk dalam golongan seorang hard
viewer. Banyak hal yang menyebabkan seseorang menjadi seorang hard viewer,
salah satunya adalah seperti yang diasumsikan dalam teori Teori
Persamaan/ The media equation theory. Dimana Teori Persamaan Media adalah sebuah
teori yag dikemukakan oleh Byron Reeves dan Clifford Nass, pada tahun 1996.
Teori ini menjelaskan dan meramalkan mengapa orang secara tidak sadar atau
secara otomatis dapat merespons terhadap adanya media komunikasi layaknya
kepada manusia. Selain itu, dalam teori ini juga melihat adanya proses
komunikasi interpersonal antara individu dengan media yang dihadapinya. Dari asumsi teori tersebut, maka
dapat ditarik kesimpulan bahwa didalam teori ini dijelaskan tentang adanya
media yang diibaratkan sebagai manusia dengan memperhatikan bahwa media juga
bisa diajak bicara, karena dalam teori ini juga dijelaskan tentang proses
seorang individu merasa menjadi bagian dari tayangan media tersebut. Dan ketika seseorang sudah merasakan bahwa tayangan
infotainment adalah suatu tayangan yang mampu membuatnya merasa nyaman dan
merasa bisa berkomunikasi secara intim, maka hal ini merupakan suatu fenomena
terjadinya seseorang dapat menjadi seorang hard viewer.
Paradigma etika baru dalam regulasi pers
yang dipahami menyangkut proses saling membentuk rasionalitas yang lebih
konkret dan situasional. Lebih signifikan dapat dikatakan bahwa paradigma baru
tentang moralitas pers yang tertuang dalam regulasi pers adalah sejauh mana
pers semakin memposisikan diri sebagai realitas yang berfungsi sosial utuh.
Pers harus mampu menjadi media efektif, dewasa dan rasional proses komunikasi
sosial antar warga atau antara warga dengan negara. Proses pemaknaan kebenaran
dan pembenaran dalam masyarakat diletakkan atas dasar dialog moral yang
berkembang. Sementara itu, regulasi etik pers juga harus memampukan pers
sebagai pendorong terciptanya pers lokal, sebuah ranah publik yang bisa menjadi
alternatif hak akses atas informasi yang seimbang, rasional dan konstruktif.
Tentu soal nilai keseimbangan, rasionalitas dan proses konstruktivisme
merupakan diskursus yang dinamis. Sementara tidak menafikan nilai etis
universal, tapi tetap saja universalitas etika dibangun dari bingkai-bingkai
subjektivisme yang menjadi konsensus sosial. Hal ini yang menjadi tantangan
baru dari pers modern di mana sejauh mana pers mampu dan mau semakin dituntut
untuk membuka celah-celah kebenaran dan pembenaran yang dibentuk secara sosial.
Diskursus paradigma tanggung jawab sosial pers belum
selesai. Teknologi pers masih berkembang dan hal itu menuntut kita untuk
menempatkan etika bukan sebagai dunia yang jauh dari realitas yang sebenarnya.
Kesimpulan dari analisis yang saya lakukan terhadap
jurnal ini adalah, bahwa tulisan ini ingin memberikan ide bahwa paradigma etik
tidak sederhana, justru karena realitas pers semakin kompleks. Proses
penyederhanaan etika pers justru akan mereduksi peran dan manfaat pers bagi
perkembangan budaya. Paradigma baru etika pers menyatakan bahwa etika adalah
tanggung jawab bersama. Kewajiban insan pers adalah membentuk dan menciptakan
pers yang bertanggung jawab terhadap proses dinamisasi kemanusiaan, sehingga
tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan akibat tayanagan-tayangan yang
dirasa kurang memenuhi sebagaimana fungsi dari media massa itu sendiri,
sehingga pada akhirnya akan berakibat pada kekerasan media, dimana kekerasan
media yang dimaksud disini adalah, sebagaimana penjelasan dibawah ini.
Definisi Kekerasan:
Sebelum memasuki pembahasan tentang kekerasan media,hendaknya kita
harus mengetahui apa definisi kekerasan itu sendiri.Apa itu kekerasan? Dan,
mengapa kekerasan begitu sulit untuk dilenyapkan di dalam corak kehidupan media
kita, ataupun di dalam realitas sehari-hari kehidupan kita? Sebagai definisi
awal yang sederhana, kita bisa pertama-tama melihat kekerasan sebagai kekuatan
untuk memaksa. Di dalam paksaan, kita menemukan unsur dominasi. Dominasi itu
berada di tataran yang kasat mata, sampai yang tidak kasat mata. Bentuk-bentuk
dominasi bisa ditelusuri mulai dari dominasi fisik, dominasi verbal, moral, dan
psikologis. Dominasi tersebut berdampak negatif pada manusia, karena secara
langsung bisa menciptakan luka fisik dan psikologis. Secara kasat mata, dominasi
tersebut dapat dilihat di dalam penggunaan kekuatan bersenjata, manipulasi
politik melalui fitnah, pemberitaan yang tidak berimbang tentang suatu
peristiwa, pernyataan-pertanyaan yang mendiskreditkan pihak tertentu, dan
penghinaan eksplisit yang secara jelas melukai hati orang yang mendengarnya.
Jadi, kekerasan adalah semua tindakan yang
bisa merusak dasar kehidupan seseorang. Kerusakan tersebut bisa fatal, atau
sekedar meninggalkan goresan. Di dalam media kita, kekerasan telah menjadi
sesuatu yang biasa, yang banal. Kebiasaan tersebut muncul, karena ketika kita
menyaksikan adegan kekerasan, ada perasaan terpesona yang hadir. Memang,
kekerasan bisa menghadirkan sensasi-sensasi kenikmatan bagi orang yang
menyaksikannya. Hal ini menjelaskan, mengapa tayangan infotainment yang
membahas tentang perkelahian artis dimedia dan TV-TV swasta laku keras di
pasaran, penayangan tentang kekerasan
dan sejenisnya tetap eksis dan digemari, dan bahkan sampai perkelahian dalam
suatu peristiwa yang terjadi dan terekam oleh kamera infotainment di jalanan
bisa menjadi tontonan massa hanya dalam sekejap mata, seolah-olah perkelahian
itu merupakan hiburan.
Di dalam konteks media elektronik, kekerasan
ditampilkan dengan cara yang berlebihan. Di dalamnya, pemirsa sering mengalami
kesulitan membedakan, mana yang merupakan realitas, dan yang mana yang
merupakan rekayasa teknologi. Atau, yang mana merupakan adegan yang manusiawi,
yang mana merupakan adegan “bohongan” guna membuat sensasi semata. Jadi jelas, salah satu alasan yang paling
mendasar mengapa kekerasan begitu sulit dilenyapkan adalah, karena kekerasan
itu indah dan menciptakan sensasi-sensasi kenikmatan. Kekerasan menghasilkan
rasa muak, sekaligus rasa kagum hampir pada saat yang bersamaan. Perasaan
berjumpa dengan kekerasan sekaligus adalah perasaan akan keindahan. Di dalam
kekerasan, kenikmatan dan ketakutan berelasi secara dialektis. Yang satu
menghadirkan yang lain. Ciri estetik dari kekerasan ini menjadi komoditi yang
diperjualbelikan oleh industri media. Semua bentuk kekerasan di dalam film dan
iklan menjadi bagian dari komoditi yang menguntungkan, sehingga rating program
yang tinggi bisa diperoleh, dan keuntungan finansial datang. Tentu saja,
tayangan kekerasan yang menciptakan kenikmatan tersebut sama sekali tidak menghiraukan
aspek-aspek lainnya, seperti aspek pendidikan ataupun efek trauma yang
diakibatkannya.
Selain membawa kenikmatan, rupanya kekerasan
juga memiliki dimensi estetik mendalam yang membuatnya, sampai batas-batas
tertentu, dapat dikategorikan sebagai seni. Ciri estetik dari kekerasan membuat
penonton yang menyaksikannya merasa terhibur. Ciri estetik ini akan semakin
menghibur, ketika pelaku kekerasan mendapatkan kemenangan pada akhirnya. Aspek
menghibur dari adegan kekerasan juga semakin meningkatkan efek kenikmatan,
ketika kekerasan itu diramu dalam bentuk humor. Humor di dalam adegan kekerasan
seolah bisa memangkas ciri destruktif dari kekerasan tersebut. Akibatnya,
pemirsa yang menikmati adegan tersebut menjadi tumpul dan hilang kepekaannya
terhadap korban kekerasan di dalam adegan, dan mungkin pada akhirnya di dalam
realitas sehari-hari. Ketidakpekaan orang terhadap korban penderitaan korban
sebenarnya sudah terbentuk, ketika orang menyaksikan film beradegan kekerasan
di dalamnya, dan mendapatkan kenikmatan dari melihat adegan tersebut.
Jadi, apa yang tadinya merupakan tayangan
dalam sebuah infotainment atau media , kini berpotensi menjadi tindakan di
dalam kehidupan nyata. Kekerasan itu menular, berawal dari pandangan, dan
berakhir pada tindakan. Keterpesonaan terhadap kekerasan juga seringkali
dipergunakan oleh para politikus demi tujuan-tujuan politik praktisnya. Tidak
bisa dipungkiri lagi, para politikus sering mempergunakan rasa gentar dan
kekaguman para “pemirsa kekerasan” untuk kepentingannya. Aspek estetik yang
mengagumkan sekaligus membuat gentar itu berubah menjadi sarana pemecah belah.
Tak heran, di dalam diskusi mengenai taktik CIA untuk menjatuhkan para oposisi
Amerika dengan kekerasan mengundang decak kagum sekaligus rasa takut hampir pada
saat yang sama. Sikap dan pandangan peserta diskusi pun terpecah, ada yang
terkagum sekaligus menjadi setuju, dan ada yang menentang CIA.
Dampak kekerasan Media:
Ada tiga hal yang kiranya bisa ditelusuri sebagai akibat langsung
dari kekerasan.
1.
tontonan dan perilaku kekerasan
secara langsung bisa meningkatkan tingkat perilaku agresif penontonnya.
2.
adegan kekerasan yang diulang
terus menerus bisa membuat penontonnya, baik langsung ataupun melalui layar
kaca, tidak lagi peka terhadap penderitaan korban yang mengalami kekerasan
tersebut.
3.
kekerasan bisa menciptakan
gambaran yang dunia yang reduktif, yakni bahwa dunia itu sepenuhnya jahat dan
kejam, maka orang harus siap melakukan kekerasan untuk bertahan diri.
Dengan tiga hal ini jelaslah, bahwa
kekerasan itu, apapun bentuk dan ciri estetik yang mungkin melatarbelakanginya,
memberikan pengaruh yang sangat negatif bagi orang, terutama anak yang sedang
dalam masa awal pembentukan karakter. “Meskipun ada ekspresi senang, puas, atau
tertarik terhadap kekerasan di dalam media,” demikian tulis Haryatmoko, “sering tanpa disadari anak
sebetulnya bergulat dalam suatu perjuangan, kegelisahan, dan ditatapkan pada
berbagai pertanyaan.”
Anak
pun berpotensi mengalami stress, kecemasan, dan kegelisahan mendalam. Tenaga
yang dimiliki anak akan habis untuk menghadapi berbagai emosi negatif tersebut.
Akhirnya, kesempatan untuk bisa mengembangkan bakat-bakat positif di dalam
dirinya menjadi terlewatkan. Perkembangannya menjadi terhambat.
Dunia media adalah dunia dengan banyak “dunia”. Setidanya, ada tiga
tipe kekerasan yang bisa kita ketahui, yakni :
1.
dunia riil,
2.
dunia fiksi,
3.
dunia virtual.
Kekerasan pun juga
harus disoroti dengan menggunakan tiga kategori ini. Yang pertama adalah
kekerasan riil. Yang kedua adalah kekerasan fiktif yang dapat dilihat di dalam
film fiksi, kartun, ataupun komik. Dan ketiga adalah kekerasan simulasi yang
ada di dalam dunia virtual, misalnya di dalam video games. Semuanya tidak
merupakan kekerasan fisik, tetapi lebih merupakan kekerasan yang bersifat
simbolik. Dan kekerasan ini bisa berlangsung dengan konstan, karena baik para
pelaku maupun korban, keduanya menganggap kekerasan sebagai sesuatu yang wajar.
Kekerasan seolah sudah dianggap sebagai sesuatu yang lumrah di dalam bahasa,
cara bertindak, dan cara berpikir.
Jika kita bahas
satu persatu apa-apa yang ada dalam ketiga tipe ini kita akan mengetahui apa
yang sebenarnya disimpan oleh kekerasan media itu sendiri . Yang pertama adalah
apa yang disebut sebagai kekerasan riil.
Menurut Haryatmoko, kekerasan riil
juga bisa disebut sebagai kekerasan dokumen. Kekerasan ini mengambil bentuk
gambar yang dialami oleh pemirsa sebagai fakta kekerasan. Misalnya adalah
tayangan tentang pembunuhan, perkelahian, ataupun konflik sosial yang kesemuanya
bisa mengundang reaksi emosional yang dalam di dalam diri pemirsa. Kekerasan
semacam ini bisa menimbulkan efek-efek yang saling bertolak belakang, yakni
bisa mengakibatkan perasaan sedih, menjijikan, ataupun perasaan tertarik dan
simpati yang mendalam. Efek dari tayangan dengan pola kekerasan semacam ini
juga bisa positif, yakni mengundang pemirsa untuk mulai peduli terhadap
penderitaan korban. Tayangan dan gambar yang berbau kekerasan bisa mengajak
pemirsa untuk mulai memikirkan kepentingan di luar dirinya.
Kekerasan dokumen
ini, menurut Haryatmoko, dapat menciptakan efek emosional di dalam diri
pemirsa. Syaratnya, relasi antara pemirsa dengan gambar yang ditayangkan
haruslah sangat tepat, sehingga tidak menimbulkan trauma pada pemirsa yang justru
malah menimbulkan sikap antipati. Caranya adalah dengan pemilihan fokus yang
tepat. Misalnya, “jeritan seorang demonstran yang terluka dan disandingkan
dengan gambar tangan polisi yang berlumuran darah. Pemilihan fokus yang
memperlihatkan tangan yang berlumuran darah itu mengundang simpati dan
keberpihakan pemirsa kepada demonstran itu.”.
Cara-cara semacam ini bisa menciptakan simpati di dalam hati pemirsa.
Kekerasan riil ini
tidak hanya terjadi dalam bentuk gambar, tetapi juga dalam bentuk tulisan. Di
dalam tulisan di media, proses peradilan terhadap tersangka pelaku kejahatan
telah dilakukan secara prematur, yakni sebelum proses pengadilan sebenarnya
terjadi. Di titik ini, media telah melangkahi wewenangnya sendiri. Media tidak
lagi berperan sebagai pelapor kejadian, tetapi sudah menjadi jaksa penuntut
yang prematur, yang tidak siap dan tidak punya wewenang. Wartawan seolah
berakting menjadi jaksa ataupun polisi. “Atas nama hak akan informasi”,
demikian Haryatmoko, “media menggantikan jaksa atau polisi.” Menariknya, kini
wawancara media seolah menggantikan interogasi aparat penegak hukum, dan jajak
pendapat pemirsa menggantikan putusan hakim.
Jika sudah sampai
pada titik ini, kekerasan media pun memasuki ruang privat. Media menjadi aparat
hukum yang prematur, apalagi jika sudah menjurus menjadi fitnah. Ada banyak
kasus yang menunjukkan bagaimana tersangka yang sebenarnya tidak bersalah
justru menjadi bulan-bulanan media, dan sama sekali tidak mendapatkan
rehabilitasi. Yang paling jelas adalah acara infotainment, di mana seringkali privasi seseorang dilanggar
atas nama kebebasan informasi. Walaupun harus diakui, ada beberapa orang yang
menggunakan cara itu untuk meningkatkan popularitas mereka.
Tipe kekerasan
kedua yang menjadi keprihatinan Haryatmoko
adalah kekerasan fiktif. Kekerasan
semacam ini bisa dengan mudah ditemukan di dalam tayangan-tayangan televisi.
Film action, misalnya Rambo IV, sungguh-sungguh mirip dengan konflik riil. Hal
semacam ini bisa menimbulkan trauma dan perilaku agresif bagi orang-orang yang
menontonnya. Memang, ada “penipuan” dan rekayasa teknologi di dalam tayangan
semacam itu. Akan tetapi, dampaknya terhadap dimensi psikis pemirsa sangatlah
besar, bahkan lebih besar daripada pertandingan tinju ataupun karate yang
memang mengandung kekerasaan riil. “Fiksi”, demikian tulisnya, “mampu
memproyeksikan keluar dari yang riil dunia yang mungkin meski tidak ada dalam
kenyataan.”
Jadi, walaupun
fiksi tidak sama dengan realitas, tetapi fiksi memiliki kemiripan dan irisan
dengan realitas. Fiksi justru bisa menawarkan ide-ide baru yang sebelumnya
tidak terpikirkan di dalam realitas. Yang juga cukup ironis adalah bagaimana
seorang pembunuh bisa memperoleh idenya untuk membunuh, karena ia gemar
menonton film-film thriller yang biasa diputar di bioskop-bioskop.
Kekerasan tipe
ketiga adalah apa yang disebut sebagai kekerasan simulasi. Kekerasan ini kental
di dalam video games, baik yang on line maupun off line. Misalnya
ketika seorang penembak di dalam video games melakukan tembakannya
dengan menggunakan senapan mesin, serta berhasil membunuh ratusan musuhnya.
Kejadian semacam itu alih-alih menakutkan, tetapi justru meningkatkan
ketertarikan dan kenikmatan permainan. Di dalam permainan semacam itu,
kegelisahan, kejijikan, sekaligus kenikmatan dan rasa penasaran menyatu menjadi
satu. Ini salah satu sebab, mengapa banyak sekali orang menyukai permainan
video games tersebut. Pemain juga dapat merasakan nikmatnya berkuasa di dalam
dunia video games. Ia adalah pemain, penguasa, sekaligus pemenang. Sesuatu yang
mungkin tidak akan pernah diperolehnya di dalam dunia “nyata”.
Mengetahui itu,
industri hiburan semakin tertarik untuk mengembangkan pasar mereka. Tambah
lagi, ketika bermain, seorang penikmat permainan video games hampir tidak
diberikan waktu untuk berpikir dan merefleksikan. Di dalam permainan video
games, manusia diubah menjadi mahluk yang bergerak melulu dengan pola
aksi-reaksi, dan stimulus-respons. Refleksi menjadi tidak relevan, karena
semuanya terjadi dan bergerak secara mekanis. Jadi, keberhasilan suatu
permainan video games adalah sejauh mana permainan tersebut mampu “menghisap”
pemainnya ke dalam logika yang bersifat teknis-mekanis-interaktif. Permainan
yang memiliki ritme tetap seolah menghipnotis pemainnya, sehingga ia merasa
menyatu dengan permainan tersebut. Tentu saja, perasaan menyatu ini tetaplah
sebuah perasaan saja, jadi tidak melulu benar. Akan tetapi, kecanggihan
teknologi serta kenikmatan yang didapat di dalam bermain video games seolah
mengaburkan fakta itu.
Jenis kekerasan
lain yang juga sulit untuk dicegah adalah kekerasan simbolik yang ada di dalam tayangan infotainment yang serupa dengan
penaynagn iklan. Kekerasan ini disebut sebagai kekerasan simbolik, karena tidak
ada luka fisik yang diakibatkannya secara langsung. Yang lebih menjadikan
ironis adalah, pemirsa tidak menyadari dirinya telah diubah menjadi korban
kekerasan. Pemirsa tidak mengetahui, bahwa mereka telah dimanipulasi,
dibohongi, dan bahkan dikuasai. Kekerasan simbolik ini terjadi melalui medium
bahasa yang nantinya akan mempengaruhi cara berpikir, cara kerja, dan cara
bertindak. Kekerasan simbolik juga mengubah makna dari kata konsumsi. Jika dulu
orang mengkonsumsi produk material yang konkret, sekarang orang mengkonsumsi
tanda. Yang ditawarkan oleh produsen bukan lagi kegunaan semata, tetapi juga
merupakan imajinasi yang melibatkan status sosial konsumen. Merk mobil apa yang
dipakai seolah secara tidak langsung menggambarkan sejarah singkat kehidupan
pemilik mobilnya. Merk rokok apa yang dihisap sekaligus menceritakan secuil
kisah kepribadian si penghisapnya.
Yang membuat
kekerasan menjadi tidak tampak disini adalah juga apa yang disebut sebagai pola
keberulangan dari iklan. Proses pengulangan suatu iklan secara bertahap dan tidak
disadari akan mampu mengubah cara pandang dan cara berpikir konsumen, sehingga
mereka menjadi mudah dimanipulasi dan merasa tergantung dengan produk yang
diiklankan. Kekerasan pun tidak lagi dirasakan sebagai kekerasan, tetapi
sebagai hal yang wajar saja. “Iklan”, demikian tulis Haryatmoko, “masuk ke
dalam kehidupan sehari-hari konsumen dan dengan cara yang lembut tak terasa
dapat memaksakan praktek dan sikap setiap orang.” Jadi, iklan bisa menjadi
sarana pembentuk sikap dan perilaku konsumen. Dalam konteks ini, suatu produk
menjadi bernilai bukan karena produk tersebut berguna, tetapi karena produk
tersebut mampu memaksakan suatu cara berpikir tertentu, yakni cara berpikir
yang menjadi milik merk produk yang ditawarkan. Setelah cara berpikir berhasil
diinternalisasi oleh konsumen, keputusan untuk membeli, menggunakan, dan
mencicipi hanyalah tinggal masalah waktu saja.
Setelah produk
menjadi bagian dari identitas konsumen, maka produk berhasil menciptakan
kesetiaan dan perasaan terikat di dalam diri konsumen. Yang terjadi adalah
konsumen seolah-olah tidak bisa hidup tanpa produk yang biasa dikonsumsinya.
Inilah yang disebut sebagai kebutuhan-kebutuhan palsu (false needs).
Identitas dan kesetiaan terhadap produk ini akan semakin menebal seraya dengan
adanya bonus, jika orang menggunakan produk tersebut pada pembelian ke sepuluh,
ataupun ada bonus setelah menggunakan produk dalam jumlah tertentu. Hal ini
serupa dengan penayangan infotainment yang membuat khalayaknya menjadi setia
terhadap hasil tayngan-tayangan beritanya, dan seringkali dibumbuhi dengan
adanya kuis yang mendatangkan kesempatan untuk meraih jutaan rupiah bagi
pemirsa yang berhasil menjawab pertanyaan dari pihak infotainment seputar
berita yang ditayangkan hari ini. Karena keindahannya, kekerasaan di dalam
media bisa begitu mudah dan gamblang mendikte cara berpikir orang, tanpa orang
tersebut menyadari bahwa ia telah didikte. Ciri estetik kekerasan menjadi
begitu nyata, ketika orang terpikat pada suatu bentuk tayangan media, dan ia
membiarkan secara sukarela dirinya menjadi pengikut setia suatu produk tanpa
berpikir lebih jauh. Dalam hal ini, kekerasan bergerak dengan cara-cara yang
begitu halus. Kekerasan simbolik di dalam media seolah telah berubah menjadi
“seni” memanipulasi orang, yang kini tidak lagi dipersepsi sebagai suatu bentuk
kekerasan, tetapi sebagai bagian wajar dari kehidupan manusia. Karena
keindahannya, kekerasan telah menjadi stimulan-stimulan yang menghasilkan
kenikmatan bagi manusia.
Dari pembahasan
kekerasan Media diatas, maka dapat disimpulkan bahwa, dengan sangat luasnya
jangkauan media massa, masyarakat akan lebih gampang dimasuki oleh pemikiran
serta perilaku media massa itu sendiri. Tidak terkecuali masalah kekerasan
dalam media itu sendiri. Sudah lama hal ini tidak kita sadari baru pada
pertengahan abad XIX terdapat beberapa pemikir yang merasakan akan adanya
bahaya tersebut dan akhirnya mengadakan beberapa penelitian.
Terdapat
Dua penelitian yang mendorong kesadaran mengenai kekerasan media adalah:
1
Dale (1935) yang melakukan analisis isi
1500 film yang mengandung tekanan kuat terhadap kejahatan.
2
Blumer (1933) yang melakukan survey
terhadap 2000 responden yang menunjukkan kesadaran mereka terhadap fakta bahwa
mereka telah meniru secara langsung aksi kekerasan yang telah mereka tonton
dalam film kekerasan.
Dengan adanya
penelitian ini kesadaran publik terhadap kekerasan media lebih meningkat.
Perhatian ini diperburuk dengan hadirnya analisis Wertham (1954) mengenai
berita infotainment yang membahas isi komik, dimana tesisnya berbunyi
ketidakseimbangan jumlah buku komik yang mengandung gambar-gambar kekerasan
yang menakjubkan memberikan kontribusi terhadap kejahatan anak muda laki-laki,
banyak dari mereka merupakan konsumen kelas berat dari gambar-gambar tersebut.
Perhatian ilmuwan terhadap kekerasan media tidaklah berlarut-larut sampai
1950an ketika terdapat kemungkinan efek televisi publik menarik perhatian
pemerintah yang melihat adanya pengaruh negatif pada anak dan kontribusi
potensial terhadap kejahatan remaja. Perkembangan televisi di Amerika
menimbulkan era baru kontroversi kekerasan media.
Schramm, Lyle,
dan Parker (1961) mendiskusikan
sejumlah contoh peniruan kekerasan yang disebarkan oleh sumber berita pada
tahun 1950an. Mereka menyatakan bahwa hubungan antara penggambaran kekerasan
di televisi dan peniruan kejahatan kekerasan bukanlah
tidak sengaja. Seorang ahli, Gerbner
mendefinisikan kekerasan sebagai ekspresi terang-terangan dari kekuatan fisik
melawan diri sendiri atau orang lain, atau aksi pemaksaan melawan keinginan
seseorang terhadap sakitnya disakiti atau dibunuh.
Dari definisi tersebut ia menemukan bahwa prime-time
tv mengandung delapan contoh kekerasan per jam, rata-rata yang mengindikasikan
sedikit perubahan dari studi sebelumnya untuk Komisi Nasional. Dengan lazimnya
kekerasan di tv, pintu bagi ahli untuk mempertanyakan dampak isipun terbuka.
Pertanyaan apakah menonton kekerasan media mempengaruhi perilaku agresif memang
menarik. Sudah begitu banyak ahli melakukan penelitian menganai hal tersebut
dengan berbagai metode baik survei maupun eksperimen laboraturium. Kritik
terhadap tesis kaitan perilaku agresif sebagai akibat tontonan adegan kekerasan
di media salah satunya adalah alat ukur konstruksi tindakan agresif (misalnya
memukuli boneka) dianggap tidak berkaitan dengan perilaku agresif manusia.
Menurut Bandura,
kekerasan media merupakan penyalur
perilaku agresif. Ahli lain, Huesmann
menyatakan bahwa kebiasaan agresif diduga dipelajari pada tahap awal
kehidupan, sekali ia hadir maka ia akan resisten dan sulit diubah. Bila seorang
anak terbiasa menyaksikan tayangan kekerasan dan membentuk pola kebiasaan yang
agresif maka menurut Huesmann kebiasaan menyaksikan televisi usia dini
berkaitan dengan kriminalitas pada masa dewasa nanti.
Kontroversi
mengenai efek kekerasan media berkaitan dengan konsep kepentingan statistik,
signifikansi statistik, dan kepentingan sosial. Setidaknya terdapat dua aspek
yang meminimalkan besarnya efek kekerasan media dan kaitannya dengan perilaku
agresif yaitu:
1.
efek yang timbul sering ditinggalkan oleh
peneliti
2.
studi yang bisa dijadikan pegangan dalam
kehidupan sehari-hari sering tidak jelas.
Selain itu, juga dipertanyakan karena tayangan media
sangat banyak dan penonton pun banyak. Apakah bila seseorang berperilaku
agresif setelah menonton satu tayangan berarti seluruh lapisan masyarakat yang
juga menyaksikan acara tersebut juga memiliki masalah yang sama? Mekanisme
teoritis Katarsis.
Feshbach (1955)
mengemukakan ide yang berpihak pada media yaitu prediksi bahwa tampilan
kekerasan pada media akan menyalurkan kemarahan atau kefrustasian penonton
untuk menyingkirkan perasaan tersebut, setelah menonton kekerasan media mereka
akan mengurangi keinginan berlaku agresif. Ide dasarnya adalah dengan menonton
kekerasan media akan memberi jalan bagi penonton melakukan tindakan agresif
fantasi mengukung permusuhan dengan jalan pemuasan dan mengurangi perlunya
membawa sikap agresif pada dunia nyata.
Pembelajaran
Sosial Bandura (1965) mengemukakan teori bahwa karakter media yang menyajikan
model untuk perilaku agresif mungkin dihadirkan oleh penonton, dan tergantung
apakah perilaku dihargai atau tidak akan tidak mencegah atau mencegah imitasi
perilaku berturut-turut. Studi Bandora menawarkan dukungan yang dapat
dipertimbangkan bagi proses pembelajaran sosial. Pernyataan Bandura mengenai
teori kognitif sosial menunjukkan bagaimana formulasi awal telah berkembang dan
telah berdiri menjadi teori pokok untuk memahami efek kekerasan media.
Priming.
Berkowits memfokuskan perhatian pada kekerasan media dengan memperhatikan
“petunjuk agresif” yang dimiliki dalam isi tipe ini. Menurutnya,
petunjuk-petunjuk tersebut akan mengkombinasikan psikis dengan tingkat
kemarahan dengan frustasi penonton , dan akan memicu agresi yang berikut. Jo dan Berkowitz menyempurnakan ide ini
dengan menyatakan kekerasan media bisa membentuk pikiran mengenai perilaku
agresif dan konsekuensinya membuat perilaku agresif yang nyata semakin disukai.
Penelitian lain yang dipengaruhi teori ini adalah
pernyataan Bargh yang menyatakan ide
bahwa kekerasan tersebut tidaklah bernilai sesaat saja setelah media ditonton,
tetapi memiliki efek jangka panjang. Arousal.
Zillmann (1991) mengemukakan dugaan bahwa penyebab
pemunculan sifat kekerasan media sangat penting untuk memahani intensitas
reaksi emosional yang muncul seketika setelah menonton. Arousal juga bisa
memperkuat emosi positif yang muncul setelah menonton. Desensitization. Satu
jalan mengapa kekerasan media meningkatkan perilaku agresif adalah melalui
ketidaksensitifan emosional.
Pemunculan kekerasan media yang berulang kali akan
menyebabkan kejenuhan psikologis atau penyesuaian emosional terhadap level
ketegangan, kegelisahan, atau mengurangi rasa jijik atau lemah. Hal tersebut
akan mengurangi kepentingan untuk merespon kekerasan dalam dunia nyata. Ketika
sensitivitasan manusia terhadap kekerasan memudar, perilaku kekerasan meningkat
karena sudah tidak terdeteksi lagi sebagai perilaku yang seharusnya dibatasi/tidak
dilakukan. Cultivation and Fear. Berkaitan dengan kemungkinan menonton
kekerasan dalam waktu yang lama akan menumbuhkan sudut pandang partikular
mengenai kenyataan sosial dan menyebaban level yang tinggi terhadap ketakutan
yang bisa terpatri selama berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun.
Penelitian
Mendatang Akhir-akhir ini, ilmuwan semakin tertarik meneliti dampak kekerasan
video games terhadap perilaku agresif. Dill dan Dill mengungkapkan permainan
tersebut memang meningkatkan agresivitas, sebuah penemuan yang sejalan dengan
penemuan lain. Sparks dan Sparks juga mengungkap sedikit data yang menyimpulkan
fakta bahwa program yang mengandung kekerasan media lebih disukai dari program
yang tidak mengandung kekerasan.
Zillmann
dan Weaver mendemonstrasikan bahwa lai-laki dengan psikologis tinggi lebih
mudah dipengaruhi kekerasan media.
setidaknya
terdapat tiga asumsi dalam lingkaran akademik dan politik mengena efek
kekerasan media :
1.
materi kekerasan lebih sering
menghasilkan efek dan efek ini sifatnya cenderung negatif
2.
kekerasan media lebih sering menghasilkan
pemikiran dan perilaku kekerasan daripada pelukisan media lain
3.
kekerasan media lebih layak mendapatkan
perhatian peneliti dan tindakan sosial politik daripada penggambaran media
lainnya.
Media massa, terutama televisi, menjadi penyumbang
utama maraknya kekerasan yang dilakukan
anak. Hal tersebut terungkap dari Kajian Komisi Nasional Perlindungan Anak
terhadap acara televisi. Dilansir dari Koran harian TEMPO,” Menurut Sekretaris
Jenderal Komisi Nasional Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, dari 35 judul
acara atau film yang ditayangkan beberapa stasiun televisi, sekitar 62
persennya menyajian kekerasan”. "Anak-anak kemudian mengaplikasikan
kekerasan dilayar televisi tersebut ke dunia
keseharian mereka, karena tipikal anak memang suka meniru," katanya
kepada Tempo disela acara Testimoni Keluarga Akila Everlyne Ardelia, anak
berusia dua tahun yang tewas dianiaya, di kantornya, Jakarta, Jumat.
Dari hal tersebut sangat jelas bahwa tingkat
keterpengaruhan tingkah laku anak terhadap
apa yang mereka tonton di media.Karena itu, menurut Airst, perlu ada
gerakan nasional untuk mengikis budaya kekerasan di masyarakat. Salah satunya,
ia mencontohkan, adalah dengan mensosialisasikan persepsi yang benar kepada
orang tua atau guru bahwa menghukum anak tidak harus dengan memukulnya.
"Ini penting dilakukan karena setiap tahun kekerasan yang terjadi pada
anak cenderung meningkat," katanya.
Sepanjang tahun 2006, Komisi Nasional Perlindungan
Anak mencatat setidaknya terjadi 1,124 kekerasan terhadap anak. Jenis kekerasan
yang diterima anak adalah kekerasan fisik (21,98 persen), kekerasan seksual
(37,90 persen), dan kekerasa psikis (40,12 persen).
Dari total 526 pelaku kekerasan terhadap anak, 16 persennya
dilakukan oleh tetangga dan ayah kandung (11,60 persen). Sedangkan ibu kandung
dan guru masing-masing menyumbang 8,94 persen dan 6,46 persen.
Sementara ibu tiri yang kerap dituding paling sering
melakukan kekerasan terhadap anak, hanya menyumbang 1,71 persen.Sungguh luar
biasa efek dari fenomena ini. Dengan apa yang telah dipaparkan diatas.
Inti dari semua bentuk tayangan kekerasan adalah
dapat menciptakan ketidakpekaan terhadap korban kekerasan di dalam diri
pemirsa. Artinya, ketidakpekaan terhadap korban kekerasan sebenarnya sudah
terbentuk, ketika orang menikmati film yang berisi adegan kekerasan di
dalamnya. Kekerasan di dalam media menjadi begitu mudah dan gampang memasuki
cara berpikir orang, memanipulasinya, tanpa orang tersebut menyadari bahwa ia
telah dimanipulasi. Salah satu bentuk manipulasi paling awal yang tampak
adalah, ketika pemirsa menjadi kurang kepekaannya terhadap kekerasan yang
diderita oleh korban. Dan manipulasi pada lebih jauh terjadi adalah, ketika
identitas pemirsa pada akhirnya turut ditentukan oleh tayangan yang ditampilkan
di televisi, baik itu dalam bentuk berita, film, ataupun iklan.
Jika sudah seperti
itu, kekerasan pun tidak lagi dipersepsi sebagai kekerasan, melainkan sebagai
sesuatu yang wajar, atau yang lebih berbahaya lagi, kekerasan sebagai sesuatu
yang normatif! Jika suatu tindak kekerasan didiamkan begitu saja, maka
lama-kelamaan, tindakan itu akan dianggap biasa. Lebih dari itu, semakin
didiamkan terus, orang yang justru tidak melakukan tindakan kekerasan justru
malah menjadi orang yang bersalah! Ciri kekerasan membuatnya menjadi licin
bagai belut untuk dilenyapkan. Kemampuannya membuat orang terpesona menciptakan
kondisi yang justru semakin memadai untuk kekerasan yang lebih besar.
Konsekuensi inilah yang harus diterima oleh khalayak umum. Menyadari adanya
paradoks di dalam fenomena kekerasan ini tampaknya merupakan langkah pertama
yang harus ditempuh untuk mengurangi efek negatif kekerasan di media bagi
kehidupan manusia.
Selanjutnya
yaitu, tugas pemerintah. Tugas
pemerintah adalah membentuk aturan main yang adil sehingga kepentingan pers dan
masyarakat tetap terjaga dan tidak saling berbenturan. Sedangkan tugas kita
adalah menjadikan diri kita mampu mengkritisi dan menikmati media massa secara
proporsional, sehat, dewasa dan rasional.
DAFTAR PUSTAKA
·
Burton, Graeme. 2000.
Talking Television : An Introductionto The Study of Television. London : Arnold
·
Junaedi, Fajar (2007).
Komunikasi Massa, Pengantar Teoritis. Yogyakarta, Santusa
·
Lindlof, Thomas R dan
Taylor, Brian C (2002). Qualitative Communication Research Methods, 2nd
Edition. London, Sage Publication
·
Littlejohn, Stephen W
(1994). Theories of Human 5th Communication, Edition.
·
Pengantar Deddy mulyana
“etika komunikasi”.
·
Johannesen, Richard L.
1983. Ethics in Human Communication.ed2(prospect
heights, IL:Waveland Press,Inc)
Sumber lain:
·
http://aprillins.com/2009/949/pentingnya-etika-bagi-kehidupan/,
Akses: Senin, tgl 3-01-2011, pukul 09.30-10.00
·
http://lompatlebihtinggi.wordpress.com/2008/06/05/pentingnya-etika-di-dunia-teknologi-informasi/., Akses: Rabu, tgl
5-01-2011, pukul 13.00-14.30
Akses: Minggu,
tgl 02-01-2011, pukul 14.45-16.00
Tidak ada komentar:
Posting Komentar